Romeo naik keatas ranjang. Gladis kian ragu. Pria berusia 30 tahun itu bersiap untuk ia pijiti. Beberapa saat Gladis terpaku dan itu membuat Romeo menegurnya, "Cepat," pintanya. Wajah ketakutan Gladis kian nampak, "Kamu tak mau?" selanya.
"Ma-maaf, Tuan. Saya rasa ini tak pantas."
Romeo melongo, ia jadi penasaran, "Aku akan memberi mu seratus dolar yang artinya satu juta. Cepat!" gertaknya. Akan tetapi itu tak membuat Gladis tergiur. Pikirannya masih di selimuti ketakutan. "Apa yang kamu tunggu? Aku akan tambah seratus dolar lagi!"
Tubuh Gladis gemetar. Keringat dingin mulai tampak di pelipisnya, "Maaf, Tuan...."
Romeo lantas bersandar, "Kalau begitu kaki ku saja, cepat."
Gladis tetap tak bergeming. Baginya kaki atau pundak sama saja. Ia tak mau melakukan semua ini karena tak memiliki ikatan dengan Romeo. "Maaf Tuan, lebih baik saya panggil kan Pak Siddik atau Pak Mali. Mereka pasti belum tidur."
Gadis ini memukau Romeo. Ia menatap wajah cantik Gladis dengan detail sambil menggigit bibir bawah nya.
"Apa saya boleh pergi, Tuan?"
"Mm. Pergi lah. Tak usah panggil kan siapapun."
Gladis buru-buru keluar. Ia menyentuh dadanya penuh kelegaan setelah menutup pintu kamar itu.
Baru kali ini Romeo di tolak mentah-mentah oleh seorang gadis, apalagi dia hanya seorang pembantu. Gadis-gadis yang pernah ia temui berbanding terbalik karena merekalah yang menawarkan diri bahkan tanpa bayaran karena ketampanannya dan status sosialnya.
....
06.30 wita:
"Syubidam dam syubidam dam." Gladis berdendang di depan cermin sambil mengikat rambut panjangnya. Ia menoleskan sedikit bedak lalu keluar dari kamar itu dan sarapan pagi bersama semua pembantu di dapur. Kania mendekat dan berbisik di telinganya dengan mulut penuh makanan, "Kamu di gunjingkan," lapornya.
Gladis lantas menatapnya, "Maksudmu?"
"Nanti aku ceritakan," bisiknya lagi.
Para pelayan menatap keduanya curiga dengan wajah masam.
Karena sudah hampir pukul tujuh Gladis buru-buru menenggak minumannya dan berangkat ke sekolah. Sambil berjalan keluar rumah ia memeriksa isi tasnya. Dari arah berlawanan Romeo berjalan cepat sambil memperbaiki jam di lengannya dan tiba-tiba saja keduanya bertabrakan. Gladis jatuh tersungkur. Romeo cukup terkejut menatapnya geram. "Sakit...." ringis gadis lugu itu.
"Bangunlah," pinta Romeo seraya mengulurkan tangannya.
Gladis menatap tangan kekar itu sejenak. Ia ragu untuk menjabatnya karena sungkan.
"Ayo," pinta Romeo sekali lagi.
Gladis lantas menjabat tangannya.
"Terimakasih, Tuan," ucapnya tertunduk. "Saya permisi..."
Romeo menatap kepergiannya hingga ia tak tampak. Harusnya ia marah, namun entah mengapa ia dengan mudah bisa meredam emosinya.
...
Di bawah sengatan matahari di pinggir jalan sejumlah pelajar menunggu kedatangan angkutan umum. Cuaca kian terik setelah beberapa saat. Gladis berharap bisa segera mendapat angkot. Bedak di wajahnya sudah luntur akibat peluhnya.
Dua buah angkot akhirnya terlihat dan bergenti tepat di samping lampu merah. Gladis segera berlari dan menerobos pelajar lain memasuki angkot itu. Rasanya lega sekali. Ia mengibas telapak tangannya mengipasi wajahnya yang berpeluh.
Sesampainya di sekolah dengan setengah berlari ia mengitari halaman sekolahnya. Setelah melihat Ibu Meta dari kejauhan secepat kilat ia masuk kedalam kelas, "Huh....alhamdulillah....." desahnya.
"Dia tambah cantik, bro," gumam Aldi berbisik pada Furkon di meja paling depan melirik Gladis di belakang.
"Apaan sih! Siapa yang suka sama babu!" balasnya emosi menutupi rasa malunya
Teman-temannya yang mendengar itu tertawa renyah. Mila menelan ludah akibat cemburu. Kebenciannya terhadap Gladis mulai tersulut, padahal ia tahu betul jika sang kekasih tak mungkin menyukai babu macam Gladis.
Gladis berusaha menahan emosi nya dan menerima cercaan itu mentah-mentah dengan hati teriris. Manamungkin ia harus membela diri dengan melawan seluruh anak di kelas ini.
Suara ketukan langkah Bu Meta seketika membuat seluruh isi kelas bungkam, guru itu mengucapkan salam dengan seyum ramah, "Selamat pagi anak-anak!" sapa nya memasuki ruang kelas.
"Pagi, Bu!" sahut semua siswa nya.
Furkon lantas menghampirinya dan mengambil hasil ulangan minggu lalu kemudian membagikannya kepada teman-temannya. Tetapi saat menyerahkan lembaran itu pada Gladis ia menjaga jarak dan membuang lembaran itu hingga hampir terjatuh. Dengan cepat Gladis meraihnya. gadis itu menatap nilai A triple plus yang tertera di pojok atas kiri lembaran itu.
"Gladis!" panggil Bu Meta seraya bangkit.
"Iya, Bu?" tengok Gladis.
"Majulah!"
Gladis menghampirinya di depan kelas. Senyum guru Biologi itu nampak begitu teduh. "Karena Gladis mendapat nilai tertinggi terus-menerus di bulan ini maka ia mendapat pin emas!" ucapnya mengumumkan.
Adinda dan Ferlina bertepuk tangan. Hanya mereka sementara yang lain tak berkeinginan sedikitpun.
Ibu Meta mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam saku jas biru nya dan mengambil pin emas berbentuk huruf A dan mentematkannya pada kerah seragam putih Gladis, "Selamat ya."
"Terimakasih Bu Guru." Gladia mencium tangannya dan kembali duduk di bangku nya. Ia amat bangga hingga terus tersenyum.
"Ok class....materi kita lanjurkan ke bab 13. Perhatikan dengan seksama penjelasan Ibu karena kita akan melanjutkan dengan tanya jawab!"
Furkon berbalik hendak mengambil pulpen pada tas nya yang ia gantung pada sandaran kursinya, akan tetapi matanya sekilas melirik Gladis. Rasa tertariknya akibat sering di sindir bersama gadis itu membuat hatinya selalu berkeinginan untuk melihatnya.
"Apa yang terjadi padaku.....? Kenapa mata ini selalu berusaha meliriknya?" batinnya kesal.
Bersambung.....