"Mendoakanmu dalam setiap detik dalam sajadah cintaku di sepertiga malam," Khadijah.
Dear Adam.
Ku temukan dirimu dalam lantunan ayat-ayat suci yang pernah kau baca..
Sungguh kau sentuh hatiku tuk pertama kali...
Jatuh cinta bagiku tak mudah, namun kau buatku jatuh tuk sekian kali....
Dear Adam...
Namamu selalu ku selipkan dalam tiap doaku dalam sepertiga malamku...
Ku selalu merindumu tiap detik
Dear Adam yang ku rindukan ....
Kau tahu aku sungguh berharap Allah menakdirkanku sebagai bagian tulang rusukmu...
Karena aku hanya ingin berharap menjadi Hawa untuk, namun aku tak ingin sebuah cinta merusak keimananmu...
Dear Adam
Kau tahu, selalu ku bisikan doa-doa yang ku sembunyikan lewat hembusan angin, agar kau adalah bagian dari penyempurna imanku....
Dear Adam....
Apa kau sudi menerima perasaanku ini?
Perasaan yang tumbuh bak mikroba berkembang biak dalam cara membelah hingga tak terhitung banyaknya perasaan cintaku mengudara....
Dear Adam...
Apakah kau sudi menerimaku menjadi bagian calon makmum dalam keluargamu nanti?
Dear Adam...
Aku ingin hanya diciptakan oleh Allah sebagai Hawa yang selalu melengkapi Adam.
Dan, selalu dalam cinta suci Allah semata, bukan karena cinta yang berpatokan nafsu semata...
Dear Adam,
Semoga kau akan mengudara menjadi pilot dalam hidupku
Atau sebagai nakhoda yang mampu mengarungi ibadah bersama hingga menjadi teman di surga Allah nanti..
Selamanya .....
Dear Adam...
Semoga kau adalah jodoh yang sudah tertulis dalam kitab lauh mahfuz Allah SWT....
Teruntuk Adam, lelaki yang selalu ku impikan menjadi calon imamku.
-Khadijah-
Khadijah mengamati senja di Seoul, sungguh jingga di matanya. Sejingga perasaannya yang mengudara bersama harapannya.
Lamunan Khadijah dalam senja sore hari, ia membayangkan senyuman kekasih idamannya. Dia adalah Rumi, lelaki yang selalu dalam doanya.
Kebetulan seharian ini kerjaan Khadijah hanya males gerak saja. Dia adalah perempuan yang selalu meluangkan waktunya dalam membuat sebuah sulaman atau lebih dikenal streamin. Ia membuat wajah lelaki itu yang hampir selesai.
Hasil karyanya akan diberikan ke Rumi sebelum ia meninggalkan Seoul, dan menetap di Istanbul, Turki demi kariernya. Tanpa disangka ia akan kerja di sebuah perusahaan periklanan sebagai copy writer.
Selangkah lagi, Khadijah akan selesai dengan gelar sarjananya. Ia sudah mendapatkan rekomendasi kerja di Aurora Advertesing Group.
Perpisahan adalah bukanlah akhir dalam kisah cintanya. Ia hanya ingin mengujinya. Jika, dia adalah bagian dari tulang rusuk Rumi, maka akan kembali.
Khadijah terjebak akan keduanya, namun ia ingin keluarganya bangga dengan hasil yang ia capai.
Suara adzan di langit Seoul seakan mengingatkan akan suara Rumi. Ia segera mengambil wudhu untuk melakukan sholat magrib.
Suara ketukan dari luar kamar Khadijah, lalu ia melangkah membuka pintu kamarnya. Ia melihat Haqi berdiri di depan kamarnya.
"Ayah?"
"Kita sholat berjamaah saja, kamu ayah tunggu bersama dengan yang lain di mushola," ajak Haqi ke Khadijah, lalu Khadijah hanya membalas dengan anggukan dan menyetujuinya.
*
Di sebuah rumah kontrakan terpaksa Rumi hanyalah tinggal sendirian karena Adnan sedang di penjara.
Rumi sedang melamun dan mengingat beberapa kejadian ketika dia bersama dengan ayahnya sebelum pihak kepolisian membawa ayahnya untuk menjalani sebuah hukuman.
Seminggu yang lalu,
"Ayah, ayo kita sholat jamaah," ajak Rumi ke Adnan.
"Rumi,tapi-"
"Ayah, sebagai seorang muslim kita harus menjalankan kewajiban sholat lima waktu. Selagi kita punya waktu dalam beribadah," potong Rumi.
"Baiklah. Ayah merasa malu kepadamu, nak. Bahkan, seumur hidup ayah nggak pernah jalanin sholat, karena ayah merasa tidak membutuhkan. Tapi, ayah sadar mungkin ini karma dan hikmah yang bisa ayahmu ini dapat. Dan, ayah bangga punya anak yang memiliki latar belakang iman yang baik. Maafkan ayahmu yang pernah menelantarkanmu di Panti Asuhan," kata Adnan.
"Rumi sudah memaafkan ayah, karena mungkin itu sudah garis Allah dalam kehidupan Rumi," balas Rumi.
Adnan tersenyum,"Masyaallah, ayah bangga sama sikap kamu, nak. Dan, maafkan sekali lagi kalau ayahmu pernah menelantarkanmu."
Mereka saling merangkul, seolah tercipta keharmonisan antara bapak dan anaknya.
Kemudian Rumi mulai membuka kedua kelopak matanya kembali. Dia berharap jika suatu saat nanti ayahnya keluar dari penjara. Dia berharap jika ayahnya akan menjadi lebih baik dari kemarin.
*
Di Mushola rumah kediaman keluarga Khadijah mereka melaksanakan sholat magrib secara berjamaah. Ayass kali ini menjadi imam dalam sholat magrib.
Keluarga besar Khadijah terlihat sangat khusyuk sekali ketika menjalani salat magrib secara berjamaah.
Setelah melaksanakan salat magrib sebanyak 3 rakaat, tadi langsung melantunkan ayat suci dari kitab Alquran dengan sangat indah sekali.
" Aku tidak menyangka jika putriku memiliki suara yang begitu sangat indah sekali," Ayass mulai menggumam dalam hati kecilnya. Dia merasa sangat bersyukur sekali karena Allah telah menitipkan seorang putri yang sangat cantik dan memiliki suara yang sangat indah.
Dua puluh menit kemudian mereka segera menuju ke ruang makan. Mereka akan segera melakukan makan malam bersama-sama.
*
Seminggu kemudian Sera memilih untuk pamit dari rumah kediaman Khadijah. Karena dia tidak ingin menjadi beban untuk keluarga Khadijah.
Kemudian secara segera untuk mencari tempat tinggal dan pekerjaan baru. Dia akhirnya mendapatkan pekerjaan di sebuah Kedai sebagai barista.Dia juga sudah mengontrak rumah di sebuah sudut kota Seoul. Walaupun rumah kontrakannya merupakan pemukiman kumuh.
Kondisi keuangan Sera mulai menepis, setelah ia kabur dari mansion dengan membawa uang seadanya. Ia meninggalkan mobil, dan kartu kreditnya, karena pantang buat dia memakainya.
Suara ketukan dari luar pintu kontrakan milik Sera. Ia melihat dari balik jendela, seorang lelaki berdiri tepat di depan pintu kontrakan.
"Siapa ya dia?" gumam Sera, lalu ia sedikit menaruh curiga. Ia takut kalau itu orang suruhan keluarganya. Perasaan deg-deg dan was-was terlebih-lebih.
Sera menelan ludahnya sebelum akhirnya ia meraih daur pintu. Hatinya terasa masih berdegub kencang. Pintu berhasil ia buka, lalu ia menundukkan kepalanya. Lelaki itu masih berdiri di hadapannya. Sera tak mampu melihatnya, karena rasa takut.
"Sera, kamu kenapa?"
Sera hafal dengan suara lelaki itu, dia adalah Fabian. Ia heran dengan kehadiran Fabian, karena ia baru pindah ke kontrakan itu tiada satu orang yang tahu.
Sera menatap Fabian,"Kamu tahu dari mana aku tinggal di sini?" tatapan curiga Sera dengan penuh selidik.
"Ya, gampanglah seorang Fabian nyari tahu. Tinggal aku nyalain lilin terus isi baskom dengan bunga tujuh rupa, lalu komat-kamit baca mantra, muncul dech wangsit di mana kamu tinggal," canda Fabian sambil nyegir.
"Aku serius, nggak bercanda, Fabian!" pekik Sera.
"Ya, aku ikutin kamu, karena kamu ilang-ilang mulu! sepi tahu kalau nggak ada kamu!"
"Jadi, kamu kangen sama aku?" batin Sera. "Ya, ampun rasanya aku gagal move on lagi!"
Fabian melihat Sera yang senyum sendiri, ia merasa khawatir kalau perempuan di hadapannya sedang kesambet. Ia berusaha melambaikan telapak tangannya di depan muka nya, lalu berdehem.
Suara deheman membuat Sera sadar dari lamunannya.
"Sera, kamu sampai kapan membuat aku ngomongnya di depan pintu mulu? apa kamu tak persilahkan cowok ganteng di hadapanmu ini masuk?".
"Cowok ganteng?" ulang Sera sedikit memekik.
Fabian tersenyum menunjukkan giginya seperti iklan pasta gigi.
"Ganteng apaan? di sini yang terkenal ganteng itu Oh Sehun, kalau kamu itu Oh Su'un!" ejek Sera.
"Sialan kamu ngatain aku su'un! awas kamu jatuh cinta sama cowok ganteng yang bikin banyak bunga-bunga layu," Fabian meringis.
"Sok kegantengan!"
"Emang aku ganteng, Sera," ucap Fabian. "Lama banget kamu, Sera," lalu Fabian menerobos masuk ke pintu kontrakan Sera.
Sera menutup kembali pintu kontrakannya, lalu ia melihat Fabian duduk di tikar depan televisi.
"Ya, ampun keluarga kamu jatuh miskin? bangkrut?"
"Heem."
"Seorang Sera yang terkenal dengan paling pantang hidup miskin, terus rempong. Kini tinggal di kontrakan kumuh! Waow, ini bravo!" Fabian memberikan applouse ke Sera.
Sera terlihat kesal dengan ejekan Fabian, tapi benar semenjak ia tahu kenyataan pahit, lalu kabur dari apartemen. Ia hidup lebih sederhana, dan lebih menghargai uang. Ia juga merasa kalau uang recehan sekarang berharga.
"Ya, kamu kalau seperti ini, aku suka,Ser. Setidaknya kamu udah berubah bukan jadi Sera yang suka kemewahan."
"Ya ampun ternyata, dia lebih suka aku yang seperti ini. Apa ini pertanda kalau jalanku menuju jalan di hatinya sudah punya akses masuk. Tapi, bagaimana dengan Kiena? Ya, ampun kenapa aku mikirin cewek menye-menye itu! Ah, bodohlah!" batin Sera sambil menaikan satu alisnya.
"Wow, kamu bengong mulu!" tegur Fabian. "Kesambet ntar kamu!"
Sera masih larut dalam lamunannya kali ini. Ia merasa kalau ia telah terbang bersama angan-angannya.
Fabian memegang bahu Sera, "Aku tahu kamu lagi ngelamunin aku kan, Ser? udah aku udah di sini."
Plak!
Telapak tangan kanan Sera reflek melayang ke pipi kanan Fabian.
"Auw! sakit bego!" pekik Fabian sambil mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan dari Sera.
Sera menaikan satu alisnya, lalu menatap Fabian,"Budu!"
"Ya Allah, Sera. Sungguh kau lebih kejam dari ibu tiri!" umpat Fabian.
*
"Can, aku laper! ayo cari makan!"
"Ah, males Dijah. Kamu bikin aja mie instan!"
"Nggak mau, Can. Aku pengen makan suki kuah tom yam yang pedes!" rengek Khadijah.
"Duh, Dijah!"
Khadijah merengut sambil memasang muka manyunnya.
"Jah, biar aku yang anterin kamu aja," tawar Ridwan.
"Baiklah," balas Khadijah. "Dasar Acan!"
Khadijah pergi ke resto suki terkenal bersama Ridwan. Ia merasa senang setelah sekian lama harus menunda makanan favoritnya.
*
Rumi masih membaca surah AL-Mulk, sedangkan Adnan hanya bisa memperhatikan dari jauh.
Adnan merasa merindukan sosok Rumi dalam kehidupannya Walaupun dia hanya sebentar untuk tinggal bersama dengan anak laki-lakinya. Dia merasa sangat bersalah sekali saat itu.
"Ya Allah, dia anakku yang pernah ku sia-siakan dalam belasan tahun. Betapa bodohnya hambamu ini," batin Adnan, lalu air matanya menetes seakan ia mengingat beberapa dosa di masa lalunya.
Sebuah lantai penjara yang begitu sangat dingin sekali hingga menusuk ke dalam kulit. Hal itu yang dirasakan oleh Adnan sekarang. Air matanya pun mulai terjatuh seketika mengingat sosok anak laki-lakinya yang selalu saja membaca surat-surat cinta
*
Khadijah dan Ridwan telah sampai di resto suki. Mereka langsung turun dari mobil.
"Buruan, Wan. Kamu kalau jalan jangan kayak siput mau sekarat!" omel Khadijah.
"Iya, sayang!"
Khadijah mendelik menatap Ridwan yang memanggilnya sayang,"Sayang sayang sejak kapan aku izinin kamu ganti namaku!
"Yaelah, sejak om dan tante rencananya mau jodohin kita," cetus Ridwan.
"Iya, kalau aku mau, kalau enggak gimana?" ujar Khadijah sambil mengangkat sebelah alisnya.
Ridwan hanya menyeringai.
"Udah cepetan aku lapar, ntar nggak dapat tempat!" omel Khadijah.
"Ya, cari tempat lain,"sahut Ridwan.
"Khadijah!"
Khadijah menoleh melihat Sera dan Fabian juga datang barengan di resto yang sama.
"Fab? Ser?"
Mereka menghampiri Khadijah yang sedang berjalan masuk bersama Ridwan. Terlihat kesal muka Ridwan, padahal rencana ia akan melakukan aksi pedekatenya dengan Khadijah. Tapi, muncullah dua teman Khadijah.
"Loh, kok bisa jadi barengan gini, ya. Apa kebetulan kalau kamu adalah rencana Allah, jadi calon istriku?" ujar Fabian sambil mengedipkan mata ke Khadijah.
"Kenapa dengan mata kamu, Fab? kayak kongslet gitu?" ujar Khadijah.
Fabian tersenyum,"Karena grogi ketemu kamu calon istriku."
"Haduh, nggak lucu dech, Fab!" ketus Sera.
"Nggak usah sewot gitu kalee!" gumam Fabian.
"Siapa yang sewot, cowok kok centil?!" ketus Sera.
Khadijah hanya tersenyum.
"Ya Allah, senyummu memang terlalu indah calon istriku,"puji Fabian.
"Aduh, berisik dan enek banget!" cetus Ridwan yang terlihat kesal, saat Fabian mulai tebar-tebar dan rayu Khadijah.
"Aduh, Fab. Kamu salah minum obat? kok jadi aneh?" Khadijah menaikan alisnya sebelah.
"Aku nggak aneh, cuman aku,-"
"Ah, bodohlah. Aku udah nggak sabar pengen makan suki terenak. Ayo, Ser. Kita tinggalin dua orang yang otaknya mulai nggak sehat!"
"Okay, Khadijah," balas Sera sambil berjalan bersama memasuki resto suki yang sangat terkenal di Seoul.
Resto cukup ramai, ia merasa sangat bingung memilih tempat.
"Jah, kita duduk dimana?" Khadijah memeriksa bangku kosong di resto itu. "Disitu!" Khadijah menunjukkan tempat kosong itu, tapi sebuah keluarga mendapatkan duluan.
Sera melihat keluarga itu tidak asing, ia melihat sosok Naina dan bibi Dahlia.
"Jah, kita balik yuk?"
"Balik? nanggung banget, Ser."
"Kalau gitu kamu tetap disini, karena aku,-"
Sera merasa tak bisa meneruskan kalimatnya hingga membuat Khadijah penasaran.
"Maaf, aku harus pergi. Ada urusan,"pamit Sera.
"Ser?"
Sera sudah berlari pergi dan menghilang, lalu Khadijah mengurungkan niatnya dan lebih memilih mengejar sahabatnya.
"Ya, tunggu aku, Ser!"
*
Ridwan dan Fabian celingukan mencari di sekitar resto.
"Bro, kemana ya mereka?" tanya Fabian
"Tau!" sewot Ridwan.
"Nggak usah nyolot kalees! biasa aja!" ujar Fabian.
Ridwan mengecek ponselnya, namun tidak ada panggilan atau chat dari Khadijah. Begitu juga dengan Fabian berusaha menghubungumi Sera, namun tidak bisa.
"Kamu mau ke mana?"
"Mau cari Khadijah! Kenapa?"
"Oh, kalau gitu kita cari bersama aja, bro," tawar Fabian.
"Nggak! kamu cari aja sendiri!" tolak Ridwan.
"Gila tuch cowok sensi mulu! apa dia lagi dapet jatah bulanan?" gumam Fabian sambil pergi ke arah yang berbeda.
*
"Ser?"
Sera menoleh, ia melihat Khadijah berdiri di belakangnya. Lalu, ia memeluk Khadijah hingga tangisnya pecah.
"Ser, kamu kenapa?"
Sera masih dalam isak tangisnya.
Khadijah tidak ingin bertanya lagi, karena ia tahu saat ini Sera hanya butuh ketenangan.
Bukit bintang dimana tempat favorit mereka menumpahkan segala perasaanya.
"Sera? Khadijah?"
Fabian sudah bisa menebak kemana perginya mereka, kalau nggak di bukit bintang.
"Fabian?" ujar Sera dan Khadijah serempak. "Kok bisa kamu tahu kita disini?"
"Ya, tahu lah. Disini adalah tempat kita, kalau sedang ada masalah bukan?"
"Ya ya ya tempat kita, eh terus Ridwan gimana?" tanya Khadijah.
"Oh, anak yang gede ambekan itu, mana aku tahu, Jah. Aku saranin kamu jangan sama dia yaaa, cowok masa gitu," jawab Fabian.
"Siapa yang sama dia? dia itu cuman temennya kembaranku aja!" Pekik Khadijah.
"Ya yang penting bukan tipe cowok PHP!" sahut Sera.
"Hilih, kamu kenapa kok sewot amat? apa kamu ikutan kesambet demit?!" ujar Fabian sambil mengangkat alisnya.
"Tau!" bentak Sera.
"Biasa aja donk, nggak usah ngegas kaleee!" balas Fabian.
"Budu!" sewot Sera.
"Aduh, Jah. Temen kamu itu sewot amat! apa dia lagi dapet?" tanya Fabian.
"Ya Allah, Fab. Bisa nggak sich diem, berisik banget kamu!" bentak Sera.
"Ya, memang aku berisik, tapi bikin kangen, kan?" goda Fabian.
Sera langsung menunjukkan ekspresi mual.
"Santuy dong!" cetus Fabian.
"Ser, aku seneng kamu udah nggak nangis lagi," ujar Khadijah. "Emang kamu, Fab. Vitamin buat Sera."
"Vitamin yang bikin overdoze?" cetus Fabian.
"Heem," sahut Sera.
"Eh, bentar. Kita selfie dulu donk," pinta Khadijah. "Jarang amat kita foto dalam moment kayak gini?"
"Jah, tapi mukaku sembab," keluh Sera.
"Nggak apa-apa kamu tetep cantik kok," puji Khadijah.
"Hilih, mangkannya nggak usah cengeng jadi cewek!" ejek Fabian.
"Biarin, emang masalah buat kamu?!" ucap Sera dengan nada sedikit ngegas.
"Ya, enggak sich. Cuman heran aja, seorang Sera bisa berubah jadi seperti ini! Apa kamu jangan-jangan salah minum obat?"
Sera melirik dengan tatapan sepedas bon cabe level terakhir.
"Nggak usah segitunya kalee ngelihat aku, awas kamu akan jatuh cinta loch!"
"Jatuh cinta ama kamu itu adalah musibah, Fab!"
"Musibah? bukannya anugerah terindah buat kamu, Ser?"
"Duh, kalian ini! please, jangan kayak bocah! ini aku udah nunggu buat selfie kalian berdua malah berdebat rumah tangga!" omel Khadijah.
"Dia yang mulai, Jah!"
"Enak aja, kamu tuh!"
Khadijah merasa kesal dengan mereka yang selalu kayak air dan minyak tak pernah menyatu.
"Okay, aku pergi!" cetus Khadijah, lalu meninggalkan mereka yang masih berdebat.
*
Pov Khadijah.
Semua perasaan yang ada dalam hatiku. Kenapa rasanya semua itu terasa begitu terasa begitu hampa sekali saat itu?
"Khadijah kamu jangan pernah dekat dengan Rumi lagi!" Kedua Ayahku mulai melarang agar aku tidak dekat dengan pria idaman ku selama ini. Karena dia adalah seseorang yang pernah membuat Ibuku menjadi depresi atas hal yang telah dilakukan oleh ayah Rumi.
Kadang aku merasakan Kenapa cinta itu selalu datang di tempat yang salah bahkan tidak pernah singgah dalam sebuah keadaan yang sesungguhnya tepat. Sungguh aku merasa risau sekali dengan perasaanku yang seperti dinaikkan dan diturunkan tak pasti. Ini begitu menyakitkan sekali bahkan aku takkan pernah bisa untuk merasakan cinta yang sesungguhnya.
"Aku mencintai dia tanpa syarat yang takkan pernah bisa aku katakan sama sekali. Tapi kenapa cinta itu begitu Menyakitkan ketika aku ingin berjuang untuk dia?" Aku menggumam dalam hati kecilku sambil berdoa di sepertiga malamku. Air mataku mulai terjatuh seketika diatas sajadah. "Jika benar dia jodohku maka Dekatkanlah. Jika dia bukan jodohku maka gantikanlah dengan seseorang yang terbaik sesuai dengan pilihanmu ya Allah, " harapanku dalam hati yang terus aku ucapkan dan takkan pernah bisa ku hentikan sama sekali. Setetes air mataku setetes harapanku yang takkan pernah usai untuk aku sebut namanya. Namun aku tidak akan pernah mampu untuk melawan kedua orang tuaku.
Kemudian aku pun langsung melantunkan ayat-ayat suci dari kitab Alquran. Aku berharap jika ada sebuah keajaiban dalam arti cinta sesungguhnya. Karena ku yakin jika cinta takkan pernah salah menilai sesuatu dari kadarnya. Dan aku percaya Jika Allah tahu apa yang manusia butuhkan bukan apa yang manusia inginkan di bumi ini.
"Apapun takdirku nanti aku hanya ingin takdir yang terbaik. Karena aku tidak ingin memaksakan sebuah takdir untuk kehidupanku sendiri. Aku hanya ingin mengikuti sebuah alur dari takdir yang telah engkau berikan kepadaku Ya Allah. "Aku langsung bersujud setelah selesai membacakan surah alwaqiah di sepertiga malamku.
*