Chereads / Assalamu'alaikum, Ya Aini. / Chapter 13 - Berjalan Kaki

Chapter 13 - Berjalan Kaki

Sesaat aku mematung ketika wanita bercadar yang ku temui di tempat mengambil air wudhu itu mendekat. Berdiri di hadapanku dan Pak Mursal, dia menyipit kecil.

"Ada apa?" tanya Pak Mursal lagi, suaranya terdengar lembut dan penuh kasih sayang.

"Aku tadi bertemu dengan ukhti ini, Mas. Kamu mengenalnya, ya?" Wanita itu menatapku, lalu matanya menyipit karena tersenyum.

"Ah, kami hanya bertemu beberapa kali dalam dua hari ini. Kapan kamu bertemu dengan Syahza?" Pak Mursal bertanya, tak mengalihkan pandangan sama sekali dari wanita tinggi semampai bercadar itu.

"Syukurlah Pak Mursal mengatakan namaku Syahza," batinku senang, balas tersenyum seramah mungkin pada wanita itu.

"Oh, tadi sewaktu akan mengambil air wudhu. Kalau Mas Mukhtar, kenal juga?" tanyanya lagi, menatap kearah Pak Mukhtar yang berdiri di sampingnya.

Mandor ruanganku itu mengangguk. "Aini ini-"

"Syahza, Mas. Namanya bukan Aini," ujar Pak Mursal memotong, membuat mulut Pak Mukhtar terkatup.

Aku yang sudah tegang di sini. Kenapa namaku jadi beda-beda di antara mereka? Ya Allah, ini kesalahan! Bisa ketahuan aku kalau misalnya Pak Mukhtar menepis. Aku harus mencari cara untuk mengakhirinya.

"Lah, bukannya nama kamu Aini Arf-"

"Eh tunggu, itu bukannya Ustadz Ahmad dan Ibunya, ya, Pak? Tunggu dulu, ibunya 'kan?" tanyaku menunjuk arah depan, membuat Pak Mukhtar kembali terdiam dan mengalihkan pandangan ke belakangnya.

"Lah, iya. Katanya mau langsung pulang, kenapa masih duduk di sana?" tanya Pak Mursal bingung.

"Oh iya, tadi aku kemari mau minta kunci mobil, Mas. Kata Bu Dijah, beliau mau dan minta aku mengantarnya ke suatu tempat. Ustadz Ahmad tidak langsung pulang, ada urusan." Wanita bercadar itu menepuk dahinya pelan, lalu berbalik kearah Pak Mursal lagi.

Pak Mursal terdiam, lalu mengangguk paham. Merogoh saku, beliau mengeluarkan kontak mobil dari sana. "Ini, hati-hati mengemudinya, ya? Kalau nanti sudah selesai urusannya kamu langsung pulang. Jangan kemana-mana lagi!" ujarnya tegas, lalu mengusap kepala wanita itu lembut.

"Iya, Mas. Mas Mukhtar, Zain, aku duluan, ya? Ukhti, duluan, Assalamu'alaikum."

"Waalaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh."

Serempak kami mengucapkannya, membuat wanita bercadar itu tersenyum dan mulai melangkah pergi. Karena tak ada yang melanjutkan pembicaraan, lebih baik aku juga pergi menemui Azizah.

"Saya pamit juga, Pak Mursal, Pak Mukhtar. Mungkin teman saya sudah menunggu di parkiran, Assalamu'alaikum." Aku membungkukkan sedikit tubuhku, sebelum akhirnya mereka menjawab salam bersamaan dengan nama yang berbeda-beda.

"Wa'alaikumussalam Warahmatullah, Aini."

"Waalaikumussalam Warahmatullah, Syahza."

Kutelan salivaku kasar, memutuskan untuk tak mempermasalahkan, aku langsung pergi tanpa melihat mereka yang tengah berpandangan satu sama lain.

Kuhela napasku lega, berhasil keluar dari lingkaran manusia-manusia yang tak sengaja menjadi orang-orang yang harus ku jauhi, agar rahasiaku tetap terjaga. Huh, tidak bisa kubayangkan kalau misalnya Pak Mursal tahu bahwa aku adalah Aini, murid SMA yang dahulu pernah di belanya. Dan kalau misalnya beliau tahu aku berbohong, aku juga tak dapat membayangkan bagaimana tanggapannya padaku setelah ini.

"Lagipula, Pak Mursal juga sudah melupakanku, bukan? Buktinya beliau sudah punya istri, wanita bercadar itu memang jauh lebih baik dan cocok untuknya. Apalah aku jika di bandingkan dengannya," gumamku sambil berjalan, melihat Azizah yang masih di apit oleh ketiga orang itu.

Ibunya Ustadz Ahmad dan wanita bercadar tadi tengah asyik membagi cerita. "Ya Allah, aku tidak mungkin kembali ke sana. Bisa tambah runyam dan aku hanya bisa menjadi penjawab pertanyaan."

Memutuskan untuk diam di sebuah kursi, aku melihat wajah Azizah yang tampak bahagia. Mereka ada di kursi taman yang tak jauh dariku duduk, sementara aku ada di salah satu sisinya. Walaupun tidak jauh, tapi mereka tak dapat melihatku karena terhalang pohon.

Kuembuskan napas dalam, lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Rindangnya pohon menghalangi sinar matahari yang mulai terik. Ini sudah hampir pukul dua, acara kajian tadi berakhir setelah kami mengerjakan shalat dzuhur bersama-sama.

"Aku harus menjauhi Pak Mursal, dia sudah menikah." Aku menghela napas lagi, entah mengapa rasanya sedikit sesak setelah mengatakannya. "Cukuplah beliau menjadi seseorang yang berharga di masa laluku. Aku harus menjaga batasan, aku tidak mau menghancurkan hubungan orang lain."

Masih menatap langit yang tertutup daun-daun, aku memejamkan mata dengan posisi mendongak. Letak Masjid Raya yang tak jauh dari jalan besar, membuat suasananya tak pernah sunyi. Beberapa klakson mobil dan motor terdengar bersahutan, memecah kesunyian tanpa henti.

"Dimana Abi dan Ummi? Kenapa lima tahun ini tidak ada tanda-tanda jika mereka mencariku?" Aku kembali bergumam, membuka mataku sayu. "Seandainya kalian ada bersamaku, aku tidak akan seperti ini. Kapankah kita bisa bersama lagi?"

Pertanyaan yang tak tahu siapa yang dapat menjawabnya terlontar dari mulutku. Itu sebuah pertanyaan yang sangat besar, ingin sekali aku mendapatkan jawabannya. Tapi siapa yang akan menjawab? Langit dan bumi membisu, tak ada yang tahu akan rahasia itu kecuali Allah sang Maha Pencipta.

"Ummi, Abi, Aini rindu. Apakah Ummi dan Abi bahagia? Apakah kita masih bisa bertemu di dunia? Atau, Aini harus terus menerus memperbaiki diri dan mendekatkan diri pada Allah, agar kita bisa bertemu di Syurga? Kapan Ummi?" Kututup rapat kelopak mataku, menahan bulir bening air mata yang akan jatuh.

Kenapa rasa rindu seberat ini? Hamba tak sanggup menahannya Ya Allah. Kapankah ini akan berakhir?

"Kamu tinggal memilih, aku atau Aini?!"

"Tentu saja aku pilih Aini, dia anakku, aku akan membawanya! Minggir kamu!"

"Tidak, ya! Jangan bawa dia, pergi kamu! Urus saja anak itu, biarkan Aini bersamaku! Aku bisa menjadi Ibu yang baik untuknya! Jadi kita sama, kamu dengan Haikal, aku dengan Aini."

Suara-suara pertengkaran kedua orang tuaku kembali terngiang, membuat kepalaku pusing. Masa lalu itu amat buruk, tak pernah ku bayangkan sebelumnya jika aku akan menjadi seorang anak yang terlantar karena broken home. Sekarang, bukan hanya broken home aku juga hampir mengalami broken heart.

"Apakah aku masih bisa bahagia?" ucapku pelan, menoleh kearah Azizah dan Ustadz Ahmad yang sudah tidak ada di sana.

"Lho, Azizah? Kemana dia?" Sontak saja aku langsung bangkit, berjalan mendekat kearah kursi yang mereka tempati tadi.

Kutelisik sekitar, tidak ada orang yang kukenal lagi. Hanya tinggal Pak Mursal dan Pak Mukhtar yang masih bercengkrama di taman tempatku mengikat tali sepatu tadi. Berjalan memutar, aku masih tak menemukan Azizah. Hanya ada motor matic-nya di parkir tempat dia menyimpannya bersamaku tadi.

"Ya Allah, kemana Azizah?" Aku bergumam bingung, menatap motor yang bahkan tidak ada kuncinya itu. "Aku pulang naik apa?" Kupijit pelipis menahan pusing.

Menatap jalanan raya, aku menghela napas pelan. "Apa mungkin dia melupakanku? Bukankah tadi istri Pak Mursal itu bilang bahwa mereka akan pergi? Apa mungkin Azizah di ajak oleh Ibu Ustadz Ahmad?"

Aku meringis, meremas kedua tanganku cemas. "Aku pulang naik apa? Mana dari Masjid ini ke rumah jauh, bisa jam berapa aku sampai?" tanyaku pelan, kembali melihat kearah Pak Mursal yang masih ada di sana.

Mungkin mereka membicarakan bisnis, tak mungkin aku meminta pertolongan pada kedua orang yang bahkan segan untuk kuajak bicara itu. Kulangkahkan kaki menuju gerbang Masjid, berniat pulang dengan berjalan kaki. Sedikit-sedikit pasti akan sampai ini tidak akan terasa lama kalau di jalani. Aku menaiki trotoar jalanan, mencoba untuk tak menyalahkan Azizah karena dia pasti segan untuk menolak ajakan.

Jalanan padat, debu beterbangan, juga asap-asap dari kendaraan yang berlalu lalang. Mataku menatap lurus kearah depan, hingga akhirnya tak sadar saat aku menendang sebuah tonjolan dan tersandung jatuh.

"Allahu, Astaghfirullah sakitnya!" ungkapku seketika, langsung mendudukkan tubuh di atas trotoar itu. "Ya Allah, kenapa aku bisa terjatuh?"

Kuusap kakiku yang lumayan sakit walaupun memakai sepatu. Hingga tak lama kemudian, seseorang yang sudah kukenali duduk berjongkok di hadapanku. Aku mendongak, melihat wajahnya yang tampak panik dan juga raut bersalah.

"Sakit, ya, Ain? Boleh aku bantu kamu berdiri?"

Bersambung!