Lantai itu sudah beberapa kali ia pel. Akan tetapi Nathan terus mondar-mandir dengan sepatu spornya yang penuh dengan lumpur. Pembantu cantik itu tetap bersabar dan terus bolak-balik membersihkannya. Sesekali ia menyeka wajahnya yang berpeluh. "Fuh!" desah nya seraya meregangkan otot pinggangnya. Ia menoleh pada Nathan yang di biarkan mamanya mengacak-acak meja ruang tamu. Batin nya sedikit kesal pada bocah 12 tahun itu.
"Gladis!" panggil Rara, ibunda Nathan.
"Iya, Nyonya!" Gladis segera mengambil ember di sampingnya dan dengan langkah cepat menuju hadapan wanita paruh baya itu, "Saya, Nyonya?"
"Hari ini adikku pulang dari America. Bereskan kamar utama untuknya dan siapkan makan malam dan taruh di meja kerja nya."
"Sekarang, Nyonya?" tanya Gladis ragu.
"Tentu saja!"
Sekonyong-konyong Gladis menuruti perintahnya. Ia menaruh ember dan alat pel itu di dalam kamar mandi umum yang terletak di dalam area dapur.
"Wah! Mewah sekali kamar ini!" ia takjub setelah memasuki kamar yang akan ia siapkan untuk adik dari majikan nya itu. "Aku akan menyulap mu dengan satu kedipan mata!" serunya bersemangat.
....
21.00 wita bandara international lombok:
Romeo melepaskan jaket kulitnya dan memberikannya kepada sopir yang menjemputnya.
Dalam perjalanan menuju kediamannya Romeo menyempatkan memeriksa pekerjaannya. Tak ada waktu untuknya beristirahat. Mulai besok ia memimpin perusahaan parfum yang akan mulai ia rintis. Ia menengok keluar jendela mobil. Jalanan kota kecil ini menyibak kenangan masa kecilnya bersama Rara dan almarhum kedua orangtuanya yang telah lama wafat.
Masa kecil yang sangat indah di penuhi dengan kenangan-kenangan manis.
Perjalanan masih panjang. Ia memilih memejamkan mata sejenak.
1 jam kemudian....
"Tuan. Tuan Besar kita sudah sampai," tegur Hanif mencoba membangunkannya.
Romeo mendesah seraya mengusap matanya. Kini ia sudah berada di teras depan.
Hanif turun dari mobil dan membukakannya pintu. Kesadaran Romeo belum begitu pulih. Gladis yang sempat tertidur di sofa ruang tamu seketika terbangun. Ia menyeka air liurnya yang menetes dan buru-buru menengok keluar rumah, "Tuan Besar," sapa nya mendekat.
Romeo mengernyitkan alisnya. Gladis tak menyadari penampilannya yang semrawut dan kucel. Tetapi itu tak memudarkan kecantikannya di mata Romeo. Ia berjalan masuk di ikuti gadis itu.
"Kamar Tuan sudah siap. Makan malam Tuan juga sudah saya sediakan di dalam kamar. Apa ada lagi yang Tuan butuhkan?"
"Kau bisa memijit?" tanyanya sembari mengurut tengkuk nya yang terasa sangat pegal."
Gladis ragu untuk menjawab, "Bisa....sedikit."
"Pijiti tengkuk ku sekejab."
Gladis melotot. Ia ingin menolak tetapi resiko nya sudah pasti Rara akan memecatnya. Jika itu sampai terjadi artinya ia harus hengkang dari rumah ini dan kembali ke jalanan.
"Bisa, Tuan," angguk nya terpaksa.
Bersambung....