Masih dengan keadaan Arya membopong Bagas, ia membuka pintu ketika sudah berada di depan pintu toilet sekolah. Kemudian Arya masuk kedalam setelah pintu terbuka lebar. Saat sudah berada di dalamnya, Arya menutup kembali pintu toilet itu.
Bertepatan dengan pintu yang di tutup oleh Arya, tiba-tiba saja, jantung Bagas berdetak lebih kencang, dan aliran darahnya mengalir sangat begitu deras. Napasnyapun tidak berarturan, dan pikirannya melayang entah kemana. Hanya berdua di dalam toilet yang sempit dan sangat sepi, juga membuat bagas merasa sangat gugup.
Secara perlahan Arya menurunkan Bagas dari gendongannya, "ati-ati ya dek"
"Aaaauuuu....!"
Bagas menjerit kesekitan saat telapak kakinya sudah menginjak lantai. Sehingga mau tidak mau Arya harus membopongnya kembali.
"Masih sakit ya dek?" Tanya Arya, dan wajahnya terlihat sangat cemas.
"Sakit banget mas" Bagas menggigit bibir bawah, dan wajahnya berkerut menahan sakit.
"Coba lagi ya..Pelan-pelan" ucap Arya, sambil menurunkan kembali kaki Bagas ke lantai.
"Aduh.. duh duh... aduuh..." dengan kuat tangan Bagas memeluk pundak Arya dan menyumbunyikan wajahnya di leher Arya. Bagas benar-benar merasakan sakit saat telapak kakinya kembali menyentuh lantai. "Nggak bisa mas, aku nggak bisa berdiri" Bagas menggeleng-gelengkan kepalanya yang masih bersembunyi di leher Arya.
Arya kembali membopong Bagas, wajahnya terlihat sangat bingung, "terus gimana dek?"
"Nggak tahu mas sakit baget" keluh Bagas.
Kemudian Arya terdiam, terlihat ia sedang memikirkan sesuatu. Tiba-tiba saja matanya melihat kloset duduk yang ada di dalam toilet itu.
"Kalo duduk kira-kira bisa nggak dek?"
"Duduk di mana mas?" Tanya Bagas bingung, ia masih menahan sakit.
"Itu di situ" jawab Arya sambil menunjuk kloset menggunakan wajahnya, karena kedua tangan masih ia gunakan untuk membopong Bagas.
Secara reflek Bagas juga mengikuti pandangan Arya, "oh.. iya coba deh mas"
Secara perlahan dan penuh dengan perasaan Arya membimbing Bagas untuk duduk di atas kloset yang sudah di tutup.
"Aduh mas... pelan-pelan" pinta Bagas, ketika bokongnya sudah menempel di kloset itu.
"Iyaa..." jawab Arya dengan sabarnya. "Gimana? Sakit nggak?" Arya belum melepaskan kedua tangannya di tubuh Bagas, ia masih merasa khawatir jika Bagas akan kesakitan.
"Ughh.." Bagas membuang napas lembut, "enggak mas enggak sakit kalo buat duduk"
"Yakin nih?" Arya memastikan kembali sebelum ia melepaskan Bagas untuk duduk sendiri. "Aku lepasin ya?"
"Iya mas ... nggak sakit"
Setelah benar-benar yakin jika Bagas tidak merasakan sakit saat duduk, secara perlahan Arya melepaskan tubuh Bagas dari gendongannya.
"Huuuuuft.....!" Arya menghela napas legah, sambil berkacak pinggang menatap Bagas yang sedang duduk sambil memegangi kakinya. "Gimana dek? Enak?"
Bagas harus mendongakan kepala untuk menatap wajah Arya yang sedang berdiri. "Hem.. apanya yang enak mas?" Tanya Bagas sambil mengkerutkan wajahnya.
"Itu maksud aku duduknya, nyaman apa enggak?"
"Oh... iya mas enak.. hehe" jawab Bagas sambil tersenyum nyengir meski masih merasakan sakit di kakinya.
"Syukurlah kalo gitu" Arya benar-benar merasa legah.
"Maaf ya mas, aku jadi ngerpotin mas Arya" ucap Bagas tenpa melihat wajah Arya. Ia sedang merunduk melihat kakinya sambil memijit dengan pelan.
"Jangan dipikirin, sudah seharusnya kita saling tolong menolong"
Kata-kata Arya membuat Bagas mendongakan wajahnya untuk menatap wajah Arya. Senyum simpul terbit dari bibirnya yang manis. "Mas Arya itu baik banget"
Arya tersenyum nyengir mendengar pujian Bagas, "biasa aja dek".
Beberapa saat keduanya saling bersitatap, meski Arya merasa biasa saja, tapi Bagas tiba-tiba kembali merasakan gugup. Bagas kembali merunduk melihat kakikinya karena tidak ingin ketahuan kalo ia sedang gugup.
"Oia dek kamu bawa ganti enggak?" Tanya Arya saat ia melihat seragam putih Bagas yang penuh dengan kotoran.
"Enggak mas" jawab Bagas.
Arya kembali terdiam dan berpikir. Kemudian ia melepaskan pakaiannya, sehingga tubuh kekearnya dapat terlihat dengan jelas.
Jantung Bagas kembali berdetak kencang saat melihat ternyata Arya memiliki tubuh yang berotot dan perut yang kotak-kotak. Matanya tidak berkedip, menatap tubuh gagah itu. "Mas Arya mau ngapain?" Tanya Bagas gugup sambil menelan salivahnya.
"Ini mau aku bersihkan bajunya, nanti biar bisa dipakai dek Bagas" jawab Arya. kemudian ia jongkok dan memutar keran untuk membersih kan beberapa noda di bajunya.
"Aduh.. jadi tambah ngerepotin mas"
"Jangan ngomong gitu dek" ucap Arya sambil membersihkan pakaiannya.
"Mas Arya rajin fitnes ya?"
Arya tersenyum mendengar pertannyaan Bagas. "Kenapa emangnya dek?" Jawab Arya tanpa melihat yang bertannya.
"Itu badannya kok bisa bagus gitu"
Masih tetap membersihkan baju Arya menanggapi Bagas tanpa melihat ke arahnya. "Oh... mungkin karena dari dulu pekerjaanku berat dek, yah maklumlah orang kampung, kerja apa aja, biar keras yang penting halal"
Bagas tersenyum simpul, dan mengangguk-anggukan kepalanya. Matanya masih tidak ingin berpaling dari tubuh gagah Arya. Meski sebenarnya otaknya berusaha dengan keras untuk memungkiri, tapi tetap saja hatinya tidak bisa berbohong. Apalagi yang dari tadi dipandangnya tidak melihat jika sedang diperhatikan.
Karena sedikitpun Arya tidak merasa, jika ada tatapan yang berbeda di mata Bagas saat sedang memandangnya. Arya tidak melihat dan tidak berpikir sama sekali, jika pria yang sedang di dekatnya itu mempunyai hasrat terpandam pada dirinya.
Setelah selesai membersihakan bajunya, Arya tersenyum meringis. Kemudian ia berdiri dan menyerahkan baju miliknya untuk Bagas. "Lumayan bersih dek, tapi ya itu maaf kalo bajunya jelek"
"Mas Arya nggak pake baju?" Ucap Bagas setelah ia menerima baju Arya.
"Udah nggak papa" jawab Arya.
"Makasih ya mas"
"Iya... santai aja dek, buruan dibuka seragamnya" perintah Arya yang langsung dituruti oleh Bagas. Sementara Bagas mengganti bajunya, Arya memberishkan tubuhnya dari kotoran-kotoran selokan.
Setelah selesai mengganti baju, kemudian Bagas dibantu oleh Arya membersihkan tubuh yang kotornya lebih dari Arya.
Perlakukan Arya terhadap Bagas, membuat Bagas menjadi semakin simpati. Secara fisik Bagas sudah menyukai dengan apa yang pada diri Arya. Dan kini ia semakin jatuh hati setelah mengetahui ternyata Arya memiliki sifat yang dewasa, baik dan perhatian. Tiba-tiba hati Bagas menjadi merasa gelisah, ia takut jika dirinya akan benar-benar jatuh cinta pada Arya.
Karena bagi Bagas, mencintai pria normal itu ibarat mendekatkan diri dengan api unggun. Awalnya hangat, dan menyenangkan, tapi jika terlalau lama dan mencoba untuk semakin dekat, akan terasa panas, membakar, dan sangat menyiksa.
Bagas terdiam dan ekspresi wajahnya berubah datar.
====
Beberapa saat kemudian, Bagas yang sudah bisa berjalan meski harus dipapah oleh Arya, sudah sampai di depan pintu UKS.
Ibu Ratna yang sudah menunggu dari tadi akhirnya bisa bernapas dengan legah. "Udah bisa jalan Gas?" Tanya bu Ratna saat ia sudah di depan pintu menyambut kedatangan anaknya yang masih di rangkul oleh Arya. Meski bu Ratna bertanya pada anaknya, tapi matanya melirik ke arah pria gagah yang tidak memakai baju, Arya.
Bagas yang melihat gelagat ibunya menarik ujung bibirnya. Wajahnya terlihat sangat malas. "Belum, masih sakit, jalan nggak bisa" jawab Bagas ketus.
"Ya udah kita ke dokter aja, hari ini kamu libur, nanti biar ibu ijin sama sekolah"
"Nggak usah ke dokter bu" sergah Bagas.
"Lho kenapa? Kamu harus berobat" perintah ibu Ratna.
"Aku kekilir bu, butuh tukang urut, bukan dokter" jelas Bagas. "Ibunya mas Arya bisa mijit, aku mau dibawah kerumahnya"
Ibu Ratna menoleh pada Arya, "beneran mas?" Tanyanya.
"Iya bu, tapi kalo menurut ibu.. Bagas harus dibawa ke dokter, mungkin itu jauh lebih baik"
"Oh enggak" serga ibu Ratna. "Bener kata Bagas, dia kekiklir, butuh tukang pijit, bukan dokter"
Mendengar kata-kata ibunya, Bagas memutar bola matanya malas.
"Kalo gitu mas aku minta tolong Bagas diantar ke mobil, tunggu aku di sana" ucap bu Ratna sambil memberikan kunci mobil pada Bagas seraya berkata "ini kunci mobilnya, tunggu ibu ya, biar ibu yang ijinin kamu sama bapak kepala sekolah" kemudian ibu Ratna menoleh kembali pada Arya, "mas Arya biar cepet ikut kita aja naik mobil, dagangannya titipin sama satpam, nanti biar aku yang urus semuanya"
Wanita cantik yang sudah berusia lanjut itu, terlihat sangat bersemangat. Tetapi Bagas terlihat semakin malas melihat tingkah ibunya.
"Gimana mas Arya? Nggak papa kan?" Ibu Ratna meminta kesediaan Arya.
"Yaudah kalo gitu, aku ngikut aja"
Ibu Ratna tersenyum simpul, "yaudah aku ke kantor kepala sekoah dulu"
"Iya bu" jawab Arya takjim.
Kemudian Ibu Ratna berjalan cepat menuju kantor kepala sekolah, sedangkan Arya berjalan merangkul Bagas menuju mobil ibu Ratna.
====
Dengan petunjuk arah yang diberikan oleh Arya, akhirnya mobil yang dikendarai ibu Ratna sudah sampai di kediaman Arya.
"Yang mana rumahnya mas Arya?" Tanya ibu Ratna setelah ia menghentikan mobilnya di pinggir jalan.
"Bukan rumah bu, gubuk" jawab Arya kemudian ia menunjukan rumahnya.
Ibu Ratna dan Bagas tersenyum simpul. Ada perasaan prihatin, saat mereka melihat rumah Arya yang hanya terbuat dari bilik bambu.
"Mari bu, dek Bagas"
"Oh iya" ucap bu Ratna. Kemudian ia membuka pintu mobil dan turun keluar, "mas Arya minta tolong bantu Bagas turun ya"
"Pasti bu"
Beberapa saat kemudian, terlihat Arya berjalan dengan merangkul Bagas, dan ada ibu Ratna yang juga memantu memegangi Bagas.
"Assalamualaikum.." Arya mengucap salam sambil mengetuk pintu rumahnya.
Suara salam yang lumayan keras, dan karena ukuran rumah Arya yang kecil. Sehingga hanya sekali salam bisa langsung didengar oleh ibu Sumi yang kebetulan sedang berada di rumah.
"Walaikumsalam..." suara ibu Sumi terdengar dari dalam sana.
Beberapa saat kemudian, pintu dibuka oleh ibu Sumi, "lho.. le, kok tumben jam segini kamu sudah pulang?" Tanya Bu Sumi setelah pintu ia buka, "kamu kok ndak pake baju?"
"Nanti tak jelasin bu, ini ada tamu mau minta diurut kakinya" jawab Arya.
"Eh ya ampun nyeweun sewu .." ibu Sumi tersipu karena tamunya dicuekin. Kemudian ia merapikan kerudung yang sebenarnya sudah rapih, "monggo-monggo masuk .." dengan sopan dan sangat ramah, wanita yang sudah kerpiut wajahnya itu mempersilahkan tamunya untuk masuk.
Ibu Ratna dan Bagas menganggukan kepalanya dan tersenyum simpul.
"Terimakasih bu.."
Ucap Bagas dan ibunya secara bersamaan.
"Jatuh di mana toh cah bagus?" Tanya bu Sumi, setelah mereka sudah duduk di ruang tamu Arya yang sangat sederhana.
Sementara Arya sedang berada di dalam kamar, untuk memakai baju.
"Jatuh di selokan bu" jawab Bagas.
"Astaghfirullahhaladzim, kok bisa? Kasihan sekali"
"Udah bu, jangan ditanya-tanya lagi, kasihan dek Bagas, langsung diurut aja" ucap Arya setelah keluar kamar dengan menggendong Adnan.
Bagas dan ibu Ratna sontak menoleh pada Arya yang sedang berjalan mendekati mereka. Pandangan mereka fokus pada anak kecil yang sedang digendong Arya.
Merasa penasaran, ibu Ratna kemudian menoleh pada ibu Sumi yang sedang duduk di samping Bagas. "Mas Arya masih punya adek kecil?"
Sebenarnya ibu Ratna merasa ragu dengan pertanyaanya. Melihat usia ibu Sumi yang tidak mungkin lagi bisa produktive untuk hamil.
Ibu Sumi tertawa kecil sambil menutup mulutnya menggunakan jilbab. Ia merasa geli mendengar pertanyaan dari ibu Ratna. "Njenengan ini ada-ada saja, memangnya saya masih bisa hamil, wong bapaknya Arya juga sudah meninggal lama kok bu"
Jawaban ibu Sumi semakin membuat Bagas dan ibunya merasa bingung, "lha adek kecil ini siapa?" Kali ini Bagas yang bertanya.
"Ini anak saya dek Bagas, namanya Adnan" jawab Arya yang sudsh duduk dengan mamangku Adnan, tidak jauh dari Bagas.
Di mata ibu Ratna dan Bagas, Adnan adalah sosok anak yang sangat lucu dan menggemaskan. Tapi entah kenapa saat mendengar jika Adnan adalah anak Arya, ibu dan anak itu merasa sedikit kecewa. Terlebih dengan ibu Ratna, rasanya ia benar-benar ingin keluar dari rumah Arya.
"Oh .. anaknya mas Arya" Bagas berusaha menyembunyikan kekecewaanya. Ia meraih tangan mungil Adnan, kemudian tangan satunya mencubit kecil pipi gemil Adnan. "Lucunya, ganteng ya anaknya mas Arya"
"Makasih om?" Ucap Arya, seolah Adnan yang mengatakannya.
Adnan hanya diam saja, ia terlihat lesu karena baru bangun tidur.
"Ibunya kemana?" Bagas memberanikan diri untuk bertanya demikian.
"Ibunya di luar negri, kawin lagi sama majikannya" serga ibu Sumi.
"Ibu...!" Arya menatap tajam pada ibunya.
Ibu Sumi sontak, menutup mulutnya sendiri, ia sendiri terkejut dengan yang baru saja ia sampaikan. Entahlah, mungkin karen bu Sumi sudah habi kesabaranya, sudah beberapa tahun tidak mendengar kabar dari mantunya. Kemudian ia semakin kecewa karena berita mengejutkan tentang istri Arya yang menikah lagi. Oleh sebab itu, tanpa sadar kalimat itu nyelonong keluar dari mulutnya.
Bagas dan bu Ratna sangat terkejut saat mendengarnya.
"Maksudnya?" Ibu Ratna menjadi sangat penasaran.
"Istriku jadi TKI, kebetulan belum habis masa kontraknya bu" Arya terpaksa berbohong, ia tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya. Selain itu Arya sangat tidak ingin membahasnya.
Tapi sayang sekali, Arya orang yang jujur, dan ia tidak bisa berbohong. Dari tatapan mata Arya, Bagas dan ibu Ratna bisa tahu jika ada yang disembunyikan. Namun mereka merasa tidak punya hak untuk mengorek lebih dalam. Oleh sebab itu, Bagas dan ibu Ratna hanya menganggukan kepalanya saja.
Sejujurnya, Bagas merasa sangat perihatin mendengar kata-kata ibu Sumi. Ia sangat kasihan melihat wajah Arya, tapi entahlah, Ia menjadi merasa punya peluang untuk bisa dekat dengan api unggun itu.
Terlebih dengan Ibu Ratna, kata-kata Ibu Sumi ibarat angin segar, ia kembali bersemangat. Ibu Ratna berharap, jika berita itu memang benar adanya.
Semuanya terdiam, dan keadaan mendadak canggung.
"Gimana? Udah siap dipijit dek Bagas?" Sebagai tuan rumah, Arya mencoba menghangatkan kembali suasana. Ia tidak ingin tamu yang sedang berkunjung di rumahnya menjadi tidak enak hati dan serba-serba-salah.
"Oh iya, boleh" ucap Bagas.
"Ya ampun maaf sampe lupa" ibu Sumi berdiri dari duduknya, "ayo dek Bagas masuk ke kamar"
"Ibu tolong gendongin Adnan, biar aku bantu dek Bagas jalan" ucap Arya pada ibunya.
"Adnan biar aku aja yang gedong" serga ibu Ratna.
"Jangan bu, nanti bajunya ibu rusak" Arya merasa sungkan.
"Kamu itu ngomong apa sih mas? Akutu suka anak kecil lho, lagian kamu kan mau bantu anaku" Ibu Ratna berjalan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Adnan. Seperti di hipnotis, Adanan mau saja nemplok di gendongan ibu Ratna. "Lagian tadi kamu juga gendong anaku, sekarang gantian aku gendong anakmu" ibu Ratna mecium pipi mulus Adnan.
Sedangkan Arya hanya tersenyum nyengir mendengar kalimat ibu Ratna.
Berbeda dengan Bagas, ia terlihat kesal melihat tingkah ibunya. "Apa-apaan ibu ini, biasanya paling sebel sama anak kecil" Bagas menggrutu di hatinya.
Setelah itu, Arya mengalungkan tangan Bagas di pundaknya. Ia membimbing Bagas berjalan menuju kamar, dan dibantu juga oleh ibu Sumi.
Beberapa saat kemudian, ibu Sumi sudah selesai memijit Bagas. Semuanya terlihat kembali duduk di ruang tamu. Sedangkan Adanan masih nyaman berada dipangkuan ibu Ratna.
"Dek Bagas ndak bisa kalo cuma sekali di urut, kalo bisa harus sering-sering ke sini, sampai bener-bener kakinya bisa jalan, besok pagi-pagi dek Bagas harus datang lagi kesini, biar ibu benerin lagi kakinya yang masih keseleo" ibu Sumi menjelaskan, karena kaki Bagas lumayan parah akbiat kekilir. Selain itu ada urat yang pindah posisi di bagian pinggang Bagas.
"Tapi bisa sembuh kan bu?" Tanya Bagas, ia merasa khawatir.
"Asal sering ke sini, pasti cepet sembuhnya," jawab Ibu Sumi. "Tapi kalo boleh tak kasih saran, kalo enggak keberatan dek Bagas tinggal sementara di sini sampai ibu selesai ngerjainya, kasian juga kalo harus bolak-balik, masih susah jalannya, nanti tambah lama lagi sembuhnya"
"Maksdunya Bu?" Tanya ibu Ratna.
"Jadi gini, kalo dek Bagas tinggal di sini, saya jadi lebih enak ngontrolnya bu, tapi kalo ndak keberatan, soalnya ya rumahnya ya begini ini, takutnya enggak kerasan" jawab Ibu Sumi merendah.
"Jangan bilang gitu bu, rumah kami juga biasa aja, tapi yang penting kan nyaman" serga ibu Ratna dengan lembut. Kemudian ibu Ratna menoleh pada Bagas, "gimana Gas? Kamu mau tinggal sementara di sini sampai sembuh? Kalo menurut ibu sih nggak papa Gas, biar cepet pulih kata ibunya mas Arya. Nanti ibu tengokin kamu tiap hari, jangan khawtir" ibu Ratna sangat berharap anaknya mau menerima tawaran ibu Sumi.
"Kalo mau, maulai nanti malam dek Bagas boboknya sama mas Arya, soalnya kamar di sini cuma ada dua dek" Ucap Ibu Sumi. "Gimana? Mau apa tidak?"
Bagas diam dan berpikir, kemudian ia melihat Arya yang sedang tersenyum nyengir padanya. Sejujurnya ia sangat senang sekali, tapi mana mungkin ia loncat-loncat di depan mereka, walaupun sebenarnya sangat ingin sekali ia lakukan. Ia benar-banar begitu gembira mendengar tawaran ibu Sumi.
"Jangan dipaksa kalo keberatan dek" ucap Arya yang paham dengan keadaan Bagas. Biasa, menurut Arya orang kaya seperti Bagas tidak mungkin mau tinggal di rumah gubuk miliknya.
"Enggak kok mas" jawab Bagas, kemudian ia menoleh pada ibunya, "ya udah bu, aku mau tinggal di sini"
Ibu Ratna sangat legah mendengar keputusan Bagas. "Ya udah mulai nantan malam, kamu tidur sama mas Arya, jangan banyak ngerepotin"
Bagas menganggukan kepalanya, sementara Arya hanya tersenyum nyengir.