Malam yang menawan. Ballroom Hotel Miyami Kurikawa di tengah Kota Tokyo penuh keramaian menyilaukan. Ratusan tamu undangan mengenakan pakaian terbaik dan para wartawan mengerumuni spot tertentu untuk melaksanakan wawancara.
Karpet merah membentang panjang mulai dari pintu masuk hingga ruangan terdalamnya. Di sana ada begitu banyak tokoh publik yang menjadi bintang tamu istimewa. Mereka adalah aktor, aktris, olahragawan, desainer, fotografer, model, youtuber, editor majalah, food enthusiast, blogger, komikus, novelis, dan masih banyak lagi. Campur aduk memang. Namun mereka adalah selebrita di bidang masing-masing.
Satu yang terpopuler adalah Renji Isamu. Seorang Sensei Novelis BL dan senior di perusahaan penerbitan Mayumi yang mendapatkan penghargaan bergengsi Kikukawa malam ini.
Wanita-wanita cantik yang mengerumuninya bahkan lebih menyemut daripada para wartawan. Mereka mendesak-desak, dengan aroma parfum berbagai merek dan warna lipstik keluaran terbaru hanya karena ingin mencari perhatiannya. Di tangan, masing-masing membawa novel setebal 1050 halaman yang distempeli best seller dengan tingkat penjualan 35 kali cetak ulang sepanjang tahun 2018.
Sungguh luar biasa memang. Apalagi dengan tampang rupawan itu. Mata emasnya yang berkilat di bawah lampu bahkan lebih menawan daripada para aktor di panggung sana.
Renji Isamu yang telah turun panggung setelah menerima sebuah trofi yang berkilau. Pesonanya menguar hebat layaknya bunga mawar merah diserbu lebah di jauh sana. Indah, namun dia tampak tidak nyaman. Senyumnya palsu kala mencoret-coret semua novel itu dengan tanda tangan. Dan setiap wartawan bertanya sesuatu, dia menjawab sekenanya. Acuh, terkesan tak peduli, namun semua orang tetap saja mengagumi.
Haru, sang sahabat paling setia sekaligus manajer pribadinya dengan sopan meminta mereka untuk menjauh. Mereka pun protes, namun mau bagaimana jika rundown acara telah berganti.
Renji Isamu harus pindah panel menuju sesi perayaan khusus. Di hotel lain, sebuah pesta telah menanti dan dibuat oleh perusahaan penerbit yang menaunginya. Semua novelis di Jepang pasti iri saat ini. Walau mereka hanya menonton acara itu lewat televisi atau streaming di sosial media. Liur mereka mungkin menetes melihat pria itu berjalan keluar di karpet merah. Dengan para wartawan tetap mengejar, fans yang terus menjerit, bodyguard yang getol memisahkan gerombolan itu dan Haru yang bersikukuh menggandengnya masuk limusin.
Mobil mewah berbadan panjang itu telah menanti. Pintunya terbuka satu dan Renji masuk dengan satu dorongan gugup dari Haru. Saat akan ditutup, para fans terlihat ingin meraihnya seperti mencakar.
Begitu roda berjalan, Haru menghela napas panjang. "Ya Tuhan... hari ini sungguh melelahkan," keluhnya. Dan saat melirik, Renji justru hanya diam. Dia melihat keluar jendela dengan mata kosong. Trofi berkilau di tangannya bahkan tampak tak lebih berharga daripada seonggok rongsokan. "Ren, apa kau baik-baik saja?"
Pertanyaan bodoh.
Haru tahu itu.
Renji Isamu. Pria itu. Yang diinginkan sejuta umat, namun hatinya hanya menginginkan satu wanita.
Jean Liew.
Mereka berdua telah berhubungan selama 7 tahun ini. Tepatnya sejak awal masuk kuliah strata dua. Sayang tiga hari lalu wanita itu mencampakkannya. Dengan satu lemparan keras, cicin di jarinya melayang jatuh ke dasar sungai. Liontin indah di lehernya pun ditarik kasar. Lalu diinjak di bawah kaki.
"Kau sungguh-sungguh memuakkan!" teriak Jean sebelum pergi.
Renji sudah lupa bagaimana asal-asalnya. Yang pasti semua terasa seperti mimpi. Mereka yang telah bertahan selama itu justru memudar pada akhirnya.
Haru hanya bisa diam melihat semua itu.
"Ren, ayo kita pulang..." kata Haru. Namun Renji seperti buta dan tuli. Pria itu hanya diam dan memungut liontin putus yang tersisa. Memandangnya di telapak tangan tanpa berkedip, bahkan hingga Haru memeluknya. "Aku tahu kau terluka. Tapi bertahan, oke? Lusa ada penghargaan besar untukmu."
Renji pun masih diam kala digandeng untuk pulang. Pria itu mengikuti langkahnya ke mobil dan tidak bicara sedikit pun sampai penthouse-nya.
Di depan pintu, Haru pun menghela napas lagi. Dia meraba sedikit saku celana Renji demi menemukan dompet tebalnya. Di dalam sana ada beberapa yen saja namun penuh oleh kartu.
Haru pun mengambil kartu kunci dan menggesek pintu agar terbuka. "Ayo, masuk," katanya. "Kau istirahat saja malam ini. Akan kubuatkan teh hangat sebelum pergi."
Renji didudukkan di pinggir ranjang.
Haru berharap pria itu langsung berebah mengingat malam selarut ini, sayang nihil. Dia tetap di posisi yang sama mulai ditinggal ke dapur hingga Haru kembali dengan teh hangat.
"Ya, Tuhan... benar-benar..."
Haru pun meletakkan teh itu diatas nakas. Dia berjongkok di depan Renji dan membuka alas kakinya satu per satu. Pertama sepatu, kedua kaus kaki, dan ketiga syalnya yang penuh serpihan salju.
"Kau tidak mau tidur?"
Haru mendongak, Renji mulai menatapnya. "Ya."
Haru pun tersenyum lega. "Kalau begitu minum tehmu dulu, oke?" katanya. "Dan habiskan—"
"Tidur denganmu."
"Apa?"
Renji diam. Tidak menjawab, dan tidak mencoba menjelaskan.
Sejujurnya, Haru sudah paham. Meskipun begitu dia tak habis pikir. Bagaimana bisa sahabatnya ini meminta seks disaat-saat yang tak kondusif. Bukankah hatinya sedang hancur? Oh... benar juga. Dia mungkin hanya butuh pelampiasan.
"Ren, apa kau yakin?"
Renji tetap saja diam. Namun Haru tahu, itu lebih dari menjelaskan.
"Ren, dengar," Haru menggenggam kedua tangan itu. Dingin, beku, dan terasa kosong bagaikan angin. "Jean mungkin hanya sedang agak lelah. Kau lihat matanya tadi? Dia pasti memiliki masalah saat ini. Dan kalau memang buntu nanti, pasti datang lagi kepadamu."
"Tidak."
Kali ini Haru yang terdiam.
"Sekarang dia memang sangat lelah,"Â kata Renji. Perlahan dia mendongak ke langit-langit kamar. "Apa aku terlalu mengabaikannya selama ini."
"Hei... bukan begitu..." kata Haru.
"Atau ternyata dia tidak bisa menerimaku yang begini."
Begini.
Haru tertegun mendengar satu kata itu. Sebab artinya begitu dalam.
Renji memang besar dengan berbagai kesuksesannya. Dia brilian. Namun di balik itu, hidupnya lumayan berantakan. Masa mudanya diliputi keabsurdan. Dia mungkin jenius di bidangnya, namun nol persen dalam sosial. Selama sekolah dia sering dijauhi teman sekelas dan hanya Haru yang entah kenapa bisa bertahan di sisinya.
Kemudian... kemana pun... mereka seolah menjadi satu. Bermain seks sejak mulai masuk senior, tetap masuk jurusan sama sampai Jean datang dengan pola hubungan baru yang tercipta.
Jean tidak pernah mempermasalahkannya selama ini. Mungkin karena dia berasal dari lingkungan yang lebih parah dari itu. Jadi, harusnya tidak mungkin alasannya hal tersebut. Dia bahkan pernah melihat Renji bangun dari tidur dengan berbagai teman seks sejak awal. Begitu pun Renji kepadanya. Pria itu tidak menaruh cemburu sedikit pun pada teman-teman seksnya. Semua baik-baik saja hingga pertunangan mereka terjadi.
Seminggu kemudian, Jean tiba-tiba pamit ke Paris untuk mengikuti program Paris Next Top Model. Namun, entah bagaimana awalnya... hubungan mereka mulai renggang tak lama kemudian. Puncaknya tadi malam. Dan kini Renji layaknya kapal tanpa suar. Dia mungkin menyetir kemudi namun hilang arah ditelan badai.
"Tidak. Pasti tidak," kata Haru. Berusaha meyakinkan.
Renji justru menaruh liontin itu di tangannnya. "Simpankan untukku," katanya. "Di lemari. Jangan sampai rusaknya makin parah di tanganku."
"Oke," kata Haru dengan senyuman tipis. "Kalau begitu sebentar..."
Haru pun menuju ke ruang ganti Renji dan menyimpankan liontin itu. Tak ada keraguan, Sebab dia memang hapal bagian manapun tempat ini. Namun, saat kembali... Renji sudah tidak ada.
Dari balkon, Haru melihat pria itu menyeret kaki menuju mobil dan melaju dengan kecepatan tinggi tanpa tahu tujuannya. Haru pun menelpon, nomornya malah diblokir sementara. Haru menyusul, namun Renji tak ada dimana pun biasa berkunjung.
Bagusnya, pada pagi buta esok hari... Renji berjalan pelan di koridor. Pria itu terhuyung-huyung karena mabuk. Dan Haru yang menunggui di depan pintu penthouse-nya pun segera menghampiri. Berlari. "Renji!" teriaknya cemas. Dia yakin Renji pasti tersungkur seandainya telat mendekat sedetik saja.
"Air..." kata Renji.
Tak mau menghabiskan waktu, Haru pun menyeretnya masuk dan menidurkannya dengan baik.
Setelah itu, Renji bahkan tidak bangun tiga hari sampai hari H penghargaan. Dia seperti mayat hidup. Dan saat baru membuka mata... dia justru muntah hanya karena mencium aroma sup.
"Astaga... aku bisa gila karena ini," keluh Haru. Dia memeluk Renji yang sepucat ikan mati. Di tepi ranjang itu... selain mereka ada sebuah berkas pidato yang disiapkan. Mulanya rapi, namun kini berserakan.
Pesan dari perusahaan, harusnya Renji sudah menghapalkannya pagi itu untuk sambutan dalam pesta. Tapi, ya sudahlah... Kenyataannya masih bagus mereka bisa berangkat di kedua jadwal besar itu malam ini.
Saat turun dari limusin, lagi-lagi Renji mendapat sambutan hangat.
"Ren-Ren, Nii-san!" seru Yuki. Dia adalah novelis BL baru yang sukses besar dalam debutnya. Wanita berparas meriah ini langsung melompat dari mobil demi menabrak peluk Renji di depan umum.
"HEI!" jerit Haru melarang.
Ckrek! Ckrek! Ckrek!
Namun kamera wartawan sudah menangkap momen itu secepat kilat. Awalnya memang heboh, namun mereka justru mengerutkan kening begitu melihat hasil foto. Sebab dari puluhan yang dijepret, tak satu pun yang menampilkan Renji antusias.
Tatapan Renji kosong. Pria itu membeku di tempat layaknya patung hiasan.
Seketika, Yuki pun salah tingkah. "Ahaha... lihat? Renji-niisan yang luar biasa sudah datang!" serunya ke salah satu kamera. Lalu dia menggandeng Renji masuk ke dalam. "Ayo! Kita sambut dia sama-sama, Teman-teman!"
Sebenarnya, semua itu tidak salah. Adegan tabrak peluk yang Yuki berikan memang ada dalam berkas. Sebelum memberi sambutan, harusnya Renji pun akting drama sepertinya. Sebab mereka adalah novelis andalan perusahaan tahun ini. Karena itu, kebersamaan mereka memang diatur di depan media. Demi pamor, dan masih banyak hal lainnya. Sayang, mungkin malam ini almanak Yuki sedang buruk. Sebab Renji benar-benar mengabaikannya tanpa peduli kesan.
"Terima kasih, semuanya," kata Renji. Di tengah pesta, di sesi sambutan. Tanpa senyuman dia memberi ojigi dengan sopan. "Silahkan nikmati pesta ini hingga selesai."
Renji mendapat aplaus lagi meski seorang agen perusahaan ngomel-ngomel di belakang. "APA-APAAN HOMO ITU!" cercanya seenak hati. "DIA BAHKAN TIDAK MEMBACA SKRIP-KU SEDIKIT PUN!"
"Sudah-sudah... tidak masalah," kata lelaki di sampingnya. Dia adalah produser ternama yang hendak menggodok karya Renji menjadi sebuah film kolosal. "Mungkin sekarang dia memang ada masalah. Toh tanpa skrip pun dukungannya lebih dari harapan saat ini."
"Persetan!" hardik agen itu sebelum pergi tenggelam di tirai panggung.
Saat itu, Haru pun mengalihkan lirikkannya dari mereka. Dia pura-pura tetap fokus ke gelas wine dan membalas obrolan random di sekitarnya. Sayang tak lama. Sebab setelah itu dia menangkap satu adegan bahaya di bangku Renji.
Brakh!
"Argh!" jerit Yuki. Yang mendadak dihempas ke meja saat berusaha menempel. Dua botol wine pun jatuh pecah. Dan beberapa buah yang ditata rapi menggelinding dari baki. Seketika, pesta beku. Hampir seluruh tamu undangan berhenti dari aktivitas masing-masing.
Renji pun melirik sekitar dan berkata, "Maaf, tak sengaja." katanya. Sebelum melanting Yuki pelan-pelan meski enggan. Padahal Haru melihat dengan jelas. Nyata-nyata Renji mengumpat "Jalang!" ke wanita itu dengan desisan muak sebelumnya. Suaranya mungkin tak terdengar, namun gerakan bibirnya membeberkan semua itu.
Beberapa kamera pun mengabadikan momen barusan sebelum Renji ojigi pergi. Pria itu langsung melangkah kembali ke limusin setelah membuat Yuki terlolong bengong. Haru berdecih. Dia meletakkan gelas wine-nya dengan emosi sebelum segera menyusul Renji.
"Ren, kita pulang sekarang, oke?" kata Haru sambil menutup pintu mobil. "Tidak apa-apa. Aku akan bilang ke kepala bagian kalau kau kurang sehat hari ini. Mereka pasti bisa mengerti."
Bukannya setuju, Renji justru berkata dengan nada memerintah.
"Aku ingin seorang pelacur."
"Apa?"
Jujur, Haru mengira telinganya sudah rusak.
"Pesankan pelacur." ulang Renji. Dia menatap Haru lurus.
Sejenak Haru diam, namun akhirnya dia tersenyum. "Ren... yang kau butuhkan itu istirahat," katanya halus. "Akan kupesankan. Pasti. Tapi kalau kondisimu sudah mendingan, mengerti?"
"Kau tidak mengerti ucapanku?"
Haru tertegun. Tiga detik kemudian Renji sudah menarik tengkuknya dengan kasar. Menciumnya. Menjamahnya. Dan mendorongnya rebah ke kursi panjang itu.
"Ren!" protes Haru. Dia memukul dan mendorong bahu Renji. "Hei, sudah! Ren!"
Renji justru semakin menjadi-jadi. Dia membungkam bibir Haru dengan tangan dan mulai membuat banyak jejak merah di leher itu.
"Ren! Ya tuhan... apa kau lupa kita dimana?"
"Diam!"
"Ummppff!"
Sopir limusin di depan sana bahkan sampai melirik ke spion depan sebelum menutup lubang kecil yang menghubungkan. Cari aman. Atau memang terbiasa menghadapi kelakuan tamu istimewa yang diantarnya.
PLAK!
Haru refleks mundur ke belakang begitu Renji mulai berhenti. Sahabatnya itu diam. Wajahnya tertutup oleh rambut berantakan. Canggung, Haru pun menoleh ke telapak tangannya yang gemetar setelah memberi tamparan kasar.
"Ren, maksudku bukan begitu..." kata Haru. Dia pun segera mendekat lagi dan menangkup kedua pipi Renji. Disibaknya rambut itu, namun Renji menampiknya.
"Jangan menyentuhku."
Haru tetap mendekati. "Ren..."
Haru tahu, yang Renji butuhkan sekarang adalah pengertian. Sahabatnya itu memang agak tempramen. Namun semarah-marahnya ke dia, tak pernah sungguhan menolaknya.
"Kau harus tenang..."
Haru memeluk, dan mengelus punggung itu. Renji diam dan membiarkan keningnya rebah di sana. Padahal bahunya kecil, tapi selalu menjadi tempat sandaran Renji kala hubungannya dengan Jean bermasalah.
Haru memejamkan mata. Jujur dia ikutan lelah. Selama ini menjadi sahabat dan teman seks Renji, otomatis hal apapun tentang pria ini telah diingatnya tanpa kecuali. Perasaannya, pikirannya, rahasianya, dan semua masalah pekerjaan bahkan keluarganya... Renji tak pernah melarangnya mencampuri.
Termasuk soal Jean.
Saat sampai penthouse Renji, Haru lagi-lagi harus merogoh saku celana pria itu untuk membuka kunci pintu. Dan saat masuk, dia tak pernah kaget lagi jika tubuhnya langsung di desak menempel pintu. Dicumbu.
Haru akan membiarkan jika memang bisa meringankan pikiran Renji. Dia balas memeluk, mencium, dan berpegangan ke lehernya. Dan saat kemejanya mulai naik ke dada, dia mendorong bahu Renji. "Hei, tunggu," katanya. "Kau tidak jadi pesan pelacur?"
Tatapan Renji redup temaram.
"Tidak."
"Oh..." desah Haru. "Sekarang, bagaimana?"
Tanpa Jawaban, Renji mengangkat Haru perlahan. Haru sendiri hapal pergerakan pria itu. Dia melingkarkan kedua kaki di pinggang berotot Renji dan segera menahan tubuh dengan lengan begitu pria itu membantingnya ke ranjang.
Selanjutnya? Tentu mereka bercinta. Seperti biasa. Kadangkala Renji memang membiarkannya ada di atas. Memimpin pergerakan di awal-awal lalu dicelup dalam setelahnya. Namun pagi itu tiba-tiba ruangan kosong. Kontak mobil yang semula tergantung di headstand hilang. Pertanda Renji telah pergi. Lagi-lagi nomornya diblokir saat menelpon. Dan Renji tak meninggalkan jejak lokasi apapun karena ponselnya dimatikan.
"Ya Tuhan..." desah Haru lelah. Dia memang tak pernah diizinkan mencampuri kepergian Renji selama ini. "Semoga kau tetap saja kembali, Ren," Dia pun mengunci layar ponsel dan kembali memejamkan mata. "Seperti biasanya."
.
.
.
NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karean di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.