Andika menunggu gadis itu di dekat tangga darurat di lantai satu. Gadis yang sedang dinantikan itu akhirnya datang. Ve keluar dari sebuah mobil taksi.
"Menolak untuk pergi bersamaku dan memilih naik taksi. Bagus, Ve. Sampai kapan kamu akan bersikap aneh seperti ini?"
Grep!
Andika menarik tangan Ve saat gadis itu sedang menunggu lift. Jay baru saja keluar dari lift lalu melihat bayangan berkelebat menuju tangga darurat. Ia mengkuti mereka untuk mencuri dengar apa yang mereka bicarakan.
Jay bukan cuma sahabat, tapi saudara angkat Andika. Dia sangat peduli dengan kebahagiaan dan kesehatan laki-laki itu. Terakhir kali saat mendengar penyakitnya kambuh, Jay mulai panik.
(Jangan sampai pasien merasa tertekan. Hal itu bisa membuat trauma pasien semakin parah) Jay selalu mengingat kata-kata yang diucapkan oleh dokter. Selama dua tahun, penyakit laki-laki itu tidak pernah kambuh. Namun, kehadiran Ve dalam hidup Andika, membuat Jay mengkhawatirkannya.
"Lepaskan aku! Dika! Tanganku sakit," kata Ve sambil mencoba melepaskan tangannya dari cengkeraman tanga Andika.
Andika berhenti di tangga darurat lantai empat. Ia menatap tajam penuh intimidasi. Masih terasa darahnya bergejolak sejak pagi tadi.
"Kau menghindariku, tapi terus berbohong padaku. Apa aku punya salah, Ve? Jawab aku, Ve!" teriak Andika di saat meminta penjelasan Ve.
"Aku sudah bilang, aku tidak sedang menghindarimu. Kenapa kamu terus bertanya tentang hal yang sama berulang-ulang? Kita baru resmi berpacaran beberapa hari yang lalu, tapi kamu sudah bersikap seperti ini. Kamu membuatku tertekan, Dika," ucap Ve dengan sudut mata berair. Ia tidak bisa mengatakan kebenarannya. Hanya bisa berbohong dan bersikap seolah tidak ada apa-apa.
"Kamu …. Jadi, kamu merasa tertekan menjadi pacarku, begitu maksudnya?" tanya Andika tak percaya apa yang diucapkan kekasihnya.
Baru menjalin kasih selama beberapa hari, mereka sudah bertengkar. Semua karena sikap Ve yang terus menyembunyikan masalah dari Andika. Memangnya kenapa jika Astari menyukai laki-laki itu? Toh, belum tentu mereka bisa bersama meski Ve menyerahkan Andika pada Astari.
"Aku tidak bermaksud begitu," kilah Ve namun Andika terlanjur kecewa dan berlalu pergi keluar dari tangga darurat. "Dik! Dika!"
Andika tidak mau menoleh meski Ve memanggilnya berkali-kali. Ia masuk ke kantornya lalu membanting ponselnya hingga terbelah dan layarnya pecah. Ia yang memiliki sifat moody-an, tentu saja terganggu suasana hatinya karena pertengkarannya bersama sang kekasih.
Ve menghela napas berat. Saat ia melangkahkan kaki, Jay memanggilnya di lantai bawah. Ia berhenti dan menunggu Jay menghampirinya.
"Ada apa, Pak Jay?"
"Bisa kita bicara?" tanya Jay dengan tatapan memohon. "Ada sesuatu hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda, Nona Ve," sambungnya.
"Bisa," jawab Ve dengan ragu. Ia mengikuti Jay yang melangkah menuju lantai dasar. 'Pak Jay mau membawaku kemana?' Batin Ve bertanya-tanya. Jay tidak mungkin berbuat jahat padanya, tapi Ve tetap khawatir.
Kejahatan kadang tidak disadari oleh korban. Ve hanya perlu berhati-hati untuk menjaga diri. Siapa yang akan tahu jika laki-laki itu tiba-tiba menyerangnya?
Jay membukakan pintu mobil. Apa yang ingin diucapkannya adalah hal yang sangat rahasia. Jika sampai ada yang mengetahui, Andika bisa berada dalam bahaya.
"Apa yang ingin Anda bicarakan? Kenapa harus di dalam mobil?" tanya Ve curiga.
"Karena apa yang ingin saya katakan adalah hal yang tidak seharusnya saya katakan. Tapi, saya merasa perlu membicarakannya denganmu."
Ucapan Jay terdengar sangat serius. Ve membuka telinga lebar-lebar, ingin mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Jay. Laki-laki itu mengeluarkan sebuah foto, lalu memberikannya kepada Ve.
"Apa … ini?"
"Lihat saja dulu," jawab Jay.
Ve semakin penasaran dengan foto itu. Awalnya ia tidak melihat jelas, karena foto itu sudah sangat lama. Warnanya sudah pudar dan di beberapa bagian ada yang basah.
"Di sebelah kanan, itu adalah Andika. Di tengah adalah Tuan Markus Nielsen. Apa kau tahu siapa yang ada di sebelah kiri?" tanya Jay sambil melihat ke arah Ve. Tatapan Jay biasanya terlihat dingin, tapi saat ini di mata laki-laki itu hanya ada kesedihan.
Ve belum pernah melihat laki-laki berwajah sendu seperti sekarang. 'Apa yang membuat pak Jay terlihat sedih? Jangan-jangan foto anak laki-laki di sebelah kiri ini ….' Gadis larut dalam lamunan, hingga sebuah sentuhan halus di punggung tangannya membuat gadis itu tersadar.
"Heh? Oh, maafkan saya. Saya sedang mencoba menebak. Apa mungkin anak ini~"
"Benar," potong Jay. Ia mengambil foto dari tangan Ve dan menyimpannya di dashboard. "Aku dan Andika diangkat sebagai anak oleh Tuan Nielsen. Dia hanya memiliki dua orang putri dan dua orang cucu perempuan.
"Ia ingin memiliki anak laki-laki untuk mewarisi kekayaannya. Kedua menantu laki-lakinya sangat gila dan rakus akan harta kekayaan.
"Mereka pernah membunuh putra bungsu Tuan Nielsen. Bahkan pernah berkali-kali mencoba membunuh putri Tuan Nielsen."
Jay menghentikan ceritanya. Ia mengingat kembali saat-saat sebelum ayah angkatnya meninggal. Saat itu, Tuan Nielsen hanya ingin ditemani Andika, Jay, dan seorang pengacara.
*Laki-laki berusia enam puluh lima tahun itu tengah berjuang untuk menandatangani sebuah surat wasiat sebelum ia mengembuskan napas terakhir.
"Tuan, saya mohon agar Anda mempertimbangkan kembali keputusan Anda. Kami hanya anak luar yang tidak memiliki hubungan darah sama sekali. Saya tidak mau mewarisi semua harta Anda," ucap Jay membujuk Tuan Nielsen agar membatalkan keputusannya. Namun, laki-laki tua itu sudah terlalu lelah untuk bicara.
Nielsen menggeleng lemah sambil menggenggam tangan putra angkatnya. Di sisi kanan dan kiri, Andika dan Jay menangisi kepergian sang penyelamat hidup mereka.
Terjadi kekacauan saat upacara pemakaman laki-laki tua itu. Mereka mengusir Andika dan Jay dari rumah keluarga Nielsen di Swiss. Mereka kembali ke Indo dan memutuskan membuka bisnis mal.*
Teguran Ve membuyarkan lamunan Jay. Ve sangat penasaran dengan kelanjutan cerita masa lalu Andika dan Jay. Gadis itu harus menelan kekecewaan karena Jay tidak melanjutkan ceritanya.
"Apa yang terjadi selanjutnya?" Ve bertanya dengan nada penuh harap.
"Aku tidak berhak membeberkan masalah ini kepadamu. Inti dari pertemuanku denganmu saat ini yang harus aku utarakan," jawab Jay sambil menyentil kening Ve.
"Ouch!" Ve menjerit kecil. "Jahat sekali. Kalau otakku bermasalah bagaimana coba?" tanya Ve menggerutu dengan bibir mengerucut.
Deg!
Seketika Jay sadar dengan apa yang dilakukannya barusan. Ia berbicara santai kepada Ve. Bahkan, Jay berani menyentil kening Ve seperti tadi. Wajahnya bersemu merah melihat gadis itu mengusap kening dan menggerutu. Ve terlihat sangat menggemaskan saat merajuk.
"Apa inti pembicaraanmu?" tanya Ve dengan nada santai.
"Ekhem …. Saya tidak mau kalau Anda menyakiti Andika. Jangan pernah mengatakan ingin pergi atau menghilang darinya. Traumanya sangat parah. Jika dia merasa tertekan saat ditinggalkan, dia bisa mati," pungkas Jay. Ia lalu membukakan pintu mobil. "Keluarlah! Saya sudah selesai bicara."
Ve turun dari mobil Jay dengan pikiran menerawang. Ia ingin menjauh perlahan-lahan dari Andika namun ucapan Jay tadi membuat Ve tidak tega melakukannya. Gadis itu berjalan menaiki anak tangga dengan wajah frustrasi.
"Apa yang harus kulakukan?"
*BERSAMBUNG*