"Jika aku yang dulu, mungkin aku akan memilih Felix di atas segalanya," ujar Andrea.
Evans terkekeh mendengar jawaban Andrea seakan meledeknya. Hal itu sontak membuat Andrea memicingkan matanya.
"Kau meremehkanku?" ujar Andrea sengit.
"Kenapa kau bodoh sekali tentang pria. Padahal terhadap hal lain kau begitu tegas. Cinta macam apa yang kau jalani sampai kau rela mengorbankan prinsip hidupmu sendiri?" sindir Evans.
"Yah, itulah kebodohanku. Aku tak akan menyangkal. Bahkan jika waktu diputar. Saat itu tetap saja indah di dalam ingatanku," ujar Andrea.
"Huh, kau benar benar bodoh. Itulah mengapa kau mudah sekali ditipu pria. Tapi kenapa aku tak bisa melakukan itu padamu? Apa yang salah?" ujar Evans.
"Karena aku sudah belajar untuk tidak menjadi bodoh seperti dulu," ujar Andrea.
"Oh, itu bagus. Aku setuju. Tapi di tempat ini, kau harus mematuhi aturan yang ada. Bukan hanya kau, semua yang ada di dalam tempat ini harus mematuhi aturan. Karena itu adalah aturan dasar dan prinsip terciptanya DC," ujar Evans.
"Itu makanya kau marah besar saat Laura tak menyampaikan apa yang harusnya ia sampaikan?' tanya Andrea.
"Ya, jika kau tak bisa menjaga tugasmu dengan benar. Kau tak tak pantas ada di DC. Tempat ini ku desain untuk membentuk karakter manusia yang disiplin namun tak monoton. Tapi kebohongan, korupsi, dan ketidak Adilan tak boleh ada di sini," ujar Evans.
"Kau punya dendam pada seseorang?" tanya Andrea.
Evans tak menjawab pertanyaan Andrea ia hanya menatap gadis itu tajam seolah tak ingin jika Andrea bertanya lebih dalam tentangnya.
"Ah, kau orang yang seperti ini rupanya," ujar Andrea.
"Seperti apa?" tanya Evans.
"Ya seperti itu, memendam masalahmu sendiri. Orang lain tak boleh tahu. Kau membantuku, membantu orang orang di tempat ini. Tapi kau sendiri tak mau mengeluarkan isi hatimu," tukas Andrea.
Evans memejamkan matanya sejenak. Mencoba tak goyah karena pertanyaan Andrea.
"Kau benar benar ingin tahu apa isi hatiku?" ujar Evans.
"Kalau kau butuh teman untuk bercerita. Kau bisa mengatakannya padaku. Ya, hitung hitung ini sebagai ucapan terimakasihku padamu. Aku tahu kau membantuku. Tapi aku tak bisa mengelak, caramu membantu membuat orang lain curiga," ujar Andrea.
Tiba tiba saja Evans berpindah dari kursi ke ranjang di sebelah Andrea. Duduk sangat dekat dengan Andrea. Sambil menatap gadis itu.
"Kau serius?" tanya Evans dengan tatapan dalam.
"Ouh, ouh, i – iya," jawab Andrea terbata.
Evans duduk lebih dekat lagi dengan Andrea. Ia juga meletakan tangannya pada bahu Andrea.
"Katakanlah, apa yang ada dalam hatimu," ujar Andrea. Ia tak berani menatap ke arah Evans yang begitu dekat duduk dengannya.
Entah mengapa, Andrea tak menolak saat Evans begitu dekat dengannya. Bahkan saat Evans merangkulnya ia juga tak berpikir apapun.
Tangan Evans yang satunya mencoba meraih pipi Andrea dan mencoba mendekatkannya dengan wajahnya.
"Ka–kau mau apa?" tanya Andrea gugup.
"Ada yang kuinginkan," ujar Evans lembut.
"Hah, apa?" balas Andrea lirih.
"Tidur denganmu," ujar Evans.
Seketika Andrea membelalakkan matanya.
"Apa! Kau brengsek!" pekik Andrea.
Evans tertawa terpingkal - pingkal melihat ekspresi Andrea yang sangat marah.
Ia melepaskan tangannya dari Andrea dan merebahkan diri di atas ranjang.
"Kau benar benar bodoh," ujar Evans.
Andrea menoleh ke belakang ke arah Evans yang sedang asyik merebahkan dirinya di atas ranjang.
"Kau harus keluar dari sini. Kau sedang bermain main denganku, kan?" pekik Andrea.
"Ya, kau benar. Aku sedang bermain main denganmu. Kau mudah sekali dipermainkan. Aku sampai heran, kenapa kau bodoh sekali. Kau pikir kau siapa? Kenapa aku harus bercerita banyak denganmu? Kita belum satu bulan saling mengenal. Untuk apa aku melakukan itu," ledek Evans.
"Brengsek! Brengsek! Brengsek!" pekik Andrea seraya memukuli badan Evans yang sedang telentang itu.
"Hentikan! Jangan membuat keributan!" ujar Evans.
Tapi Andrea tak menghentikan aksinya. Karena tak ingin ada suara terdengar, Evans menarik Andrea dan merengkuhnya ke dalam pelukannya.
"Lepaskan aku! Lepaskan!" ujar Andrea sambil berusaha lepas dari pelukan Evans.
Evans malah semakin erat memeluk tubuh Andrea. Bahkan kakinya ia silangkan ke badan Andrea. Agar gadis itu tak berkutik sedikitpun.
"Diamlah, kalau kau tak diam kubungkam mulutmu!" ujar Evans.
"Keluarlah dari sini! Kenapa kau suka sekali menggangguku," ujar Andrea.
"Kau benar benar ingin kubungkam mulutmu?" ujar Evans.
"Aku tak pe ... "
CUP!
Evans menempelkan bibirnya pada bibir Andrea yang tak mau diam. Sontak saja Andrea tak bisa meneruskan kata katanya.
Ia bahkan tak bisa berbuat apapun. Rasanya seperti aliran darahnya membeku. Seperti ada sengatan listrik menyambarnya.
"Sudah kubilang, diam," ujar Evans setelah melepaskan bibirnya dari bibir Andrea.
Andrea tak bisa berkata kata lagi. Jantungnya berdetak kencang. Padahal ini hanya kecupan biasa. Tak ada artinya.
"Kau memang suka menyentuh wanita sesukamu?" ujar Andrea.
"Emmm, entahlah. Aku tak pernah memikirkannya. Semua terjadi begitu saja," ujar Evans.
"Karlina?" ujar Andrea.
"Ada apa dengan wanita itu?" tanya Evans.
"Kau tidur dengannya, kan?" tanya Andrea.
"Ya, kami melakukan hal-hal intens jika dibutuhkan," ujar Evans.
"Kenapa? Apa kalian saling tertarik?" tanya Andrea.
"Bukan seperti itu. Jika kau ingin mendapatkan sesuatu kau juga harus melakukan sesuatu. Aku ingin wanita itu bertugas dengan benar. Dan dia hanya mau tubuhku sebagai gantinya. Ya, sudah aku lakukan," ujar Evans.
"Tanpa perasaan?" tanya Andrea.
"Ya, tanpa perasaan. Aku tak tahu apa itu perasaan. Asal dia bekerja dengan baik. No problem," ujar Evans.
"Kau sama saja menjual dirimu," ujar Andrea.
"Terserah jika kau berkata begitu. Tapi aku tak pernah menawarkan diriku. Mereka yang mau tidur denganku. Dan aku tak pernah mengajak mereka tidur denganku," ujar Evans.
Andrea buru buru melepas pelukan Evans dari tubuhnya. Namun tangan Evans, masih saja saling mengait satu sama lainnya.
"Kau tak mau melepasku?" ujar Andrea.
"Aku belum pernah memeluk seseorang sebelumnya," ujar Evans.
"Kau pasti menipuku lagi. Lepaskan!" pekik Andrea.
"Mulutmu ingin kubungkam lagi?" balas Evans.
"Jangan!" tukas Andrea.
Evans mengehela napas lalu memandangi wajah Andrea. Pipi gadis itu tampak memerah.
"Kau suka aku melakukannya?" tanya Evans.
"Apa maksudmu?" ujar Andrea tak mengerti.
"Kau ingin kucium lagi?"
"Berhenti menggodaku," ujar Andrea.
"Padahal kau bisa saja mengaku pada Alex dan yang lain kalau kita dekat setelah kucium kau," ujar Evans.
"Apa manfaatnya untukku?" tanya Andrea.
"Alex tak akan berani melakukan hal yang buruk padamu," ujar Evans.
"Apa dia jahat?"
"Tidak, dia tak jahat. Dia hanya terlalu disiplin. Lebih daripada aku," ujar Evans.
"Kenapa?" tanya Andrea.
"Apanya yang kenapa?" balas Evans.
"Banyak wanita di DC. Kenapa aku yang kau perlakukan begini?" tanya Andrea
Next ...