Ve melamun di ruang sekretaris. Ia mengingat-ingat peringatan dari Jay. Ia baru tahu kalau mereka adalah saudara angkat. Meskipun, Dika pernah menceritakan hal itu padanya, tapi ia lupa dengan nama saudara angkat Andika.
"Hei!" Bella menepuk bahu Ve sambil menyapa.
"Astaga! Bella … kamu bekerja di sini juga?" tanya Ve dengan wajah berbinar. Ia sangat bahagia karena bisa bertemu sahabatnya di kantor itu.
"Kita bisa bekerja satu kantor, aku sangat senang sekali, Ve," ucap Bella sambil memeluk gadis itu.
"Aku juga sangat senang."
"Ngomong-ngomong, kenapa kamu melamun pagi-pagi gini? Mikirin pacar, ya?" tanya Bella menggoda gadis itu.
"Apaan sih? Jangan gosip pagi-pagi! Oh, iya, selamat ya. Karena kamu berhasil mewujudkan keinginan untuk jadi wanita kantoran," kata Ve dengan sudut bibir terangkat. Ve ingat saat Bella datang ke warung makan miliknya. Gadis itu selalu menceritakan mimpinya untuk bekerja di kantor.
Bella tidak ingin dipandang rendah tetangganya, hingga ia bersumpah untuk membuktikan kesuksesannya kepada mereka. Ve menasehati gadis itu untuk tidak menaruh dendam atas ucapan orang lain. Namun, pikiran Ve dan Bella berbeda.
Ve selalu menganggap ucapan orang lain seperti angin yang berlalu. Berbeda dengan Bella yang selalu mengingat hinaan atau perkataan yang terdengar merendahkan. Bella bahkan ingin membalas mereka jika saja Ve tidak mencegahnya.
"Kamu sekretaris siapa, Ve?"
"Pak Andika," jawab Ve singkat. Ia sedang serius menatap layar laptop. Siang ini, ia harus menemani Andika untuk bertemu dengan para pemegang saham di mal Ozla. Ve sedang mempersiapkan laporan keuangan tahun ini.
"Wah! Hebat banget, Ve. Kamu jadi sekretaris pemilik mal. Apa dia orang yang seperti diberitakan?" tanya Bella sambil membuka laptop. Ia diminta mempelajari struktur kepengurusan mal di hari pertamanya bekerja.
"Berita apa?" Ve mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Ia sudah bekerja selama dua bulan di mal itu dan belum tahu apa yang selalu menjadi topik perbincangan para gadis di luar sana.
"Kamu belum pernah dengar? Katanya …." Bella mengedarkan pandangannya, lalu mendekat kepada Ve. Ia melanjutkan ucapannya dengan berbisik, "Pak Andika itu penyuka sesama jenis dan sedang berpacaran dengan asisten pribadinya. Kalau tidak salah namanya … Jay. Iya, namanya Jay," bisiknya.
"Haha …." Sontak Ve tertawa lebar, membuat seisi ruang sekretaris menatap ke arahnya.
Bella menutup mulut Ve dengan kedua tangannya. Ia tersenyum canggung kepada para staf lainnya. "Maaf," ucap Bella.
"Kamu mendengar berita seperti itu dari mana?" tanya Ve yang masih tidak bisa berhenti tersenyum.
"Sebelum aku memasukkan lamaran ke kantor ini, aku sudah mencari berita yang berkaitan dengan mal dan pemiliknya. Masa kamu tidak tahu?"
"Aku lebih memercayai apa yang kulihat di dunia nyata daripada apa yang ada di berita." Ve kembali fokus menatap layar laptop. Ia mengabaikan cerita yang diucapkan oleh Bella, meski gadis itu merajuk kesal karena Ve tidak mendengarnya.
***
"Apa yang kau bicarakan dengan Ve?" tanya Andika menginterogasi. Ia melihat gadis itu masuk ke mobil bersama Jay. Saat ia berdiri di dekat jendela kaca di kantornya, tanpa sengaja melihat mereka berjalan ke arah parkiran.
"Kau melihatnya? Aku sedang berusaha mendekatinya," jawab Jay bercanda. Namun, Andika langsung mencengkram kerah kemeja putih Jay.
"Jangan macam-macam! Kamu tahu siapa dia? Dia adalah kekasihku. Jangan berani menggodanya atau kau akan menerima akibatnya!" ucap Andika dengan kedua mata memerah dipenuhi amarah.
"Apa kau akan membunuhku demi seorang wanita?" tanya Jay. Ia menatap ke dalam bola mata hazel milik saudara angkatnya.
"Berhenti memprovokasi. Lanjutkan pekerjaanmu!" perintah Andika sambil melepaskan cengkraman tangannya.
"Tch! Lagipula, aku hanya bercanda. Takut sekali kalau Ve tersayang itu diambil orang," goda Jay. Ia merapikan kerah baju dan dasinya yang berantakan akibat kemarahan Andika.
"Apa yang kalian bicarakan?"
"Tidak ada yang spesial. Aku hanya bertanya kenapa kalian bertengkar," jawab Jay sambil membuka buku agenda harian. "Siang ini ada rapat tahunan dengan para pemegang saham. Aku sudah meminta Ve untuk menyiapkan berkas yang akan dibawa untuk rapat." Jay membacakan agenda pekerjaan untuk Andika siang ini.
Andika tampak bersemangat karena akan pergi bersama Ve. Ia memiliki kesempatan untuk menginterogasi Ve kembali. Andika yakin kalau kekasihnya sedang memiliki masalah yang disembunyikan darinya.
Semua berkas sudah siap. Ve melakukan peregangan dengan memutar pinggangnya ke kanan dan kiri. "Akhirnya selesai tepat waktu," gumamnya.
Ia merapikan berkas-berkas itu ke dalam tas. Sebelum memanggil atasannya, ia berdiri sambil menarik napas dalam-dalam. Setelah sedikit tenang, ia mengetuk pintu.
Belum sampai tangan Ve ke pintu, Andika sudah lebih dulu membuka pintu.
"Em … itu …." Ve merasa gugup karena pertengkaran mereka tadi pagi.
"Berkas-berkasnya sudah dibawa?" tanya Andika profesional. Ia bersikap tenang, meski di dalam hatinya sangat kesal atas sikap Ve pagi tadi.
"Sudah, Pak."
"Kita pergi sekarang!" Andika berjalan lebih dulu di depan Ve, diikuti gadis itu yang menghela napas lega.
Ve sangat bingung menyiapkan alasan jika saja Andika kembali menanyakan hal yang mereka perdebatkan. Beruntung, Andika masih bisa membedakan urusan pribadi dan urusan pekerjaan. Sehingga Ve bisa sedikit tenang, setidaknya untuk sementara waktu.
***
Astari mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Andika. Ia bertanya kapan laki-laki itu akan pulang untuk makan siang. Namun, tidak ada balasan dari laki-laki itu.
"Kenapa dia tidak membalas pesanku?" gumam Astari sambil menopang dagu menggunakan ujung ponsel. Ia terus mengirim pesan yang sama sampai sepuluh kali, tapi hasilnya tetap sama.
Andika sedang rapat, dan tidak pernah mengaktifkan ponsel saat bekerja. Apa yang Astari lakukan, meskipun diulang seratus kali, hasilnya tetap tidak akan ada balasan. Karena kesal, ia menelepon nomor Jay.
(Halo selamat siang. Dengan siapa ini?)
Jay bertanya dengan sopan dari seberang telepon.
"Halo. Kemana Andika? Kenapa dia tidak membalas pesanku?" tanya Astari dengan nada yang terdengar sangat menjengkelkan bagi laki-laki di ujung telepon yang lain.
(Maaf, Anda siapa?)
"Sialan! Kamu tidak menyimpan nomorku? Andika sudah memintamu untuk menyimpan nomorku agar kau bisa membantuku saat aku butuh. Asisten kurang ajar!" maki Astari dengan nada ditinggikan saat mengatai Jay sebagai asisten yang kurang ajar.
(Oh, ternyata Nona Tari. Tuan Presiden Direktur sedang ada rapat di luar mal. Anda tidak bisa menghubunginya untuk sementara waktu. Terima kasih dan selamat siang, Nona T. A. R. I)
"Apa?! Hei! Argh! Benar-benar asisten kurang ajar. Dia berani menghinaku," umpat Astari sambil melempar ponselnya ke atas tempat tidur.
Entah sejak kapan Andika tiba di rumah? Ia berdiri di tengah pintu kamar Astari yang terbuka. Saat Astari menoleh ke arah pintu, kedua matanya membelalak sempurna.
'Dika! Dia tidak mendengar ucapanku tadi, kan?'
*BERSAMBUNG*