Aku menelusuri lorong menuju kontrakan. Aku berhasil lolos dari Pak Mursal saat beliau tengah asyik bicara dengan seseorang lelaki yang kebetulan bertemu dengan kami di restoran. Entah sedang membahas apa, yang pasti aku berhasil menjauhinya dan menyelinap pergi.
Jahat? Biarkan saja! Pak Mursal sudah menikah, aku tidak mau menjadi duri dalam hubungannya walaupun dia hanya menganggapku sebagai seorang yang tak sengaja selalu bertemu. Cukuplah, dari dulu aku tak pernah berpikir akan bertemu lagi dengannya. Tetapi entah mengapa, bumi begitu sempit.
"Azizah, kamu di dalam? Assalamu'alaikum!" Kuketuk pintu kost, lalu mengintip dari lubang kunci. "Azizah, Assalamu'alaikum! Az, Azizah!"
Kuempaskan napas kasar, Azizah belum pulang? Ini sudah jam empat sore! Kemana sih dia?
Ku coba membuka handle, tidak bisa, terkunci!
"Az, Azizah! Kamu ada di dalam?" tanyaku sekali lagi, tapi tidak ada sahutan.
Kost tempat kami tinggal sunyi, tidak ada yang lewat ataupun yang membuka pintu. Mungkin para penghuninya sedang bekerja ataupun istirahat di dalam. Kuputuskan untuk duduk selonjoran di teras, menangkup kedua pipiku dengan tangan.
"Azizah, kemana dirimu?" gumamku, menatap lurus kearah lorong. "Oh Azizah, baru bertemu camer, kamu sudah melupakanku begini. Bagaimana kalau menikah nanti?"
Kugelengkan kepala mengusir pemikiran yang aneh-aneh. Hari masih mendung, walaupun air hujannya tak lagi turun. Masih menunggu, aku menyenandungkan syair shalawat dengan suara yang sangat pelan.
***
"Ain, Ya Allah! Aku minta maaf, ya? Tadi aku mengantar Ibu Ustadz Ahmad yang tiba-tiba melemah. Beliau punya penyakit lemah jantung." Azizah yang baru datang langsung menjelaskan alasan kepergiannya tanpa ku minta.
Aku yang masih duduk di teras selama dua jam lebih hanya bisa mengangguk, lalu bangkit dan tersenyum. "Tidak apa-apa, bagaimana keadaannya sekarang?"
Azizah menjatuhkan tubuhnya ke lantai teras, menghela napasnya berulang. "Masih di rawat, katanya baru bisa pulang dua hari lagi." Azizah menarik tanganku untuk duduk. "Maafkan aku, Ain. Kamu pasti bingung mencariku, bukan? Maaf, lain kali aku tidak akan melupakan kamu. Tadi aku dan Kak Madinah sama-sama panik. Kami langsung membawanya ke rumah sakit. Lagian, setelah kita keluar. Kamu kemana sih?" tanyanya kemudian.
"Aku ada di kursi dekat pohon belimbing itu, persis di sebelah kamu." Aku berkata, melihat wajahnya yang murung. "Aku tidak apa-apa, walaupun sempat berjalan kaki separuh jalan. Tapi yang penting 'kan aku sudah sampai di sini."
Azizah tersenyum. "Aku tadi juga mencari kamu kesekitaran Masjid, tapi tidak jumpa. Sepanjang jalan, aku memperhatikan kamu. Siapa tahu jumpa, tapi ternyata kamu sudah sampai di kost. Maaf, ya?"
"Iya, tidak apa-apa. Eh, gimana berhasil mengambil hati Ibunya Ustadz Ahmad?" tanyaku sambil meringis.
Azizah mengerucutkan bibir. "Masih awal, Ain." Dia menghela napas. "Tetapi, Ibu Ustadz Ahmad sudah tidak sabar untuk menikahkan kami."
"Apa?" Tawaku pecah mendengar ucapannya. "Langsung mau menikahkan kalian?" tanyaku memastikan.
Azizah hanya mengangguk pelan, wajahnya tertekuk. "Aku tidak langsung menjawab, karena aku dan Ustadz Ahmad saja tidak terlalu banyak mengenal satu sama lain," ungkapnya membuat aku menghentikan sisa tawa.
"Kan bisa saling mengenal dalam pernikahan."
"Ih, tidak mau! 'Kan sudah ku bilang, aku masih kuliah, aku takut kewajibanku sebagai istri terbengkalai karena pendidikanku." Disandarkannya kepala kebahuku, lalu terdengar suaranya menghela napas.
"Kita pindah kota yuk, Ain!" ajaknya membuat mulutku melongo. "Pindah kota? Kamu bercanda!" tukasku kesal. "Hadapi, Az. Jangan lari! Jelaskan pada Ustadz Ahmad, kalau kamu meminta waktu untuk menyelesaikan pendidikan dulu. Atau, kalian bisa berdiskusi untuk mencari solusi lain. Kalau kita pindah kota, itu hanya akan menambah masalah."
"Tetapi bagaimana? Aku tidak bisa melakukannya! Aku juga masih terlalu muda, sementara Ustadz Ahmad empat tahun lebih tua dariku." Azizah mulai drama, suara tangis pura-pura keluar dari mulutnya. "Nanti, kalau Ibu Ustadz Ahmad meminta cucu, 'kan sulit sambil kuliah!"
Aku langsung terbatuk mendengar ucapannya, Ya Allah, Azizah terlalu jauh! Tetapi, itu bisa saja terjadi. Bukankah seseorang menikah untuk melengkapi ibadahnya dan segera memiliki keturunan?
"Kamu ini," ujarku sambil menatapnya yang tengah bersandar nyaman. "Jangan langsung memikirkan hal itu, Az. Astaghfirullah," balasku membuatnya tersenyum lebar.
Azizah bangkit, lalu menatapku lurus. "Aku hanya bercanda, tidak serius!" ujarnya sambil berdehem pelan. "Kita masuk, yuk! Oh iya, aku shift malam, kamu tidak apa 'kan aku tinggal malam ini?"
"Aku tidak apa-apa, Az. Kamu masuk jam sebelas?" Dia mengangguk, lantas bangkit dan merangkulku membuka pintu kost dan masuk ke dalam.
"Kita masak, yuk. Aku lapar!" seruku merengek.
"Masih ada sisa masakanku tadi pagi, ayamnya 'kan aku beli banyak." Azizah berkata, lalu berjalan menuju meja dapur. "Nih, aku panaskan sebentar. Kamu mandi saja duluan."
"Oke!"
Memasuki kamar mandi, aku mulai membersihkan diri. Beberapa saat kemudian, kami sudah duduk di lantai sambil menghadapi hidangan.
"Az, kamu bisa menolongku tidak?" tanyaku sambil mengunyah.
"Apa? Kalau aku mampu, aku akan membantu."
Aku menelan nasi, lalu tersenyum tipis. "Bisa tidak, mulai sekarang kamu memanggilku, Syahza? Jangan Ain atau Aini lagi."
Azizah langsung mendongak, menatapku bingung. "Kenapa memangnya?" Dia bertanya, menatapku curiga. "Kamu mau menyamar atau mau mendekati seseorang?" tanyanya lagi.
Aku tersenyum kecut. "Aku ingin menjauhi seseorang, Az. Kamu pasti tidak percaya bahwa ada seseorang yang diam-diam menyukaiku." Azizah mengernyitkan dahinya bingung.
"Kenapa aku mesti tidak percaya? Kamu cantik, wajar ada yang suka." Azizah meraih sepotong ayam lagi, membawanya ke piringku.
"Bukan itu masalahnya," ucapku, melihat ayam yang di ambilkannya. "Aku tidak mau dia menyukaiku, Az. Mustahil bagiku untuk menerima kenyataan ini."
Kuhela napasku yang sesak di paru-paru, menggantikannya dengan oksigen yang baru ku hirup.
"Tidak ada yang mustahil jika Allah sudah berkehendak, Ain. Yakinlah akan hal itu," ucapnya membuatku semakin bimbang.
"Kali ini aku tidak bisa yakin, apalagi menerimanya."
"Kenapa? Apa ada masalah? Jangan di tutupi, katakan padaku." Azizah berkata, menampilkan jenis senyum yang dapat membuat aku tenang.
"Kami bertemu dua hari lalu," ucapku memulai penjelasan. "Kemudian bertemu lagi sewaktu aku bekerja di pabrik semalam, lalu bertemu lagi hari ini di pengajian." Kulihat Azizah yang melongo tak percaya, lalu meraih minum.
"Entah kebetulan atau sengaja, tadi beliau juga yang mengantarku pulang. Tetapi karena aku bilang kalau kamu tidak ada di rumah, dia membawaku untuk mampir ke restoran dulu. Tidak lama kami di sana, aku langsung lari, pergi diam-diam saat beliau sedang bicara dengan seorang rekannya."
"Kenapa kamu lari?" tanya Azizah bingung.
"Aku tak mengenalnya, Az." Aku berbohong, ini kulakukan demi kebaikan, semoga Allah memaafkanku. "Lagipula, beliau sudah menikah dan memiliki Istri. Aku tidak mau menjadi duri dalam hubungannya jika tidak dari sekarang mengambil jarak."
"Dia sudah menikah?" Aku mengangguk, lalu menyuapkan nasi ke mulut. "Sudah menikah, tapi masih nekat untuk menemui kamu seperti ini? Wah, aku tidak akan membiarkan! Ini tidak benar! Kamu, coba beritahu aku siapa orangnya!?"
Aku tersedak mendengar ucapannya. Bagaimana ini?
Bersambung!