"Sepertinya ucapanmu tadi hanyalah mimpi buruk ya, Az."
Azizah balas menatapku. "Ucapan yang mana?"
Aku tak menjawab, memasuki kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Lima belas menit, aku sudah siap dengan gamis biru yang membalut tubuh. Pakaianku rata-rata seperti ini, hanya gamis yang ku punya. Bahkan kalau aku bekerja, seragam pabrik itu ku pesan yang seperti desain gamis. Pabrik tempatku bekerja tak pernah mempermasalahkan, tapi wajib selalu memakai pakaian bercap itu setiap kali bekerja.
"Ayo, eh, tolong pegang ya, Ain!" Azizah menyerahkan rantang saat aku mendekat, wangi makanan yang di masaknya tercium sedikit.
"Cieee, yang mau ketemuan sama camer!" godaku, sambil memegang bahunya dan naik ke atas motor. Azizah hanya tertawa menanggapi, mulai melajukan motor melewati lorong tempatku di ganggu oleh Zikri kemarin.
"Az," panggilku membuatnya menolehkan kepalanya sekilas. "Kamu semalam kok bisa timbul tiba-tiba saat aku di cegat Zikri? Kamu punya ilmu terbang, ya?" tanyaku, sedikit kepo.
Kulihat Azizah tersenyum, sebelum berkata. "Ada yang memberitahu padaku, Ain. Anak kecil yang kebetulan lewat, katanya ada kakak-kakak cantik di ganggu sama abang-abang gila. Yakin bahwa itu kamu, aku yang sedang memegang sapu untuk menyapu teras langsung menjadikannya sapu terbang!"
Aku sontak tertawa mendengar ucapannya, sapu terbang? Yang benar saja!
"Percaya aku, kamu 'kan ratu sihir!" Masih tertawa aku mengatakannya, membuat Azizah mendesis pelan.
Motor kami memasuki sebuah pekarangan, setelah lima belas menit berkendara. Azizah buru-buru membuka helm, lalu turun setelah memarkirkan motor.
"Ya Allah, kita hampir terlambat!" Azizah berkata, menatap sekeliling. "Kamu ambil air wudhu duluan, Ain. Aku akan cari tempat duduk!" Azizah sudah bergerak sebelum mendengar balasanku.
Tak ingin membuang waktu, aku hanya menuruti ucapannya. Sampai di kamar mandi khusus wanita, aku harus antre dengan para ibu-ibu dan anak gadis yang tengah bergantian mengambil air wudhu. Mereka tampak semangat, padahal hampir setiap minggu menghadiri acara kajian ini.
"Assalamu'alaikum, Ukhti. Mau ikut kajian juga?" Aku menoleh mendengar suara itu, lalu tersenyum saat melihat seorang wanita bercadar tengah berdiri di sampingku.
"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Na'am, Ukhti." Aku membalas sopan, menatap mata kecoklatannya yang mempesona.
"Sudah lama antre?" tanyanya lagi, menatap kearah depan yang masih lumayan padat.
"Baru saja, saya dan teman saya juga baru sampai. Anti orang mana? Sepertinya saya baru kali ini melihat anti?"
"Ana baru pulang ke kota ini, Ukhti. Kemarin, ana tinggal di kota Madinah. Baru menyelesaikan pendidikan terakhir di sana. Alhamdulillah, begitu sampai di sini, ana langsung mendapat kabar tentang pengajian, makanya ana langsung menghadirinya." Wanita itu berkata lembut, sempurnanya menjadi wanita.
Sudah cantik, lemah lembut, sholehah, beruntung pula! Dia bisa belajar di Madinah, bukankah itu adalah sebuah keberuntungan luar biasa.
"Ah, begitu. Silakan, Ukhti. Itu sudah ada yang kosong satu," ucapku sopan, menunjuk salah satu kran air yang sudah di tinggalkan ibu-ibu.
Wanita itu tersenyum, aku dapat melihatnya dari gerakan matanya yang menyipit. Sesaat aku terpesona, apalagi saat melihatnya membuka cadar demi membasuh wajah untuk mengambil air wudhu. Wajahnya, cantik sekali! Subhanallah.
"Ain," ucap seseorang dari belakang, bahkan bahuku terasa di tepuk pelan, sebelum dia melangkah ke depan.
"Dapat tempat duduknya?" Aku bertanya membuat Azizah mengangguk.
"Ramai sekali, Ya Allah. Apa ku bilang, Ustadz Ahmad itu sudah kondang. Sekali menyebarkan berita kajian, beribu-ribu jamaah datang. MasyaAllah!"
Aku tersenyum, menatap wajahnya yang amat antusias. "Alhamdulillah kalau begitu, artinya masyarakat kota ini masih bersedia mengikuti kajian. Ah, ayo Az. Sudah sunyi!"
Aku menarik tangannya, mendekati kran air dan mulai mengambil air wudhu.
***
"Sedang apa kamu di sini?"
"Astaghfirullah!" Aku terperanjat mendengar seruan itu, mengalihkan pandangan, kulihat sesosok manusia tengah berdiri di hadapanku.
"Pak Mukhtar?" tanyaku pelan, tak menyangka bahwa mandor ruangan baruku ada di masjid yang sama.
Saat ini aku tengah memakai sepatu, karena jenisnya pakai tali, aku sedikit kesulitan memakainya saat berdiri. Acara kajiannya baru selesai beberapa menit lalu. Aku dan Azizah berpisah, entah ada dimana dia saat ini. Memutuskan untuk mencari, aku memakai sepatu. Baru saja aku berjalan kearah taman samping masjid untuk memakainya sebuah suara sudah mengangetkan.
"Aini, 'kan? Alhamdulillah, saya tidak salah orang." Pak Mukhtar mengulas senyum, menatapku yang masih terduduk di atas rumput sambil mengikat sepatu.
"Suka mengikuti kajian di sini? Kemarin-kemarin saya ada melihatmu beberapa kali. Sudah lama mengikutinya?" tanya beliau lagi, tapi kali ini aku baru sadar ada seorang anak laki-laki kecil yang tengah di gandengnya.
"Ah, Alhamdulillah suka, Pak. Saya dan teman saya sudah hampir empat tahun mengikuti kajian di masjid ini. Saya cukup suka dengan penceramah dan juga kajiannya," jawabku sambil menepuk ujung sepatu, lantas bangkit dari duduk.
"Suka sama penceramahnya? Maksud kamu Ahmad?"
Aku tersenyum. "Bukan dalam artian suka yang sebenarnya, Pak. Maaf, kata-kata saya tadi terlalu menjurus. Saya menyukai tata cara penyampaian kajian yang di lakukan Ustadz Ahmad. Jangan salah paham, Pak."
Saat kulihat, Pak Mukhtar tengah tersenyum. "Suka juga tidak mengapa, Ustadz Ahmad 'kan jomblo."
Aku tersenyum, lalu menggeleng pelan. "Ustadz Ahmad sudah punya pilihan, Pak. Saya juga tidak mungkin menyukainya, saya sadar diri."
Sesaat kami diam, Pak Mukhtar hanya tersenyum melihat kearah lain. Entah apa yang di pikirannya, hanya Allah dan dia sendiri yang tahu. Aku tersenyum kearah anak kecil itu yang kebetulan tengah menengadah kearahku.
"Assalamu'alaikum, Dik. Nama kamu siapa?" tanyaku sambil berjongkok, menatapnya yang tengah tersenyum.
MasyaAllah, gantengnya anak orang!
"Zain, Kak." Tanganku diraihnya, lalu tanpa aba-aba Zain mengecup punggung tanganku lembut.
"MasyaAllah, sholehnya. Nama kamu juga bagus, Zain. Kenalkan nama Kakak Aini," ujarku memperkenalkan diri.
"Aini?"
Aku tersentak, menatap kearah belakang saat mendengar ucapan dengan nada tak percaya itu. Bola mataku melebar, kenapa orang itu selalu ada di mana pun aku berada?
"Eh, Syahza maksud saya, Pak. Nama Aini itu hanya panggilan, supaya nanti Zain tidak sulit menyebutkannya," elakku cepat, menatapnya yang langsung berjalan mendekat.
"Zain," panggilnya lembut, membuat anak kecil itu mendongak.
"Ya, Paman?"
"Paman? Apa Zain sudah mengenal Pak Mursal? Iya Pak Mursal, siapa lagi laki-laki yang kumaksud!" batinku sedikit pias.
Kulirik pergerakan Pak Mursal yang sudah beranjak jongkok, lalu menatap lurus anak Pak Mukhtar itu. Eh, anaknya kah?
"Susah tidak menyebutkan nama Syahza?" tanyanya membuatku menelan ludah, kenapa harus di bahas?!
"Syahza?" Zain berkata, menyebutkan kata yang ada di akhir namaku.
"Sulit?" tanya Pak Mursal, memastikan.
Kulihat Zain menggeleng. "Kenapa, Paman?" tanyanya kemudian, tapi Pak Mursal langsung tersenyum dan mengusap kepalanya.
Sementara itu, Pak Mukhtar malah terdengar tertawa pelan, sebelum akhirnya seorang wanita datang menghampiri.
"Sedang apa anti di sini?" tanyanya, menatapku lama.
Ya Allah, ini kebetulan atau kebetulan? Kenapa aku seperti terpojok setelah bertemu dengan orang-orang ini?
Pak Mursal dan Pak Mukhtar langsung menoleh bersamaan, sebelum akhirnya aku dapat melihat Pak Mursal tersenyum. Beranjak bangkit, Pak Mursal mensejajarkan dirinya denganku tapi menatap kearah wanita itu.
"Kamu sudah selesai, Sayang?"
Deg, Sayang? Wanita ini, siapa?
Bersambung!