Astari terkejut saat melihat Andika ada di depan pintu kamar yang terbuka lebar. 'Dia tidak mendengarnya, kan?'. Ia memaksakan diri untuk tersenyum.
Andika melangkah masuk ke kamar bersama Ve yang mengikuti di belakangnya. Seharusnya mereka pergi ke tempat rapat tahunan, tapi karena melihat banyaknya panggilan tidak terjawab dari Astari, mereka memutuskan untuk pulang ke rumah terlebih dulu. Mereka mengkhawatirkan wanita itu.
"Dik … Dika! Kapan kalian datang?" tanya Astari gugup.
"Baru saja. Apa terjadi sesuatu? Dika tidak sempat menerima panggilan, karena sedang di jalan. Kakak butuh sesuatu?" tanya Andika sambil melihat wanita itu dari atas sampai bawah.
"Kakak baik-baik saja. Kakak hanya ingin menanyakan, apa kalian sudah makan siang," jawabnya sambil menghela napas lega.
Astari merasa tenang setelah mendengar ucapan Andika. Itu artinya, mereka tidak mendengar apa yang diucapkannya. Ia tidak tahu harus menjawab seperti apa jika mereka mendengar kata-kata umpatan dari mulutnya.
Ia yang dikenal memiliki pribadi yang baik di mata Dika, mungkin seketika itu akan menjadi peri jahat di matanya. Membayangkannya saja ia tidak sanggup. Ia tidak mau dibenci oleh laki-laki itu.
"Hah … Dika sangat khawatir. Dika pikir, Kakak kenapa-kenapa. Kalau begitu, Dika dan Ve harus pamit. Ada rapat penting yang harus dihadiri siang ini," ujar Andika sambil menghela napas berat. Ia selalu bersikap sopan, tapi tidak suka jika diganggu tanpa sebab seperti saat ini. Astari telah membuatnya menunda rapat penting hanya demi urusan Astari yang tidak penting.
"Oh, maafkan kakak. Kalian hati-hati di jalan," ucap Astari sambil melirik tajam kepada adiknya.
Ve menundukkan wajahnya saat Astari memelototinya. 'Maafkan Ve, kak Tari. Ve tidak mau membuat Dika tersiksa karena traumanya.' Andai ia bisa berkata jujur kepada Astari tentang isi hatinya saat ini.
Andika mengemudikan mobilnya dengan laju kecepatan di atas standar keamanan. Ia harus mengejar jadwal rapat yang sudah tertunda lima menit karena Astari. Jika ditanya kesal? Jelas ia sangat kesal.
Astari seolah tidak tahu jadwal pekerjaan Andika sebagai seorang presiden direktur sangatlah padat. Ia mengganggu jadwal Andika hanya untuk bertanya tentang makan siang. Awalnya ia berharap bisa makan siang bersama Andika, tapi karena laki-laki itu sedang sibuk, Astari tidak jadi memintanya menemani makan siang.
"Pelan-pelan, Presdir! Anda mengemudi terlalu cepat," kata Ve dengan kedua mata tertutup rapat. Ia ketakutan melihat mobil-mobil yang disalip oleh Andika, padahal ia sangat suka balapan motor.
"Maaf. Tahan sebentar, Ve. Kita harus sampai di tempat rapat tepat waktu atau mereka bisa komplain."
Andika menambah kecepatan. Tidak ingin terlalu lama berada di jalan, karena kekasihnya sudah sangat ketakutan. Ia sangat mahir mengendarai mobil, jadi tidak takut mengalami kecelakaan.
Ceekiitt!
Akhirnya mereka tiba di parkiran sebuah hotel mewah di dekat arena lapangan golf. Ve terengah-engah di dalam mobil setelah Dika memarkirkan mobilnya. Ia mengambil air mineral, membukanya untuk Ve.
"Minumlah. Kamu bisa tinggal di sini sementara waktu. Setelah merasa lebih baik, baru menyusul ke kamar 204. Sebenarnya aku tidak suka tempat rapat di dalam hotel, tapi para pemilik saham itu sepakat mengadakan rapat di sini."
Andika mengambil berkas di tas Ve dan meninggalkan gadis itu di dalam mobil.
"Hah!" Ve mengembuskan napas kasar. "Aku terbiasa balapan motor, kenapa harus takut saat Andika mengebut? Ini pasti karena aku sudah terlalu lama menjadi sekretaris. Aku bahkan tidak pernah balapan sejak menggantikan kak Tari bekerja," gumam Ve sambil menenggak habis air mineral yang diberikan Andika.
Gadis itu merasa Astari keterlaluan. Jika bukan karena panggilan telepon darinya, Dika tidak harus mengebut untuk tiba di tempat rapat. Wanita yang bersikap egois seperti itu, apakah bisa mengerti kesibukan Andika kedepannya?
"Aku tidak mau menyakiti kak Tari, tapi aku juga tidak mau menyiksa Andika. Maafkan Ve, kak Tari. Ve sudah memutuskan untuk tetap menggenggam tangan Dika," gumamnya mantap. Ia akan mengubah sikap dinginnya terhadap Andika dan kembali menjalani hari-hari sebagai sepasang kekasih.
"Rapat tahunan hari ini kita tutup sampai di sini. Saya sudah menyiapkan hiburan untuk Anda sekalian di atap gedung. Acaranya dimulai jam tujuh malam. Selamat menikmati." Andika menutup rapat.
"Pak Andika akan pulang? Tidak ingin tinggal sampai nanti malam?" tanya salah seorang peserta rapat.
"Benar. Jika Anda pulang, itu terkesan sepertinya Anda enggan bergabung bersama kami," timpal yang lain.
"Tentu saja tidak begitu. Hanya saja, ini masih enam jam sebelum acaranya berlangsung. Saya akan pulang dan datang lagi nanti malam," ucap Andika menjelaskan.
Para pemegang saham itu sudah membuka kamar masing-masing. Mereka memiliki tempat untuk beristirahat sementara menunggu acara hiburan nanti malam. Berbeda dengan Andika yang hanya datang tanpa membuka kamar.
"Untuk apa pulang? Tunggu di sini saja. Kamar ini disewa untuk satu malam dan kita sudah menyelesaikan rapatnya. Anda dan sekretaris Anda bisa tinggal di kamar ini dan kami akan pergi ke kamar kami," ucap seorang pemegang saham kepada Andika. Usianya sebaya dengan Dika, hingga ia bisa melihat ada hubungan yang spesial di antara Ve dan laki-laki itu.
"Tapi, saya …." Ve membuka mulut untuk menolak.
"Baiklah. Saya akan menunggu di sini. Terima kasih untuk pengertian Anda semua," ucap Andika memotong ucapan Ve.
Gadis itu membelalak menatap kekasihnya. Dua orang dewasa berlainan jenis dan tinggal sekamar di hotel. Semua yang melihat pasti akan berpikir hal yang macam-macam. Ve tidak ingin hal itu terjadi, tapi Andika menahan tangan gadis itu saat ia melangkah pergi.
"Lepasin aku, Dika! Tidak baik jika kita berada di ruangan tertutup dan hanya berdua seperti ini," ujar Ve berusaha melepaskan cengkraman tangan Andika.
Klik!
Andika mengunci pintu dan menyimpan kartu kamar itu di saku dalam jasnya. Gadis itu tidak akan berani mengambilnya. Ia ingin membicarakan tentang sikap Ve yang berubah selama dua hari terakhir.
"Aku tidak peduli dengan anggapan orang lain. Aku hanya peduli tentangmu. Apakah aku salah, jika aku peduli padamu, Ve? Kamu seperti sedang menyimpan masalah dariku. Kenapa kamu harus menghindariku karena masalah yang sama sekali tidak aku ketahui? Aku tersiksa, Ve," ungkap Dika dengan tatapan sedih yang membuat Ve semakin merasa bersalah.
Ve mengangkat tangannya perlahan-lahan. Menyentuh pipi kekasihnya dengan senyuman tipis. "Maaf. Aku tidak akan mengabaikanmu lagi. Jangan menunjukkan wajah sedih ini lagi, Dika. Aku ingin agar kamu terus tersenyum. Jangan bersedih, karena itu melukai hatiku."
Grep!
Andika menarik tubuh gadis itu ke dalam dekapannya. Ia sangat senang melihat Ve tidak lagi mengabaikannya seperti tadi pagi. Entah sejak kapan semuanya berawal? Kini, Andika seperti memiliki ketergantungan terhadap gadis itu. Rasanya, ia bisa mati tanpanya.
*BERSAMBUNG*