"Dimulai dari mendung, hingga gerimis. Dan, hadirmu bak pelangi setelah reda. Hai Adam ku, namamu akan selalu ada dalam sujudku. Semoga tidak terlambat ikut pendaftaran, jadi calon makmummu.
-Khadijah-
*
Sore ini Khadijah melakukan bimbingan dengan Mr. Lee.
"Dasar dosen oh dosen! giliran aku on time, eh dia malah kendor!"
Sudah hampir menjelang magrib Khadijah menunggu Mr. Lee di coffee shop dekat kampus.
Ponsel Khadijah mulai berdering dengan nada bib bib bib. Sebuah pesan singkat tertera nama "Lee" .
Lee : Sorry, Khadijah hari ini bimbingan kamu dengan saya ditunda aja sampai aku kabarin lagi, karena saya ada jet leg ke Paris.
Khadijah mendadak kesal dengan sikap dosen yang super seenak jidatnya tanpa pikir pakai otak. Apalagi, ia rela sampai tidak ikut acara makan malam bersama keluarga.
"Sumpah demi demit nich dosen! suka seenak jidatnya."
Bibir khadijah mengerucut bak cetakan nasi tumpeng.
Khadijah : Baiklah, Mr.
Chat singkat via line sudah ia kirim ke dosennya.
"Latte?"
Khadijah mendongak shock melihat Rumi.
"Subhanaallah, dibalik gagal bimbingan tesis ku temui calon imam impianku. "
Dalam hati Khadijah menatap pelayan cafe yang nyatanya pangeran impiannya. Dia yang sederhana mampu membuat Khadijah jatuh hati di balik secangkir kopi latte.
Dalam tatapan lima detik menerima secangkir latte.
"Rumi?"
Rumi tersenyum menatap Khadijah, "Secangkir latte untuk kamu yang sedang cemberut."
Rumi tersenyum, ia menatap Khadijah yang sedang menikmati secangkir lattenya.
"Secangkir hati dalam sebuah latte, sungguh ini latte terbaik yang pernah aku minum sambil menatapnya."
"Gimana rasanya, mbak?"
Khadijah tersenyum, "Enak kok, mas Rum."
Rumi tersenyum.
"Mas, udah lama kerja di sini?"
Rumi tersenyum, "Aku baru dua minggu kerja di sini."
"Barista?"
Rumi mengangguk.
"Ya Allah, ini enak sekali latte-nya, mas."
"Terima kasih, semoga lattenya nggak mengecewakanmu, seperti nungguin Mr. Lee."
"Kok, tahu aku nungguin dosen killer!" Khadijah membatin.
"Pulang kamu naik apa?"
"Entahlah, mas. Mungkin naik, bus."
"Bagaimana kalau aku antar?"
"Boleh, apa nggak merepotkan, mas?"
"Nggak apa-apa kita kan barengan maksudnya naik busnya."
"Oh,"
"Iya, Mbak Khadijah."
"Sumpah, ini pulang naik bus bisa bebarengan lagi sama dia, oh Ya Allah. Semoga aja aku masih ada kesempatan daftar buat jadi calon makmumnya kelak" Lamunan Khadijah membuat senyum mengembang bak baking powder.
"Mbak."
"Panggil saja Khadijah atau Dijah."
"Okay,"
"Tapi, aku tetep manggil kamunya mas, karena kamu kan lebih tua dari aku."
Rumi tersenyum.
"Oh, ya kamu nggak keberatan sambil nunggu jam kerjaku selesai?"
"No, problem" ucap Khadijah sambil tersenyum kembali.
Rumi kembali ke tempat kerjanya, sedangkan Khadijah kembali menyeruput secangkir lattenya yang sudah tak berbentuk hati kembali.
*
Langit mulai mendung, suasana di luar mulai gerimis, Khadijah menatap sendu butiran air yang mengalir deras.
"Dimulai dari mendung, hingga gerimis. Dan, hadirmu bak pelangi setelah reda. Hai Adam ku, namamu akan selalu ada dalam sujudku. Semoga tidak terlambat ikut pendaftaran, jadi calon makmummu."Khadijah membatin seraya menatap jendela.
Rumi melihat Khadijah di meja ujung dekat jendela. Ia merasakan kalau perempuan itu sangatlah mempesona, tapi sadar diri kalau dia lelaki biasa.
"Mas Rum, jangan dilihatin aja mbaknya."
"Adel, kamu itu."
"Cie, bro Rum. Kamu suka ya sama dia?"
"Apaan sich, Wil."
Muka Rumi mulai memerah bak udang kepanasan.
"Yeee, ketahuan tuch mukanya mas Rumi bak udang," cetus Adel.
"Sialan kepergok dech," Rumi meringis dan membatin.
"Cantik loch dia, apa perlu aku tikung cintamu?"
"Silahkan saja, Wil."
"Bilang kayak gitu, tapi wajah kamu nggak ikhlas."
"Aku ikhlas kok," senyum kecut Rumi.
*
"Hujan dan kopi terlalu pekat, ketika mengingatmu, perempuanku yang dulu pernah ada dipelukkanku, kini hanya sebatas aku memandangmu, karena membuatmu tersenyum adalah bahagiaku."
"Kini kita sudah tidak sejalan lagi, namun aku tidak bisa memaksamu kembali, mungkin skenario yang tertulis untuk jalan yang terbaik."
Ayass dalam lamunannya sambil menatap hujan di jendela kamarnya sambil menikmati secangkir latte.
Latte memang varian kopi yang sama favoritnya dengan Khadijah. Keduanya memiliki kesamaan yang tidak bisa dipungkiri sebagai hubungan ayah dan anak.
"Aku selalu setia dengan rasanya, seperti kesetiaan atas cintamu, meskipun seberat apapun ujian itu, aku tetap mencintaimu, bahkan kau tak pernah terganti hingga ujung usiaku."
Ayass mengembuskan napas kasarnya, ia selalu bahagia melihat mantan istrinya bahagia, meskipun tidak dengannya.
"Mungkin, bahagiaku dan cintaku sekarang untuk kedua buah hatiku. Sungguh cukup mereka."
Ayass menatap foto kedua buah hatinya. Tatapannya nanar, ketika melihat foto pernikahannya dengan wanita yang ia cintai.
*
"Dijah, ayo."
"Baiklah, Mas Rumi."
Khadijah beranjak dari tempat duduknya, ketika Rumi melangkah menghampirinya sambil membawa payung.
Mereka berjalan beriringan dengan jarak yang memisahkan.
Payung putih transparan mulai dibuka, mereka dalam satu payung teduh. Hujan masih deras, sederas aliran darah yang mengalir di tubuh Khadijah.
"Hujan begitu deras, seakan membuat aku dan kamu menjadi dalam satu payung teduh. Hatiku terasa seperti ada aliran listrik, bak senyawa di dalamnya menyatu."
Khadijah seakan berjalan dalam lamunannya menikmati jalanan menuju ke halte.
*
"Waktu terlalu cepat berlalu, seakan hujan pun mampu memberikan suatu kode alam, kalau kau sudah bersamanya. Sungguh bodohnya diriku berharap kepada pria yang telah menghancurkan masa depanku, dan meninggalkan pria yang memiliki kebaikan bagaikan malaikat tak bersayap."
Mawar menatap Rumi berpayungan bersama perempuan berhijab cantik. Tatapan kedua matanya begitu nanar dan sedikit kecewa, karena telah menyia-nyiakan lelaki biasa yang memiliki cinta luar biasa.
"Sungguh, hatiku terasa sangat pedih melihatnya, tapi apalah aku perempuan kotor yang rela menyerahkan tubuhku sebagai jalang untuk seorang pria brengsek seperti Adrian. Aku sungguh menyesal ketika aku melakukan semua itu karena cinta seakan menghalalkan segala cara untuk menuju jurang penuh dosa."
Payung yang dipegang Mawar tiba-tiba terlepas lalu terbang, ia masih berdiri di tengah derasnya hujan yang seakan menyembunyikan tangisnya.
Air mata Mawar mulai terjatuh seketika. Dia tidak dapat untuk melakukan apapun karena dia bukanlah siapa-siapa untuk pria yang kini ada di hadapannya. "Semua itu adalah kesalahanku karena aku lebih memilih seseorang yang menghianati perasaanku selama ini. Dia terlalu jahat untukku hingga membuat diriku tak sanggup menahan air mataku. Diriku benar-benar hancur telah dibodohi dengan sebuah cinta yang palsu. "Menggumam dalam hati kecilnya bahkan berusaha untuk membendung air matanya agar tidak jatuh membasahi kedua pipinya. Dia merasa semuanya sudah terlambat karena tidak ada sesuatu yang mampu untuk bisa merakit sebuah kesalahan yang sudah terjadi.
*
Hujan yang tadinya deras mendadak menjadi reda kemudian Sebuah bus telah datang dihadapan Rumi dan Khadijah. Kemudian mereka berdua langsung masuk ke dalam bus saling bergantian.
Rumi membidik kedua matanya melihat ada dua bangku Kosong di bagian belakang. Kemudian dia berjalan menuju ke sana sambil mengajak Khadijah.
"Sepertinya ada dua bangku kosong. Sebaiknya kita duduk di sana." Kata Rumi menatap wajah Khadijah yang terlihat sudah kedinginan karena hujan yang tadinya begitu sangat deras sekali.
Khadijah mengangguk mengiyakan namun dia melihat seorang perempuan yang sedang hamil besar membutuhkan tempat duduk. Kemudian Khadijah mempersilakan perempuan itu untuk duduk di tempat duduknya. "Sebaiknya ibu duduk saja di sini karena biar saya yang berdiri." Kata Khadijah sambil berdiri dan berpegangan sebuah handle hand yang ada di bus. Dia merelakan semua itu karena yang lebih membutuhkan adalah perempuan yang sedang hamil besar itu.
Rumi sangat kagum sekali dengan sikap yang diberikan oleh Khadijah terhadap perempuan yang sedang hamil itu. "Luar biasa kamu kaya dia bisa berbuat kebaikan seperti itu walaupun itu hanyalah hal yang cukup sederhana dilakukan oleh seseorang." Dia menggumam dalam hati kecilnya sambil menatap Khadijah dari jauh. Kemudian dia juga melihat ada seorang nenek-nenek yang kebingungan mencari tempat duduk. "Sebaiknya nenek duduk saja disini karena biar saya saja yang berdiri. "Katanya sambil mempersilakan nenek tua itu duduk di kursinya.
Kemudian Rumi dan Khadijah terlihat saling menatap satu sama lain. Mereka berdua melakukan hal yang sama demi sebuah kebaikan seseorang. Hal itu membuat mereka berdua saling mencuri pandang satu sama lain.
Ketika itu Khadijah mengingat sosok perempuan yang selalu bersama dengan Rumi. Ia cukup mengenal perempuan itu yang merupakan model papan atas. Dia juga tahu bahwa perempuan itu cukup populer di kalangan model internasional. Bahkan perempuan itu merupakan brand Ambassador dari salah satu produk make up yang cukup terkenal di Seoul, Korea Selatan.
Khadijah terlihat begitu sangat minder sekali dengan posisinya sekarang karena dia bukanlah siapa-siapa untuk seorang Rumi yang begitu sempurna dalam sikapnya. Dia berusaha untuk memperbaiki dirinya agar menjadi lebih baik. "Jika saja dia mampu mendengarkan isi hatiku sesungguhnya. Karena aku sungguh mengagumi dia tanpa sebuah alasan yang aku ketahui selama ini."
Bus mulai melaju begitu sangat cepat sekali hingga menyapu jalanan kota. Rumi dan Khadijah saling berpandangan satu sama lain. Kemudian mendadak bus mengerem secara mendadak. Beruntungnya Khadijah tertahan oleh tubuh bumi sehingga dia tidak terjatuh dilantai bus.
Khadijah merasa detak jantungnya berdebar begitu sangat kencang sekali sehingga aliran darahnya mulai mengalir begitu dia sangat deras. Bibirnya terlihat begitu bergetar sedangkan matanya mulai saling menatap satu sama lain. Ia merasa semua itu bagaikan sebuah mimpi di siang bolong karena dia bisa dekat dengan seorang pria yang selama ini ada dalam benak pikirannya.
Kemudian mereka berdua sadar bahwa tidak seharusnya mereka saling berdekatan seperti itu.
"Maaf," kata Rumi menatap wajah Khadijah. Dia penuh rasa bersalah karena telah menyentuh tubuh ketika kadijah hampir saja terjatuh.
"Kamu tidak usah berkata maaf sekalipun kepadaku karena kamu sudah menolongku untuk tidak terjatuh dan tersungkur dilantai bus." Balas Khadijah sambil menatap kedua mata Rumi begitu pekat. Ia tidak menyangka selama selama ini mengagumi seorang pria seperti Rumi dari jauh, kini mereka saling berdekatan bahkan detak jantung Jika dia merasa begitu tidak tenang.
Detak jantung Khadijah masih saja belum stabil ketika dia berada saling berdampingan dengan Rumi. Dia merasa jika ada sebuah hati yang tidak pernah bisa dia tahan sama sekali gejolaknya. "Mungkinkah aku jatuh cinta terhadap pria yang memiliki lantunan ayat suci yang bisa menggetarkan hatiku?" Khadijah mulai menggumam dalam hati kecilnya, dia merasa detak jantungnya berdegup semakin kencang bahkan aliran darahnya mengalir begitu sangat deras. Dia merasa semua itu bagaikan perasaan yang mengalir bagaikan sebuah perahu.