Andika dan Ve duduk bersandar di kepala ranjang. Tangan mereka saling menggenggam, diiringi senyum merekah. Sesekali saling melirik dan tertawa saat pandangan mereka bertemu.
"Sampai kapan kita duduk seperti ini?" tanya Ve membuka percakapan. Terlalu hening di ruang tertutup bersama kekasihnya, membuat Ve sedikit canggung.
"Kenapa? Apa kau mau melakukan hal lain?" Andika bertanya sambil menatap lurus ke dalam mata gadis itu.
"Tidak! Jangan berani berpikiran macam-macam atau aku akan marah padamu seumur hidup!"
Ve menarik tangannya dan beranjak turun. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Melindungi sesuatu yang mungkin membangkitkan hasrat seorang pria.
"Apa yang ada di pikiranmu? Maksudku bukan ke arah sana," ucap Andika sambil menunjuk dada Ve.
"Oh. Aku pikir … lalu, kita mau melakukan hal lain yang seperti apa?" Ve kembali duduk di samping laki-laki itu.
"Em … masih lama sampai acara barbeque dimulai. Bagaimana kalau kita jalan-jalan di taman sana. Aku lihat, tamannya cukup indah."
"Jalan-jalan sore di taman … sepertinya bagus. Ayo kita ke sana," ajak Ve.
Andika turun dari ranjang, mengulurkan tangan kepada Ve. Lalu, mereka berjalan sambil bergandengan tangan sampai tiba di taman. Lima menit dari hotel dan mereka pun tiba.
"Duduk di sana saja," kata Ve saat melihat sebuah kursi yang kosong.
"Hem," jawab Andika pelan.
Matahari sudah berwarna jingga, menandakan siang telah berganti petang. Tidak lama lagi, awan hitam akan menutup cakrawala senja, mengubahnya menjadi malam yang gelap. Menikmati pemandangan sore hari bersama orang yang dicintai, rasanya semua kebahagiaan di dunia telah menjadi milik mereka.
"Dika," ucap Ve.
"Apa?"
"Aku ingin membicarakan hal serius denganmu. Aku harap, kau mendengarnya, dan mengabulkan permohonanku," kata Ve dengan hati-hati.
"Kenapa? Kau minta dilamar? Aku pasti mengabulkannya," kelakar Andika. Namun, tawanya segera berhenti saat gadis itu menatapnya dengan tajam. "Oke, oke, maaf. Hal serius apa yang ingin kau bicarakan?"
"Aku ingin kita pacaran diam-diam," jawab Ve sambil menatap wajah kekasihnya.
"Kenapa harus diam-diam? Kau malu mempunyai pacar sepertiku?" tanya Andika dengan tatapan kecewa yang dalam. Baru saja ia merasa bahagia, tapi kini harus kecewa karena Ve ingin menyembunyikan hubungan asmara mereka.
"Laki-laki tampan, kaya, memiliki segalanya. Gadis mana yang akan merasa malu jika bisa bersanding dengan laki-laki sepertimu?"
"Lalu, kenapa?"
"Aku tidak bisa menjelaskan masalahnya padamu. Aku ingin kita berpura-pura acuh tak acuh di rumah. Jangan menunjukkan hubungan kita di rumah, di depan yang lain. Di luar rumah dan tempat lain, kita tidak perlu menyembunyikannya. Kamu bisa mengabulkan permintaanku, kan?" tanya Ve penuh harap.
Jika mereka tidak menunjukkan hubungan mereka di depan Tari, setidaknya Ve tidak terlalu melukai hati kakaknya itu. Ia takut kehilangan Andika namun di sisi lain, ia juga takut menyakiti hati Tari. Ve merasa menjadi anak yang tidak tahu balas budi karena menyakiti orang yang telah merawatnya sejak kecil.
'Apa yang sebenarnya ada di pikiran Ve? Kenapa hanya di rumah saja, ia tidak mau menunjukkan hubungan? Apakah ibu tidak setuju dengan hubunganku dan Ve? Aku sungguh tidak mengerti jalan pikiran gadis ini.'
"Hah, baiklah," ucap Andika sembari mendesah berat. "Aku tidak tahu apa alasannya, tapi aku akan mengabulkan semua permintaanmu."
"Semua?" tanya Ve dengan mata membulat.
"Semuanya! Asalkan kamu tetap bahagia dan tetap berada di sampingku," jawab Andika sambil meraih tangan gadis itu.
Cup!
Kecupan lembut mendarat di punggung tangan Ve. Gadis itu tersenyum lebar. Merasa sedikit lega, karena Andika setuju untuk menyembunyikan hubungan mereka di rumah.
Ve bersandar di bahu tegap kekasihnya. Ia ingin bersikap egois, sekali saja selama hidupnya. Jika Astari tidak mendapat respon dari Andika, Ve yakin kalau kakaknya akan menyerah, dan merestui ia dan Dika untuk bersama.
"Apa kau lapar?"
"Sedikit," jawab Ve singkat.
"Acaranya akan dimulai tiga puluh menit lagi. Sebaiknya kita kembali ke hotel dan bersiap-siap," ujar Andika.
"Hah? Sudah malam, ya?" tanya Ve yang hanyut dalam suasana tenang di sisi kekasihnya. Hingga, ia tidak menyadari. Langit jingga telah berubah hitam pekat.
"Apa bersandar di bahuku sangat nyaman?" goda Andika. Kekasihnya tidak bisa berkata jujur untuk mengungkapkan isi hatinya. Namun, ia dibuat tercengang kali ini.
"Ya. Bahumu sangat tegap, lebar, dan terasa sangat nyaman bersandar di sana. Bisakah, aku bersandar di bahumu selamanya?" tanya Ve. Garis bibirnya terangkat dengan mata berbinar penuh kebahagiaan. Cinta pertamanya adalah pria yang terlalu hebat, hingga ia merasa semuanya seperti mimpi.
"Bahuku selalu terbuka lebar untukmu selamanya. Kalau butuh semua bagian tubuhku pun, aku bersedia memberikannya untukmu," ucap Andika kembali menggoda.
Wajah Ve seketika berubah merah seperti tomat cherry yang sudah matang. Perlahan-lahan, sikap tomboy gadis itu menghilang. Ia sudah terbiasa memakai rok pendek dan berdandan.
Namun, ia masih merindukan kehidupannya di masa lalu. Memakai t-shirt longgar dipadu celana jeans yang sobek di bagian lutut. Ia juga merindukan balapan motor di sirkuit.
Tiba di hotel, Ve menerima telepon dari sahabatnya, Bella. Sekretaris wakil presiden itu berteman dengan Ve cukup lama. Ia juga partner latihan saat balapan.
"Aku akan mengecek tempat acaranya dulu sebelum dimulai. Kamu menyusul nanti, oke!"
"Oke," jawab Ve sambil membuat tanda huruf 'O' menggunakan telunjuk dan ibu jarinya. Setelah laki-laki itu keluar, Ve segera menerima panggilan dari Bella.
"Halo! Ada apa, Bel?"
(Kita lagi kumpul-kumpul, nih. Latihan, yuk!)
"Em … aku lagi nemenin bos. Malaman dikit, baru bisa."
(Oke. Kita juga kumpul-kumpul sampai pagi, kok. Biasalah, ada yang ultah. Coba tebak! Siapa yang ultah?)
"Hem … coba kupikir."
Tok! Tok!
"Eh, sebentar, ya, Bel! Aku buka pintu dulu," kata Ve sambil menaruh ponselnya di atas tempat tidur dengan keadaan masih tersambung.
Klek!
"Selamat malam, Nona Ve. Ada paket untuk Anda dari pak Andika. Beliau berpesan, setelah mengganti baju, segera naik ke atap."
"Oh. Terima kasih," ucap Ve setelah menerima kotak besar dari tangan room boy.
(Ve! Dapat hadiah dari bos, ya?)
"Bukan. E … Bel, aku harus mengganti baju dan menghadiri makan malam dengan para pemegang saham. Jam sebelas nanti, aku akan menemui kalian. Bye!"
Ve menutup panggilan dari sahabatnya. Matanya melebar saat melihat isi kotak. Sebuah gaun pendek berwarna aquamarine dengan leher kura-kura dan sulaman mawar putih di bagian pinggang. Sepatu berwarna senada dengan gaun, menjadi pelengkap penampilan.
"Cantiknya!" pekik Ve terpukau. Ia segera menanggalkan pakaian kantornya, lalu mencoba gaun itu. Belum sempat resleting gaun itu ditarik, terdengar suara Andika di belakangnya.
"AAHH!"
*BERSAMBUNG*