"Lepaskan tanganmu," ujar Andrea.
"Jawab aku," ujar Evans.
"Apa," bantah Andrea.
"Kau akan melakukannya di DC," ujar Evans.
Andre menatap Evans lekat lekat. Pria ini benar benar tampan, badannya tegap tinggi besar. Yah, wajah blesteran memang tak pernah mengecewakan.
Andai saja Evans tak menyebalkan pasti ia akan jatuh hati pada pria ini.
"Kau menatapku?" ujar Evans.
"Apa maksudmu? Untuk apa aku menatapmu," ujar Andrea.
"Entahlah, kau yang menatapku. Seolah olah aku adalah pria yang kau idam idamkan," ujar Evans.
"Ha, ha, ha. Kau memang tidak waras. Lepaskan aku. Aku ingin mandi," ujar Andrea.
"Pantas saja kau bau sekali. Cepat bersihkan dirimu. Kita makan malam sebentar lagi," ujar Evans.
Andrea melepas paksa tangan Evans yang masih mendekapnya. Ia melangkah begitu saja berlalu meninggalkan Evans.
"Unik sekali wanita itu," gumam Evans.
"Tuan Evans," panggil Madam Kim.
"Oh ya, ada apa?" tanya Evans.
"Saya ingin memberitahukan sesutau," ujar Madam Kim.
"Apa itu?" tanya Evans.
"Mari ikut saya," ujar Madam Kim.
Evans mengikuti Madam Kim menuju keluar rumah. Mereka berjalan menuju ke halaman depan.
"Itu Tuan," ujar Madam Kim seraya menunjuk ke arah taman.
Evans mengernyitkan dahinya. Ia lantas mengambil sesuatu dari tempat itu.
"Ada dimana saja?" tanya Evans.
"Saya baru menemukan di sini dan di teras depan," ujar Madam Kim.
"Baiklah kalau begitu. Jangan buat keributan apapun. Hanya kau dan aku yang tahu," ujar Evans.
"Baik Tuan," ujar Madam Kim.
"Kita kembali, Andrea akan segera makan malam," ujar Evans.
"Baik Tuan, saya sudah siapkan menu untuknya," ujar Madam Kim.
****
Andrea bingung melihat menu makanan untuknya. Ia hanya bisa menatap satu per satu menu yang di sajikan.
"Ada apa ? Kau tak mau makan ini lagi?" tanya Evans.
"Apa pelayanmu harus memasak sebanyak ini untuk makan satu orang saja? Kau sendiri bahkan hanya makan satu menu milikmu," ujar Andrea.
"Kau bisa tak usah memakannya jika tak mau," ujar Evans sambil menyantap makanannya.
"Kau membuang buang makana. Di luar sana padahal banyak yang kelaparan tak bisa makan," ujar Andrea.
Evans meletakan pisau dan garpunya. Ia lantas menatap tajam ke arah Andrea.
"Apa kau akan berkotbah di sini? Kau hanya perlu makan jika kau mau. Kalau tak suka tak usah kau makan. Apa kau orang suci sehingga kau berkotbah di depanku?" ujar Evans dengan nada serius.
Suara Evans membuat Andrea menciut. Ya, sebenarnya Andrea takut berada di dekat Evans. Pria ini entah mengapa memberikan aura misterius yang ia tak tahu.
"Kau akan tinggal di sini sementara sebelum aku memindahkanmu ke DC center," ujar Evans.
"Itu apalagi?" ujar Andrea.
"Itu tempat untukmu berlatih menjadi manusia hebat," ujar Evans.
"Apa itu semacam pelatihan untuk me jadi hero?" tanya Andrea penasaran.
"Apa kau sebodoh ini? Berapa umurmu? Tidak ada yang namanya hero. Semua itu omong kosong. Jangan menggantungkan dirimu oada hal hal khayal seperti itu," ujar Evans.
"Tapi kau menolongku. Apa kau bukan termasuk hero?" tanya Andrea.
Evans terdiam mendengar pertanyaan Andrea. Suasana seketika hening. Hal itu membuat Andrea tak berani melanjutkan pembicaraan.
Ia meneruskan makannya. Sesekali melirik Evans yang tak berekspresi apapun.
"Setelah ini sebaiknya kau tidur. Kau harus bangun pagi pagi besok. Alex tak pernah menolerir keterlambatan," ujar Evans.
"Ehem, ya," sahut Andrea pelan.
****
Andrea tak bisa tidur ia memiringkan tubuhnya ke sana ke mari. Kamar mewah ini memang sangat bagus dan nyaman. Tapi sama sekali tak membuatnya nyaman.
"Sebaiknya aku mencari angin dulu," ujar Andrea.
Ia lantas turun dari ranjangnya dan berjalan keluar dari kamarnya.
"Rumah ini siang hari saja menyeramkan. Apalagi malam begini. Lalu bodohnya aku berjalan jalan di tengah malam begini," gumam Andrea.
Andrea berjalan menyusuri lorong rumah mewah dan misterius milik Evans ini. Hanya ada kegelapan. Lukisan lukisan tua terpajang sangat rapi di tembok tembok.
Yang membuat Andrea bingung, ada satu lukisan dua anak kecil di ruang utama.
"Kenapa tak ada foto kelurganya? Apa dia tak punya keluarga?" gumam Andrea.
Andra hendak berbalik namun ia menabrak seseorang di depannya.
"Arrrgh!" Andrea terkejut melihat sosok besar di depannya.
"Kenapa kau keluar malam malam?" ujar orang itu yang ternyata adalah Evans.
"Kenapa kau berdiri di belakangku seperti itu? Kau mengagetkanku," ujar Andrea.
"Bukankah kau lebih menakutkan? Kau mengenakan gaun tidur putih dan rambutmu terurai ke bawah," balas Evans.
Andrea tak mau berdebat dan berlalu begitu saja. Evans mengikuti Andrea dari belakang.
"Kenapa kau mengikutiku?" tanya Andrea.
"Aku hanya ingin mencari angin," ujar Evans.
Andrea berhenti mendadak membuat Evans juga berhenti mendadak.
"Kau duluan," ujar Andrea.
"Baiklah," ujar Evans.
Evans berjalan melewati Andre ke arah luar rumah. Karena penasaran Andrea mengikuti langkah Evans.
"Sekarang kau yang mengikutiku," ujar Evans.
"Kau yang punya rumah ini. Pasti kau lebih tahu apa saja yang ada di rumah ini," ujar Andrea.
"Kau tak takut jika aku ternyata seorang psikopat?" tanya Evans.
"Apa?" Andrea tiba tiba berhenti karena terkejut dengan ucapan Evans.
Evans tertawa lalu berlalu meninggalkan Andrea. Andrea kesal sekali karena Evans meledeknya.
"Kenapa aku mudah sekali tertipu?" gumam Andrea geram.
Andrea lantas mempercepat langkahnya mengikuti Evans. Evans tersenyum saat Andrea tertatih mengikuti langkahnya.
"Tunggu aku, di sini gelap. Aku tak bisa melihat apapun," ujar Andrea.
"Kakimu pendek. Makanya kau tak bisa berjalan dengan cepat," ledek Evans.
"Kenapa kau tinggal di tempat angker seperti ini?" tanya Andrea.
"Aku tak suka cahaya," ujar Evans.
"Kau bukan vampir kan?" tanya Andrea.
"Apa yang ada di otakmu cuma ada khayalan. Tadi hero, sekarang vampir. Jangan jangan kau juga berfikir tentang cerita cerita drama yang selalu berakhir dengan ending yang sama semua?" ledek Evans.
"Memangnya kenapa? Semua wanita pasti memikirkan hal seperti ini," ujar Andrea.
"Dan kau berakhir di khianati," ujar Evans.
"Kenapa kau membahasnya. Apa kau tak tahu jika hatiku sangat terluka karena itu," ujar Andrea galau.
Evans menoleh ke arah Andrea dan menatapnya. Ya, pengkhianatan Felix tak sembarangan. Dia tak hanya berselingkuh dengan wanita lain.
Ia tega menjual kekasihnya hanya demi jabatan. Lelaki seperti itu tak pantas untuk ditangisi.
"Kenapa kau tak menangis?" tanya Evans.
"Hah?" Andrea tertegun mendengar pertanyaan Evans.
"Kau seharusnya menangis. Bahkan setetespun tak keluar dari matamu ketika kau bersamaku," ujar Evans.
Andrea yang tadinya tak ingin menangis jadi mengeluarkam air mata.
"Bukan karena aku tak ingin menangis. Sungguh semua ini terasa berat untukku. Tapi ... " Andrea terisak tak sanggup memyelesaikan kata katanya.
Evans langsung mendekap Andrea yang menangis tersedu sedu itu.
Next ...