Chereads / Imperfect Boyfriend / Chapter 2 - Harus Pergi Lagi

Chapter 2 - Harus Pergi Lagi

Tidak berlama-lama di dalam kamar mandi, Abel keluar dengan wajah naturalnya. Terlihat segar dan mulus sehingga membuat Dhani betah menatapnya.

"Kan kamu 'nggak ada baju ganti. Kenapa mandi, Bel?" tanya Dhani saat Abel sedang mengelap tangan menggunakan handuk kecil.

"Biar 'nggak gerah, keringetan juga tadi kan. Takut kamu 'nggak nyaman jalan sama aku," jawab gadis itu diiringi senyuman manja.

Dhani juga tersenyum tipis. "Kamu 'nggak perlu mikir seperti itu, kamu selalu cantik," ucapnya.

Usai merapikan kembali seragam sekolahnya, Abel lantas mengenakan kaos kaki dan sepatu. Tidak lupa merapikan rambut lurus sebahu berwarna kecoklatan itu. Dia pun siap menikmati waktu bersama sang kekasih.

Mereka menuju tempat perbelanjaan terdekat dari hotel. Dhani terlihat mengawasi sekitar, wajah laki-laki itu pun tampak tegang sepanjang perjalanan. Sementara Abel sangat menikmati waktu singkatnya bersama Dhani, ia terlihat sangat manja dan senyuman manisnya terus mengembang.

"Kamu lagi butuh apa?" tanya Dhani saat langkah mereka berhenti di lantai dua mall tersebut.

"Nggak butuh apa-apa, Sayang," jawab Abel singkat. Namun, tatapannya tertuju pada tas branded di dalam sebuah etalase kaca.

"Kalau gitu, lagi pengen apa?" Pertanyaan Dhani kali ini membuat Abel semakin mengembangkan senyumannya.

"Aku mau pilih tas, ya?" pamit sang kekasih dengan suara lembut.

"Oke, pilih aja. Aku tunggu di sana," kata Dhani menyetujui.

Abel begitu senang bisa memiliki kekasih seperti Dhani. Baginya, umur tidak menjadi masalah. Abel hanya butuh sosok pria yang bersikap hangat kepadanya, menyayangi dan menggantikan sosok orang tua yang selama ini tak pernah ia dapatkan.

Baru beberapa menit melihat-lihat koleksi tas di sana, tiba-tiba Dhani menghampiri Abel. Dia berbicara sambil memfokuskan tatapannya pada handphone di genggaman. Dhani terlihat sedang sibuk dan terburu-buru.

"Jangan lama-lama, ya. Aku antar kamu pulang habis ini." Ketukan langkah terdengar menjauh. Abel heran mengapa tiba-tiba sang kekasih akan mengantarnya pulang. Padahal Abel masih ingin bersama sebelum jarak memisahkan mereka lagi. 

"Kenapa tiba-tiba mau antar aku pulang?" tanya Abel.

"Jadwal meeting aku dipercepat. Kalau tidak, tentu saja aku ingin berlama-lama lagi denganmu. Kamu nggak papa 'kan?" jelas kekasihnya.

"Habis meeting bisa ketemu lagi?" Abel mendekat. Dia bertingkah sangat manja dengan memeluk Dhani.

Sesaat, Dani bergeming di sana. Rasanya hangat dan sangat nyaman. Terlebih saat Abel membelai pelan rambut lebatnya. 

"Aku langsung kembali, Sayang. Kalau ada waktu aku bakal kesini lagi, oke?" ujarnya.

Meskipun tidak rela bila Dani pergi lagi secepat itu, tapi tidak mungkin Abel mencegahnya. Seorang pria dewasa mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk keluarga. Dengar-dengar, Dani juga merupakan anak pertama yang tentunya memikul beban cukup berat. Anak pertama harus selalu terlihat kuat, apalagi di depan ibu dan adik-adiknya. 

Abel berharap kisah cinta mereka bisa berakhir bahagia dalam pernikahan nantinya. Selagi dia menyelesaikan sekolah dan Dani sudah cukup siap untuk menjadi imam yang baik. 

"Yuk, ke luar," ajak Abel.

Pria tampan itu merangkul bahu kecil Abel, mereka pun meninggalkan hotel untuk menuju apartemen di mana Abel dan Lia tinggal. 

*** 

Lalu lalang kendaraan bermotor mulai memadati jalanan ibukota Jakarta. Meskipun hari sudah mulai petang, tapi aktivitas sudah sangat padat, orang-orang mengejar waktu untuk bekerja demi bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka. 

Kaki jenjang gadis cantik itu pun terlihat keluar dari mobil, disusul seluruh tubuh indahnya yang sedikit membungkuk menghindari atap mobil supaya tidak melukai kepalanya.

"Masuk dulu kan, Sayang?" tanya Abel, dengan posisi masih menunduk dia menatap Dani yang bergeming di depan kemudi.

"Nggak bisa, Bel. Aku udah ditungguin, nggak papa 'ya?" sahut pria itu sambil melayangkan senyuman. 

Abel mengangguk pelan, bibirnya tampak mengerucut dengan pandangan ke bawah.

"Kalau gitu hati-hati," lirihnya.

"Oke. Jangan cemberut gitu lah, nanti bakal ketemu lagi kok …," pinta Dani sangat lembut. 

Senyum kecil merekah dari bibir Abel, ucapan-ucapan Dani memang selalu bisa menenangkan hati. Bagaimana mungkin rasa kesalnya bertahan lama? Dani selalu mampu meluluhkannya. 

"Dah … kabarin kalau udah sempat, ya?" Abel berpesan. 

Dia lantas menutup pintu, kaca mobil yang masih terbuka membuat Abel tetap bisa melihat sang kekasih yang melajukan mobilnya perlahan.

Selayaknya anak kecil, Abel tidak segan melambaikan tangan di detik-detik terakhirnya menatap wajah tampan Dani. Bola mata hitam itu terus mengikuti laju mobil yang kian menjauh. 

"Tatap terus sampe lupa kedip," sindir si perusuh. 

Siapa lagi kalau bukan Lia? Gadis itu selalu tidak suka melihat kebucinan Abel pada Dani. Meskipun begitu, Abel tampak cuek dan tidak terlalu melibatkan sang sahabat pada urusan hatinya. Terlebih, tentang hubungannya dengan Dani. 

Langsung saja Abel merangkul Lia dan menariknya menuju lobby.

Senyum bahagia masih menghiasi wajah putih itu, Abel ingin selalu mengingat setiap detik indah bersama Dani. Baginya tentang Dani semuanya adalah kebahagiaan. 

Lirikan Abel tertuju pada plastik transparan yang Lia pegang. Terlihat sekotak martabak dengan aroma telur yang sangat menggoda.

"Pengertian banget sih jadi temen, tahu aja kalau gue laper," ujarnya. 

"Orang buat perut gue sendiri," tegas Lia. 

"Bagi, ya?" rayu Abel dan semakin mempererat rangkulannya. 

"Asal putus dari Dani." Seketika Abel mengernyit heran mendengar penuturan Lia.

"Gue lihat, dia bukan cowok baik-baik. Sebelum terluka mending elo ud_" 

"Kenapa sih, Li? Apa salahnya? Toh Dani baik, pengertian, bisa bikin aku happy. Kenapa lo selalu nyuruh kita udahan?" Dengan nada rendah Abel mengucapkan uneg-uneg selama ini atas kemauan Lia. 

Abel mengangkat wajah, melirik Lia yang membuang muka. Tangannya yang mendadak dingin kembali meraih bahu gadis itu untuk ia rangkul, seraya menepuk pelan bahu Lia beberapa kali. 

"Maafin gue, Li. Gua cinta Dani, mungkin dia memang punya kekurangan yang mungkin nggak baik buat gue, tapi gue mau terima itu dan bakal gue lengkapi kekurangannya. Lo nggak usah khawatir, kalau nyakitin … gue pasti pergi tanpa lo peringatin," ucap Abel. 

Lia balas mengangguk sekali, lalu menoleh dan menatap sepasang mata milik Abel  yang kini berkaca-kaca. Dia juga merasa bersalah karena terlalu ikut campur perihal urusan hati sahabatnya.

Lia hanya sangat sayang, terlalu sayang sampai begitu pedulinya hingga terkesan mengatur dan membuat Abel tidak nyaman. Tanpa kata-kata lagi mereka lantas saling memeluk, sampai saat ini memang hanya Lia tempatnya bersandar. Tidak ada seorang mama yang menjadi sandaran baginya seperti anak-anak lain, juga pelindung seperti papa. Abel kesepian. 

Hampir satu tahun mereka tinggal bersama, meskipun bukan teman kecil tetapi persahabatan mereka sangat lengket semenjak kenaikan kelas. Hampir tidak ada lagi rahasia di antara keduanya. 

"Dhani langsung balik ke Surabaya?" tanya Lia sambil menikmati martabaknya.

Next ...