Hingga di puncak kenikmatan tangis Gladis pecah. Romeo paham dengan reaksinya dan ia sangat mengerti. Pria itu menyentuh telapak tangannya dan menggenggamnya dengan erat, "Maaf..." bisiknya
"Hiks....Mas jahat! Hiks!"
Romeo mendesah dan bangkit dengan tangan kanan yang menumpu tubuhnya, "Ini hal wajar yang harus aku lakukan. Aku minta maaf jika sedikit kasar. Aku janji takkan melakukan ini jika kamu tak menginginkannya."
Gladis mencoba menatapnya, "Aku belum siap, Mas. Bagaimana jika sampai aku hamil? Hiks!"
Romeo tersenyum, "Tidak, kamu takkan hamil Sayang karena aku menggunakan pengaman."
"Serius? Janji?" tanyanya meminta sambil mengacungkan jari kelingkingnya."
Romeo tertawa kecil dan ia membalas dengan mengaitkan jari kelingkingnya pada kelingking mungil sang istri, "Janji."
Gladis pun tersenyum dan mendengus. Melihat senyumnya Romeo tertarik ingin mencium bibirnya.
"Mau apa?" cegat Gladis menahan dada kekarnya.
"Cium sedikit."
"Sedikit aja..."
Romeo mengangguk dan lekas mengecup bibirnya.
....
Surya menyingsing. Cahayanya masuk menembus gorden transparan kamar Romeo dan Gladis. Semua barang mereka sudah berada di dalam koper. Sekali lagi Gladis memastikan wajahnya di cermin.
"Sayang, kamu sudah siap?" tanya Romeo seraya menengok kebelakang sambil meresleting kopernya.
"Sudah, Mas."
Singkatnya Romeo dan Gladis kini berada di dalam pesawat. Setelah belasan jam di dalam pesawat itu dan tiba dini hari di Lombok Romeo mengusap wajah Gladis yang masih tertidur pulas agar ia terbangun, "Sayang," panggilnya, "kita sudah sampai."
Gladis menggeliat. Ia tak mengira jika kini sudah berada di Lombok, "Sampai ya, Mas?"
"Ya, Sayang. Bersiaplah."
5.30 wita:
Tubuh Gladis rasanya tak kuat untuk berjalan kedalam rumah. Ia meminta Romeo menggendongnya sampai kedalam kamar.
.....
07.30 wita:
Ini bagai mimpi bagi Gladis. Baru kemarin ia melayani majikannya yang kini sudah menjadi keluarganya dan ia sarapan pagi bersama mereka. Rasanya canggung sekali. Kania tersenyum senang menatapnya dari dalam dapur. Rara rasanya jijik makan satu meja bersamanya. Jika bukan karena menghargai dan takut pada Romeo pasti ia akan mengusir wanita itu atau hengkang dari meja makan.
Gladis mencoba menyesuaikan diri sekalipun ini terasa amat susah. Mulai dari memitong makanan hingga mengunyahnya dengan sangat hati-hati. Yah, dirinya cukup tertekan.
"Kamu berangkat dengan ajudan khusus untukmu," ucap Romeo padanya
"Iya, Mas."
Ia segera menghabiskan sarapan paginya dan berpamitan. Ia di persilahkan memasuki mobil oleh seorang ajudan wanita.
"Aku pikir cowok yang jadi ajudan ku. Ternyata seorang wanita..." batinnya.
Ketika tiba di depan sekolah semua mata menatap dirinya turun dari mobil itu. Mereka berdecak kagum dengan dirinya kini. Salah seorang dari siswa perempuan berkata jika dirinya bak Cinderella moderen. Ia mencoba berjalan dengan santai seolah tak mendengar gunjingan semua teman-temannya.
"Wah-wah....nyonya besar baru sampai dari bulan madu!" teriak Willi di pojok kelas.
Suasana kelas riuh mencemooh Gladis, bahkan Mimin yang merupakan sahabat baiknya ikutan tertawa mengejeknya. Ia marah lantaran Gladis tak mengundangnya ke acara pernikahan itu.
Gladis tertunduk sembari memasukkan tasnya kedalam laci meja. Tak pernah sedikitpun ia membayangkan reaksi mereka akan seperti ini terhadapnya.
"Dis, gimana malam pertamanya?" tanya Mimin.
Gladis tersentak dan kian menunduk. Tubuhnya gemetar hingga air matanya menetes.
"Jangan nangis dong! Kan aku cuma nanya!" sela Mimin.
Gladis sungguh tak tahan. Ia bangkit dan keluar dari kelas.
Lima belas menit ia menumpahkan air matanya di koridor sekolah. Pak Pras sudah nampak. Ia buru-buru menghapus air matanya dan kembali ke dalam kelas. Saat ia duduk di mejanya Mimin bangkit dan duduk bertiga bersama Ferlina dan Adinda.
"Stt, Jangan gini dong. Sempit nih," bisik Adinda
"Ogah aku duduk sama dia! Pokoknya aku mau di sini aja!" balas Mimin kekeh.
Pak Pras memulai pelajaran Ekonomi. Ia menerangkan sedikit singkat dan memberikan latihan soal. Mimin, Ferlina dan Adinda kesulitan untuk menjawab. Rasa pentenyesalan karena mencemooh Gladis membuat ketiganya menyesal. Mimin mencoba menengok kebelakang dan ternyata Gladia sudah selesai mengerjakan soal itu. Gladis bangkit dan memberikan hasil jawabnya pada Pak Pras. Guru itu puas dan memberikan nilai A plus.
Jam istirahat:
"Dis, boleh duduk di sini?" tanya Soni menyapa.
Gladis mendongak menatapnya.
"Boleh?" canda Soni.
"Tentu, duduk lah."
Soni lantas duduk di hadapannya, "Kamu hanya minum es kelapa? Kenapa tak makan?"
"Males."
"Jangan dengarkan omongan mereka. Lebih baik menikah kebimbang zina kan?"
Gladis terdiam menatapnya. Ucapan Soni sangat benar.
"Kalau mereka menjauhimu tak usah kamu pedulikan. Kita di sini untuk menuntut ilmu, bukan untuk mencari teman. Sekalipun yeah itu juga penting. Omong-omong kita bisa belajar bareng nggak? Aku ingin kita belajar kelompok. Aku kurang menguasai ekonomi dan biologi."
"Jadi ini yang membuatmu mendekatiku?" telisik Gladis tersenyum tengil.
Soni melotot, "Nggak, Dis. Aku nggak niat begitu, kebetulan aja."
"Boleh, tapi aku izin suamiku."
Soni tersenyum geli mendengarnya, "Ok kalau begitu. Aku boleh minta nomor telponmu?"
"Boleh."
...
Sepulang sekolah:
Rara menyambut kedatangan Gladis di teras depan. Ketika Gladis keluar dari dalam mobil ia medekatinya dan menyodorkan sejumlah uang.
"Ini apa, Kak?" tanya Gladis bingung.
Rara mencoba bersabar dengan panggilan itu. Rasanya ingin sekali ia menampar wajah Gladis, "Belikan Nathan es krim di mini market."
"Baik," ucap Gladis ragu. Ia berjalan kaki keluar dari halaman rumah.
Rara kembali ke dalam rumah dan Lola segera mengejar Gadis. Ajudan wanita itu dengan cepat menyusulnya menggunakan mobil. Ia memepet Gladis dan mempersilahkannya untuk memasuki mobil.
"Nona tak boleh keluar sendiri, ini perintah dari Tuan Romeo."
"Benarkah? Suamiku tak pernah mengatakan itu?"
"Itu perintah untuk saya, Nona. Saya harus menjaga Nona 24 jam."
Gladia terdiam.
Saat ia kembali ke rumah Kania memberitahukan jika Rara sudah menunggunya di taman belakang. Wajah Kania nampak risau.
"Ada apa?" tanya Gladis.
"Sebaiknya kamu laporkan Nyonya Rara pada Tuan Romeo. Dia sudah memperlakukanmu masih sama seperti dulu," bujuknya.
"Aku tahu," balas Gladis.
Gladis segera ke taman belakang dan memberikan es krim itu pada Nathan. Tak di sangka Nathan membuang es krim itu dan menginjaknya, "Kenapa kamu lama sekali!" teriaknya.
Gladis terkejut.
"Buatkan untukku! Aku mau es krim vanilla!"
Gladis tak tahu harus apa. Ia pun menuruti perintah bocah itu. Rara senang dengan sikap sang putra yang menurutnya sangat pantas ia lakukan. Ia tak menyadari jika Kania merekam kejadian itu diam-diam.
"Mau aku bantu?" tanya Kania. Gadis itu kian iba pada Gladis.
"Sedikit lagi. Istirahat lah. Ini jam istirahat mu kan? Aku tak mengapa."
"Jangan begini....status mu sekarang majikan, bukan pembantu lagi."
"Tak mengapa. Aku sudah biasa dengan sikap Nathan. Dia hanya anak kecil yang masih belum mengerti apapun."
"Tapi ini semua salah nenek lampir itu! Dia pasti yang menyuruh putranya melakukan semua ini!"
Gladis mendesah, "Aku sungguh tak mengapa. Sudahlah."
Kania gregetan dan tetap berdiri di sampingnya hingga Gladis usai membuat es krim itu menggunakan nitrogen dan mixer.
Bersambung...