Chereads / Dear Adam (Indonesia) / Chapter 22 - Gersang

Chapter 22 - Gersang

"Seperti kaktus, harus bisa hidup, meskipun di situasi cukup gersang."

***

"Bagaimana perkembangan pencarian Rania?" Haqi menekan tiap kata dalam pertanyaannya.

Ayass hanya menggelengkan kepala bersama Hasan,"Haq, aku sudah cari Rania kemana pun, tapi dia..."

"Ayah, Mommy tidak ada jejak sama sekali," lirih Hasan.

Haqi hanya diam mendengarkan kabar tentang Rania, ia sudah merasa begitu merindu dan cukup cemas.

"Apa? mom belum dipertemukan?" Khadijah sambil mengendong baby Husein yang kini sudah tenang dan tidak rewel lagi.

Haqi mengacak-acak rambutnya dengan frustasi, ia takut kehilangan sang istrinya. Ia trauma, karena penculikan Rania beberapa tahun lagi, ia merasa curiga dengan satu nama dalam ingatannya, "Nggak, mungkin kalau dia," pikirnya.

"Ayah, kita semua sudah mencari kepelosok kota ini, tapi mom seolah hilang tanpa titik jejak."

Sudah hampir dua pekan, Rania menghilang. Padahal dua hari lagi adalah peringatan anniversarry pernikahan Haqi dan Rania ke 7 tahun.

Mata Khadijah terlihat juga sembab, rasanya ia tak sanggup kehilangan mommy nya kembali. Apalagi baby Husein membutuhkan ibunya.

"Acan, cari mommy sampai ketemu," pinta Khadijah.

"Tenanglah, aku juga ikut mencari tante Rania,"celetuk Ridwan.

Dua pekan kabar duka kehilangan salah satu keluarga, bahkan sudah hampir tidak ada harapan lagi mencari jejaknya. Seorang detektif profesional sudah diutus, namun sayangnya tidak menemukan tanda-tanda Rania Medina.

Setiap hari mereka selalu melakukan sholat malam tiap hari demi Rania Medina.

"Sayang, kau dimana?" gumam Haqi dalam raut wajah cemas, begitu juga Ayass juga sangat kehilangan mantan istrinya.

Bulu di wajah Ayass juga semakin tebal, ia tidak berniat mencukurnya kembali. Rania Medina perempuan yang selalu ada di hatinya, ia pun tidak akan pernah mencari penggantinya. Cukup Rania baginya.

Hidup dalam satu atap, satu keluarga dengan suami baru mantan istrinya itu tidak mudah, tapi keikhlasan adalah jalan terbaik. Ia hanya menginginkan kehangatan dan keutuhan keluarganya.

Terlalu sakit bilamana perempuannya telah bersama pria lain, namun rasa sakit itu terobati dengan senyum mengembang di wajah perempuan yang kini hanya status mantan istri, tapi takdir berkata lain, kalau perempuan itu hilang bak ditelan bumi.

"Dad, Dijah cukup tahu apa yang dirasakan Daddy, tak mudah mengikhlaskan, namun aku bangga denganmu, Dad, " batin Khadijah yang masih mengendong baby Husein.

Khadijah pun rela untuk tidak ke kampus, ia hanya ingin tetap bersama keluarganya. Karena saat ini perempuan yang ada di rumah cuman dia, sedangkan bibi sibuk akan pekerjaan rumah tangga.

***

"Seperti kaktus, harus bisa hidup, meskipun di situasi cukup gersang, " pikir Haqi mengamati potret keluarga utuhnya.

Haqi memeluk bingkai potret antara dia dengan istrinya. Ia sangat rindu akan kebawelan istrinya, berisiknya, bahkan ceramah yang kadang menguras beberapa menit, yang paling dikangenin sifat Rania sangat manja, jika sehari tidak bertemu.

"Istriku, aku merindumu, dimana pun kamu berada, semoga kau baik-baik saja. Sunggu aku rindu semua tentangmu," batin Haqi dalam derai air matanya.

"Aku tahu, kalau Allah SWT sedang menguji cinta kita, tapi aku yakin segersang apapun keadaannya, aku tetap mencintaimu," batin Haqi kala menatap fotonya dalam bingkai indah saat berdua.

Rania Medina memang bukan perempuan sesempurna Aisyah, tapi kelembutannya dan kekurangannya membuat kedua pria itu begitu mencintainya.

Haqi dan Ayass sama-sama merindukan perempuan yang sama, meskipun status membedakan dalam sebuah hubungannya. Status suami bagi Haqi saat ini, sedangkan status mantan suami bagi Ayass. Namun, pada hakekatnya cinta tak pernah salah, tapi waktu yang salah.

***

"Dijah, kamu yakin nggak gantian aja jaga baby Husein nya?" tanya Hasan.

Khadijah mengelengkan kepala, ia masih menidurkan baby Husein di ranjangnya,"Bagaimana bisa aku meninggalkan bayi ini, kalau dia kenapa-napa?"

"Dijah, tesis kamu bagaimana?"

"Aku akan bilang ke dosen Lee, kalau saat ini aku belum bisa menyelesaikannya, keadaan yang membuatku harus menundanya, Can," helaan napas kasar keluar dari hidung Khadijah. Sungguh keadaan membuatnya dalam dilema antara kuliah atau keluarga.

"Dijah, bukankah kalau ....."

"Sudahlah, Can. Aku yakin ini yang terbaik, masalah kuliahku bisa aku selesaikan, setelah keluarga kita kembali," ucap Khadijah.

Keluarga adalah harta yang paling berharga. Semua bisa dikejar, setelahnya. Sesak rasanya dalam keadaan yang tiba-tiba muncul kembali.

***

"Ser, sepi amat ya kalau nggak ada Khadijah?"

Sera menatap Fabian, lalu tersenyum sinis, "Bukan sepi, tapi kamu itu rindu sama Khadijah. Dari wajah kamu sudah ku tebak kalau kamu suka sama dia sejak dulu. Iya, kan?"

"Sotoy banget kamu, Ser!"

"Hilih hilih, bukannya aku sotoy, tapi aku sudah mengamatimu sejak dulu!"

"Tuch, ilmu sok tahu kamu mulai mendewi!"

Sera menahan napasnya, lalu menghembuskan dengan kasar, "Biarin aku sotoy, tapi aku bener, kan?"

Fabian tersenyum sinis,"Kamu itu..."

"Sayang!"

Fabian menoleh melihat Kiena melambaikan tangan.

"Yaelah, cewek itu lagi," gumam Sera.

"Nggak usah syirik gitu" cetus Fabian.

"Syirik? sama dia?" ketus Sera. "Jijik banget!"

"Jijik, tapi suka,kan?"

"Suka? ama kamu, Fab?" sinis Sera.

Fabian hanya mangut-mangut.

"Mimpi!" ketus Sera dalam tatapan sinis dan galak. "Emang aku cemburu, Fab. Tapi, gengsi!" jeritan dalam hati Sera.

Fabian menghampiri Kiena, sebelumnya berbisik ke Sera, "Awas kamu nanti jatuh cinta sama aku!" kedipan mata Fabian.

Kaki Sera seakan melemah, dadanya terasa sesak hingga ke uluh hati. Matanya menatap dengan api cemburu saat Fabian mencium puncak kening Kiena.

"Sungguh, kamu tega banget!" Umpat Sera dalam hati. "Gini kalau nggak ada Khadijah. Sepi dan sendiri lagi!" bibir Sera manyun.

***

Husein masih saja terlelap tidur dalam pelukan Khadijah. Bayi mungil itu sungguh mengemaskan, tapi tangisannya cetar membahana hanya Khadijah yang mampu menenangkannya.

"Dia udah tidur?" tanya Hasan.

"Iya, Can,"jawab Khadijah.

"Ayuk, makan malah. Kasihan yang lain udah nungguin kamu," ajak Hasan.

"Taa.... "

"Udah, aku yang jaga Husein,"ceplos Ridwan.

"Emang kamu bisa jaga anak kecil?" ledek Hasan.

"Yaelah, San. Cuman anak kecil gini,"ujar Ridwan.

"Halah! aku nggak percaya kamu bisa jagain Husein,"sindir Khadijah.

"Okay, aku buktiin kalau aku bisa jagain Husein. Sekalian aku belajar jadi ayah dari anak-anakmu nanti Khadijah,"kata Ridwan.

"Ish, aku jijik banget. Mana mungkin kamu, jadi calon ayah buat anak-anakku. Mimpi kamu kurang panjang dalam tidur" ketus Khadijah.

"Bro, emang kita nggak pantes jadi saudara ipar an?" tanya Ridwan.

Hasan hanya diam dan tersenyum saja menatap Ridwan.

***

"Ya, ampun kenapa bayangan cowok tengil itu tetep ada di otakku?" keluh Sera.

"Apa aku telepon Khadijah ya?"

Sera pun mencoba berulang kali menelpon sahabatnya. Ia ingin cerita, namun tidak ada jawaban sama sekali.

Sudah hampir lama Khadijah menunggu pesan yang ia kirim dibaca, namun masih belum sama sekali.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi, ia melihat dalam layar kacanya tertera nama seseorang yang mampu membuatnya ingin loncat-loncat di atas trampoline.

***