Kenand baru saja keluar dari gedung tempat Andrea dihukum membawa perlengkapan makan yang digunakan Andrea tadi.
"Bagaimana keadaannya?"
seseorang bertanya dari kegelapan.
"Astaga! ... Tuan, sedang apa Anda di sini?" pekik Kenand terkejut karena tiba tiba saja Evans muncul di depannya.
"Ini gedungku. Kenapa aku tak boleh ke mari?" timpal Evans.
"Kalau Anda ke mari, kenapa Anda menyuruh saya mengantar makanan untuknya? Anda kan bisa melakukannya sendiri," ujar Kenand.
"Di sini kau atau aku tuannya? Kenapa kau malah memerintahkan?" balas Evans.
Kenand menghela napas melihat tingkah bosnya itu.
"Maafkan atas kelancaran saya," ujar Kenand. Ia lantas berjalan hendak keluar dari DC.
"Mau kemana kau?" tanya Evans.
"Ini sudah jam sepuluh malam. Sudah saatnya saya pulang. Jam kerja telah usai," jawab Kenand.
"Tapi ... "
Kenand berbalik pada bosnya itu sambil memicingkan matanya.
"Kalau Anda ingin tahu bagaimana kabarnya, sebaiknya Anda datang ke sana. Anda bisa tidur berdua seperti yang kulakukan dengannya," ujar Kenand.
"A – apa? Tidur berdua?" Evans terbelalak mendengar ucapan Kenand.
"Ya, saya tadi tidur di ranjang itu," ujar Kenand.
Evans langsung menghampiri Kenand dan menarik kerah sekretarisnya itu.
"Apa maksudmu berkata tidur bersama?" ujar Evans dengan nada seperti menuntut klarifikasi.
"Kenapa Anda ingin tahu? Biasanya Anda tak perduli dengan siapa saya tidur?" ujar Kenand sambil menatap mata bosnya itu.
"Ah, itu karena ... karena ... karena dia pernah dilecehkan. Kau tak boleh melakukan hal yang sama pada korban pelecehan," ujar Kenand.
"Saya kan tidak melakukan pelecehan. Dia tidak menolak," ujar Kenand.
"Hah?" Evans tertegun mendengar ucapan Kenand. Tangannya refleks melepas kerah baju Kenand.
Melihat ekspresi itu dari bosnya Kenand tersenyum jahil. Sepertinya ia tahu mengapa bosnya bersikap seperti ini.
"Apa Anda punya perasaan padanya, Tuan?" tanya Kenand.
"Apa? Hah ... Kau gila! Mana mungkin aku punya perasaan padanya. Kau tahu siapa saja yang mengejarku? Kenapa harus dia?" ujar Evans terbata.
Kenand memainkan bibirnya seolah tak percaya akan apa yang bosnya ucapakan.
Namun Kenand juga tak yakin apa ini benar. Karena selama bertahun tahun bersama Evans. Baru kali ini Evans terlihat begitu antusias dengan wanita.
"Sudahlah, aku harus kembali ke rumah," ujar Evans.
"Silahkan," ujar Kenand sambil tersenyum.
Ucapan Kenand itu terasa tak enak terdengar di mulutnya.
"Ah, tidak. Aku akan menengoknya sebentar," ujar Evans lagi.
Namun Kenand tak merespon apapun. Ia hanya tersenyum geli melihat tingkah bosnya itu.
"Kenapa kau diam saja?" tanya Evans.
"Lalu apa yang harus saya lakukan? Anda bos, saya hanya bawahan Anda. Dan ini juga tempat Anda," ujar Kenand lugas.
Evans menghela napas kasar. Tanpa basa basi ia meninggalkan Kenand dan masuk ke gedung tempat Andrea dihukum.
Kenand Sekai lagi tersenyum melihat tingkah aneh bosnya itu.
"Aku tahu dia aneh, tapi kali ini dia lebih aneh. Apa dia benar benar menaruh hati pada wanita itu? Jika iya, itu akan mengganggu stabilitas yang selama ini tercipta," gumam Kenand.
***
Evans berdiri tegak di depan ruangan nomer dua puluh lima, tempat dimana Andrea ditahan.
Ia ingin masuk tapi ragu. Ia menoleh ke sana ke mari melihat apa ada orang di tempat itu. Karena tak lucu jika ia ketahuan mendatangi peserta yang sedang dihukum malam malam. Seperti seorang kekasih yang menghampiri kekasihnya yang sedang dipingit.
"Tuan Evans!" seseorang memanggil Evans.
"Ah, kau Max," sapa Evans dengan berwibawa.
"Kenapa Anda kemari malam malam?" tanya Max.
"Ah, aku tak bisa tidur dan ingin jalan jalan di gedung ini. Kupikir ini harus segera diubah dekorasinya," ujar Evans seraya menambahkan menunjuk ke arah langit langit dan dinding.
Max mengikuti ke mana arah tangan Evans menuju. Ia mengernyitkan dahinya sejenak.
"Bukankah dekorasi ini seperti yang Anda mau? Anda sendiri yang turun menentukan desainnya?" ujar Max.
"Ah, iya, benar. Tapi kurasa ada yang tak sesuai expektasiku," gumam Evans.
"Benarkah begitu, Tuan? Baiklah, saya akan bicara pada pengurus gedung agar dekorasinya diubah. Maaf atas kelalaian pekerjaan saya," ujar Max.
"Tidak Max, tak salah. Ini bukan tugasmu. Dan kenapa juga kau kemari?" tanya Evans.
"Oh, saya mendapat tugas dari Alex mengecek gedung ini. Dia harus mengecek asrama," ujar Max.
"Oh, baiklah. Terimakasih sudah bekerja keras," ujar Evans.
"Saya senang sekali kalau Anda berbicara seperti itu," ujar Max.
"Lanjutkan pekerjaanmu," perintah Evans.
"Baik Tuan, Anda masih ingin di sini?"
"Eeem, ya, aku masih ingin melihat lihat," ujar Evans.
"Kalau begitu saya permisi dulu," ujar Max.
"Ya."
Max meninggalkan tempat itu. Hal itu membuat Evans bernapas lega.
"Ahh, ada apa denganku?" gumam Evans.
Tanpa sadar ia mengeluarkan kunci ruang dua puluh lima dan membukanya.
JEGREK!
Tampak jelas Andrea sedang asyik tiduran di atas ranjang sambil bersenandung merdu.
Namun kedatangan Evans yang tiba tiba itu sontak saja membuat Andrea terkejut.
"Apa yang kau lakukan di sini?" pekik Andrea.
"Ssst, diamlah! Jangan membuat keributan," ujar Evans seraya menutup pintu.
"Kau mau apa malam malam ke sini?"
"Kubilang diam!" ujar Evans.
DOK! DOK!
Seseorang mengetuk pintu ruangan itu.
"Ada apa? Kenapa kau memekik?" Ternyata itu adalah suara Max yang mendengar suara Andrea dari luar.
Evans memberi kode pada Andrea agar ia tak memberitahu pada Max bahwa dia di sini.
"Oh, tidak apa apa. Aku hanya sedang kesal," jawab Andrea.
"Tidurlah, ini sudah malam," ujar Max dari luar.
"Ouh, ya," jawab Andrea.
Langkah kaki Max terdengar meninggalkan tempat ini. Andrea menghela napas lega.
"Kenapa kau ke sini?" tanya Andrea lirih.
"Entahlah, aku juga tak tahu kenapa aku ke sini" jawab Evans santai sambil duduk di kursi yang ada di ruangan itu.
Evans menatap isi ruangan itu. Ia tersenyum sendiri seolah bangga pada sesuatu.
"Apa yang lucu?" tanya Andrea.
"Tidak, aku hanya bangga pada diriku saja. Bahkan di ruangan yang bisa dikatakan penjara ini aku baik sekali membuatnya senyaman ini," ujar Evans.
Andrea lantas duduk di atas ranjang memperhatikan pria ini.
"Kukira kau hanya aneh, ternyata kau benar benar tak waras. Senyaman apapun tempat ini. Itu tak ada artinya dibandingkan kebebasan," ujar Andrea.
Evans termangu mendengar ucapan Andrea. Entah mengapa ucapan remeh itu menusuk ke dalam kalbunya.
"Kau tak suka dengan semua kemewahan yang kuberikan?" tanya Evans.
"Suka, tentu aku suka. Wanita mana yang tak suka dengan semua hal yang mereka idamkan ini. Tapi kalau harus ditukar dengan kebebasan. Aku akan tetap memilih kebebasan," ujar Andrea.
"Bahkan jika itu, Felix yang meminta?" balas Evans.
Andrea terlihat berpikir. Sepertinya ia tak bisa menjawab pertanyaan Evans itu.
Next ...