"Sakit, ya, Ain? Boleh aku bantu kamu berdiri?"
Zikri, dia tak menatapku saat bicara. Seakan ada sesuatu dari wajahnya yang dia sembunyikan. Menunduk, di raihnya kakiku untuk bantu di pijat.
"Tidak, Zikri, tidak sakit kok." Kutarik lagi kakiku dari tangannya, lalu mencoba berdiri.
Zikri ikut berdiri, menegakkan tubuhnya di hadapanku. "Sedang apa kamu di sini?" Dia bertanya, masih menunduk dalam.
"Ikut pengajian," jawabku pelan, mencoba untuk tak mempermasalahkan kejadian semalam. "Kamu, sedang apa di sini? Dan, kenapa kamu menunduk?" tanyaku kemudian, mulai berjalan lagi walau kakiku masih sedikit nyeri.
"Aku, baru pulang dari pemakaman di samping Masjid itu," ujarnya pelan, masih menundukkan pandangan.
Langkahku terhenti. "Kamu ziarah?" Kulihat dia menggeleng, lalu mendongak kearah depan. "Mamaku meninggal tadi pagi, baru selesai di kebumikan." Suaranya terdengar lirih, bahkan Zikri sudah kembali menundukkan pandangannya, seakan menyembunyikan wajahnya yang sedih.
"Innalillahi Wa Innalillahi Rojiun, semoga Husnul-khatimah dan Mama kamu di terima di sisi Allah." Aku tak bisa menyembunyikan kesedihan, teringat akan sosok almarhumah yang dulu sempat memperhatikanku saat masih sekolah. "A-ku turut berdua cita ya, Zikri. Mudah-mudahan kamu dan keluarga yang beliau tinggalkan di beri kesabaran. Allahumma firlaha warhamha wa'afiha warfuanha."
Zikri tak menjawab, dia bungkam di tempatnya berdiri. Tatapannya lurus kearah depan, merasakan betapa sakitnya kehilangan. "Sabar, Zikri. Aku yakin kamu akan kuat-"
"Ain," ujarnya lirih, bahkan saat aku melihat wajahnya yang tertunduk, air mata sudah mengalir deras di sana. "Kenapa kamu masih sebaik itu padaku? Aku ini teman dan laki-laki paling buruk yang pernah ada di dalam kehidupanmu." Dia menyeka air matanya kasar, lalu kembali berkata. "Kenapa kamu masih bisa mendoakan Mama dari seorang yang brengsek dan kurang ajar sepertiku?"
Aku diam, membiarkannya mencurahkan segala kepedihan karena di tinggalkan orang tua yang berjasa dalam hidupnya. Jalan di samping kami masih padat, hingar bingar tiada henti.
"Aku tidak punya alasan untuk tak melakukannya, Zikri." Aku berkata, setelah melihatnya tak kunjung menghentikan tangis.
Yakinlah, sejahat dan sekejam-kejamnya seseorang, dia takkan mampu memendam kesedihan atas kepergian orang yang di sayanginya.
"Aku yakin kamu dan teman-teman yang lain hanya khilaf. Tidak ada yang kumasukkan dalam hati semua yang kalian katakan dulu. Aku tidak memendam sedikitpun rasa dendam," ujarku tulus, melihat kearah depan.
"Jangan merasa bersalah padaku, Zikri. Bertaubatlah, doakan ibumu agar beliau tenang di alam sana. Aku tahu kamu adalah seseorang yang baik."
Kuberanikan diri untuk menepuk bahunya, walaupun bukan mahram, tapi pakaian hitam yang di pakainya cukup tebal. Jadi, ada penghalang yang membuat kami tak bisa bersentuhan.
Entah karena tepukanku atau ucapanku, Zikri akhirnya mengangkat kepala dan menoleh kearahku. Aku tersentak, melihat pipi dan matanya yang membiru, seperti bekas pukulan.
"Kenapa wajah kamu?" tanyaku bingung, menunjukkan bekas luka itu.
Zikri menggeleng, dia mengusap air matanya. "Ini tidak ada apa-apanya di banding rasa sakit hati yang kualami." Di ujung kalimatnya, Zikri tersenyum tipis. "Terima kasih untuk ucapan dan doanya, Ain. Hati-hati, aku pergi!"
Belum sempat aku menjawab, dia sudah berlari lebih dulu kearah depan. Membuatku mengurungkan niat untuk menghentikannya dan kembali melangkah pelan jauh di belakangnya.
Hari ini, setelah sekian lama aku mengenalnya, baru kali ini aku melihat Zikri menangis. Air matanya bukan air mata buaya yang di keluarkan oleh seseorang yang berpura-pura. Aku dapat melihat wajahnya yang penuh tangis dan raut penyesalan. Tak menyangka sama sekali, padahal kemarin dia masih bisa bersikap tegas dan berani menggertak kami bertiga. Tapi hari ini, kesedihan menghampirinya. Allah sedang menunjukkan kasih sayangnya dengan cara memberinya ujian.
"Semoga Engkau mengetuk pintu hatinya dan membuatnya menjadi hamba yang baik, Ya Allah. Engkau yang maha membolak-balikan hati." Aku bergumam sambil mengusap wajahku yang kebas.
Semakin lama langkahku semakin lambat, aku sudah lelah tapi tempat kost masih lumayan jauh. Aku berhenti dan berdiri untuk kesekian kalinya di tiang listrik yang menjulang. Rasanya aku ingin sekali duduk, tapi tidak ada tempat duduk di sepanjang jalan ini. Kuseka keringat di dahi dan daguku berulang, mungkin make-up yang ku pakai tadi sudah luntur akibat keringat.
"Seandainya aku bisa terbang, mungkin aku tidak akan merasa selelah ini," ujarku pelan sambil tertawa kecil. "Azizah, gara-gara bertemu dengan camer, dia melupakan seorang sahabatnya yang malang ini."
Kulepaskan peganganku di sebuah patok tanah, kembali melanjutkan langkah.
"Syahza!"
Dan tak perlu kukatakan lagi siapa yang memanggil namaku dari arah samping ini. Memangnya, selain beliau siapa lagi yang memanggilku Syahza?
"Ya, Pak?" Aku masih berjalan, melihatnya yang tengah mengendarai mobil seorang diri.
"Mau kemana kamu?" tanyanya kemudian, kulihat jarinya mengetuk stir yang di genggamnya.
"Ke pasar malam, Pak!" balasku santai, masih melangkah pelan, tak peduli padanya yang sudah tersentak dan menginjak rem secara spontan.
"Saya serius, Syahza!" serunya tegas, membuat tengkukku meremang.
Aku ingat nada itu adalah awal dari bentakan yang selalu dikeluarkannya dulu pada kami. Sampai sekarang, Pak Mursal masih terlihat menakutkan kalau sedang marah ataupun setengah marah.
"Maaf, Pak." Kuhentikan langkah, lalu menghadap kearahnya sambil menunduk. "Saya sedang berjalan menuju pulang," ujarku sopan, aku sebenarnya sedang takut.
Tidak ada yang kudengar kemudian selain mesin mobil yang di matikan lalu suara pintu mobil yang terdengar di buka. Saat aku mendongak, Pak Mursal sudah berdiri tegak dengan gerakan tangan yang menutup pintu.
"Maaf, Pak. Tadi saya hanya bercanda, jangan ambil serius, ya?"
Menyadari situasi yang tak aman, aku menangkup kedua tangan di depan wajah. Sebelah mataku kubuka untuk mengintip wajahnya yang tampak datar tak berekspresi.
"Jangan menguji keimanan saya, Ain."
Deg, apa dia bilang? Ain? Kenapa panggilan itu akrab sekali? Sama seperti dulu!
Memberanikan diri, aku kembali mengintip. "Maksudnya? Tadi Bapak memanggil saya apa? Ain, nama saya 'kan Syahza!" ujarku membenarkan, aku tak ingin dia memanggilku dengan nama itu.
"Rasanya nama Syahza terlalu berbelit, lebih mudah memanggil nama panggilanmu, Aini." Tekannya tak ingin di bantah, lalu berkata lagi. "Kamu tidak keberatan, bukan?"
Aku tak langsung menjawab, ku turunkan tangan dari depan wajahku. "Aini atau Ain itu hanya panggilan bagi orang-orang yang dekat dengan saya, Pak. Kita, maksudnya saya dan Bapak 'kan baru bertemu beberapa kali."
Ayolah, cari cara agar kau bisa menjauhinya, Ain! Pak Mursal sudah menikah!
Melihatnya yang tak mengatakan apapun, aku tersenyum kecil. "Saya pamit pulang, Pak. Bisa kemalaman kalau saya tetap di sini. A-"
"Tunggu," potongnya cepat, melangkah lebih dekat dan naik keatas trotoar. "Kamu bilang panggilan Ain itu hanya untuk orang-orang terdekat kamu?" Aku mengangguk tanpa ragu, membuatnya menatapku dengan sorot tajam. "Apa saya masih terlalu jauh untuk kamu? Bukankah kita sudah sering bertemu?" tanyanya tegas, seakan tak terima akan ucapanku beberapa saat lalu.
"Ya, begitulah, Pak. Kita hanya bertemu secara kebetulan, tidak di sangka. Menurut saya, Bapak adalah orang baru yang bahkan belum tahu apa dan siapa saya. Jadi, hubungan kita ini masih sangat-sangat jauh sekali." Kutatap wajah sekilas sambil tersenyum, tapi Pak Mursal malah balas tersenyum tipis.
"Kalau begitu, saya bersedia membuat sebuah hubungan baik padamu agar kita lebih mengenal dan bisa menjadi lebih dekat." Pak Mursal berkata seperti tak punya beban. "Bagaimana, Ain?" lanjutnya santai, bahkan dua alisnya naik saat menyelesaikan kata terakhir.
Bersambung!