Tiga hari yang lalu saat jam istirahat Gladis secara tak sengaja hampir terjatuh akibat menginjak kulit pisang di koridor sekolah. Untungnya Furkon segera menangkap tubuhnya. Satu sekolah histeris menyaksikan hal itu dan mulai menggunjingkan keduanya. Furkon amat malu dan menyesal melakukan itu sementara bagi Gladis itu hal sepele yang tak memiliki makna.
SMA Sejati Mataram adalah sekolah popular di kota ini. Nyonya Rara dan sang suami berbaik hati menyekolahkannya karena melihat betapa Gladis sangat rajin membaca buku pelajaran yang ia pinjam di perpustakaan daerah saat ia rehat dari pekerjaannya.
"Fer, pinjam penggaris dong," pinta Gladis.
Ferlina berbalik dan memberikan benda itu.
"Thanks."
"Sama-sama."
Pelajaran Bu Meta berakhir disusul Pak Hendro masuk kedalam kelas. Guru berperawakan pendek dengan kepala plontos itu sontak membuat kelas menjadi gaduh, seolah menyepelekan dan tak takut padanya samasekali. Akan tetapi mata pelajaran yang ia ajarkanlah yang amat menakutkan, apalagi kalau bukan Kimia.
Pak Hendro langsung saja menulis contoh soal di papan tulis dan menerangkan bagi yang mau mendengarkan. Hanya Gladis, Sofi, dan Dimas yang memperhatikan.
Gladis melirik kearah Dimas, ia terpukau dengan sikap yang di tunjukkan pemuda itu. Diam-diam ia sudah menyimpan rasa terhadapnya. Bagai pungguk merindukan bulan, seperti itulah yang di alami Gladis saat ini. Dimas amat jauh dan tak mungkin ia jangkau dengan status sosialnya yang amat hina.
...
15.40 wita:
Allohuakbar-Allahuakbar! Azan ashar berkumandang nyaring dari arah Islamic center. Gladis menghentikan aktivitas menyapu halaman depan untuk mendirikan sholat sejenak. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit untuknya beribadah. Terakhir ia pun berdoa lirih, "Ya Allah....ampuni dosa mendiang ibuku dan ayahku serta lapangkan kuburnya. Aku mohon perlindungan dari gangguan dan kelaparan. Kuatkan imanku dan jagalah kehormatanku," pintanya memohon lalu mengusap wajahnya.
Romeo tiba di rumah. Perutnya sudah keroncongan dan meminta pelayan yang menghampirinya untuk menyediakan masakan yang semalam ia makan.
"Maaf Tuan. Menu semalam yang Tuan nikmati adalah buatan Gladis. Tetapi ia bertugas di bagian bersih-bersih. Jika Tuan mau banyak menu lezat yang akan disediakan chef seperti biasa," ucap pelayan itu agak takut dengan sedikit membungkuk.
Romeo merasa sangat kesal. Ia merasa pelayan ini lancang terhadap dirinya, "Kamu mau mengaturku? Aku minta makanan semalam sekarang! Suruh Gladis menyiapkannya dan mulai detik ini tugasnya adalah melayaniku!!"
Pelayan itu terlonjak kaget dan segera berjalan cepat menemui Gladis. Romeo medesah kesal seraya melonggarkan dasi yang terasa kian mencekik lehernya.
Rara terheran dan mendekat lalu bertanya padanya dari kejauhan, "Ada apa, Romeo?"
Romeo tak menjawab.
Rara kian mendekat dan menyentuh kedua pundaknya. Ia bertanya sekali lagi, "Apa ada masalah?" tanyanya khawatir.
"Semua pelayan mu kurang ajar! Mereka anggap apa aku ini!"
Rara terheran, "Siapa? Apa yang mereka lakukan?"
"Aku mau pembantu yang semalam memijitiku dan membuatkan makan malam untukku. Suruh dia menemuiku di taman sekarang juga!" tandasnya dan berlalu.
Mata Rara menangkap mata Gladis. Gadis itu sudah berdiri kaku ketakutan di perbatasan antara area kamar pembantu dengan ruang tamu. Wanita itu melangkah angkuh. Ia pun tertunduk ketakutan saat Rara sudah berada di hadapannya, "Kamu dengar permintaannya? Lakukan sekarang!"
Gladis segera berlari menuju taman belakang. Ia mendapati Romeo tengah duduk santai bersandar pada kursi. Dengan ragu ia pun menyapanya, "Tu-Tuan....."
Romeo tersentak dan menoleh, Sebias senyum nakal terpampang di wajah tampannya.
Pria itu duduk tegak dan memintanya untuk duduk.
"Maaf, apa yang Tuan butuhkan?"
Romeo tak menjawab dan tetap menatap wajah cantiknya. Saat ini ia hanya ingin Gladis berada di dekatnya.
"Tuan ingin di pijiti?" tanya Gladis tertunduk sekilas menatap wajahnya.
"Tadinya, tapi sekarang tidak. Aku hanya ingin kamu berada di hadapanku menikmati wajah cantik mu."
Wajah Gladis bertemu merah.
"Aku mau kamu menikah denganku. Mau kan....?"
Tiba-tiba Gladis tertawa kecil dan senyum Romeo kian mengembang, "Aku serius, aku ingin menikahimu."
Gladis memberanikan diri menatapnya, "Tuan lucu," celetuknya. "Tuan sudah sangat dewasa dan saya masih kecil. Tuan juga adalah majikan saya....memangnya tidak ada wanita lain yang lebih pantas.....?"
"Aku sungguh-sungguh. Aku hanya ingin memilikimu agar bisa merasakan pijitanmu....."
Tawa Gladis perlahan memudar dan ia kembali tertunduk takut.
"Kita akan menikah secepatnya. Ini keinginanku dan perintah untukmu. Sekedar ijab qobul setelah itu selesai. Tak ribet kan?"
Gladis hanya gadis kecil yang tak mempunyai pengalaman apapun soal pernikahan. Ia pun berpikir enteng sesuai ucapan pria ini.
"Kehidupanmu akan terjamin dan apapun yang kamu minta akan ku penuhi."
"Cuma itu, Tuan?" tanyanya polos menatap sekilas Romeo.
"Tentu, apalagi coba. Cuma ijab qobul dan selesai."
Gladis pun mengangguk. Ini seolah seperti permainan anak kecil baginya.
...
Romeo mengatakan keinginannya kepada Rara dan Michael secara gamblang saat sarapan. Rara tak habis pikir dan menentang keras keinginannya. Sementara Michael sebagai seorang pria menganggap ini hal yang wajar dan biasa saja.
"Dia pembantu Romeo....masih banyak gadis muda cantik yang bisa kamu beli dan nikahi! Gladis tak setara dengan status sosial kita. Apa tanggapan orang lain terhadap keluarga ini?!"
Romeo meneguk air mineralnya dengan santai lalu mengusap mulutnya dengan serbet, "Ini keputusanku. Yang aku inginkan hanya Gladis. Kamu jangan coba-coba melakukan hal buruk untuk menghalangiku. Aku akan urus semuanya hari ini dan dua hari lagi kami menikah." Ia bangkit tanpa beban. Gladis menghampirinya dan ia mempersilahkannya masuk kedalam mobilnya. Rara melotot tak percaya. Kelakuan adiknya itu sejak dulu memang selalu di luar dugaannya.
.....
SMA Sejati Mataram, ruangan kepala sekolah:
Gladis duduk di samping Romeo dengan penuh kecemasan. Ia takut dengan reaksi kepala sekolah dan guru BP yang hadir di ruangan itu beserta wali kelasnya.
Perlahan dengan santai Romeo mengutarakan niatnya memohon izin serta mengharap kebikaksanaan pihak sekolah untuk mengizinkan Gladis menikah dengannya dan tetap bersekolah di tempat ini. Ia mengutarakan alasan logis dan itu sangat masuk di akal kepsek dan guru BP Gladis, "Saya berniat baik untuk mengangkat taraf hidupnya. Dia sudah tak punya siapapun dan kami takut akan hal buruk sebab tinggal dalam satu atap. Pernikahan kami saya jamin takkan mengganggu proses pendidikannya. Bahkan ini semua akan berdampak positif."
Akan tetapi ini sangat berat untuk mereka setujui. Kepala sekolah berkata akan mengadakan rapat untuk membahas perkara ini.
Wali kelas Gladis memintanya untuk masuk ke kelas setelah pembicaraan itu usai.
"Itu majikanmu ya, Dis?" tanya Ferlina seraya meraih pergelangan tangannya saat ia hendak menuju bangkunya. Ferlina begitu penasaran.
"I-iya. Dia tuanku."
"Ganteng banget! Kok dia sama kamu sih? Ada masalah ya?"
"Nggak, cuma ada urusan sebentar."
"Urusan apa?" Ferlina kian penasaran.
"Nanti aja aku ceritanya....masih belum jelas juga...." Gladis melepaskan tangannya dan duduk di bangkunya.
Bersambung....