Malam itu, Ginnan baru saja pulang. Dia akan memencet tombol lift naik saat Hiro, teman serusunnya berlari buru-buru ikut masuk segera ke dalam.
"Hei, Nan-kun!"
"Oh, Hiro..." kata Ginnan. Dia mengerutkan kening saat melihat penampilan pria itu. Hiro yang sekujur tubuhnya harum, dengan rambut agak basah, pasti baru habis mandi setelah memuaskan seorang klien. "Kau tumben bareng aku?"
"Hahaha... hari ini aku dapat antrian gila-gilaan! Madam Shin memberiku lima alamat tadi pagi," tawa Hiro dengan tanpa dosanya. "Kalau kau? Masih belum berani kan sepertiku?"
Hiro menyenggol bahu Ginnan.
Ginnan hanya mengelus tengkuknya segan. "Hei, bukannya aku tak berani," katanya pelan. "Aku kan hanya menyadari berapa limitku."
"Ho... limit," ledek Hiro. "Memang benar, ya.. Kata Yuka... harusnya kau masuk ke gigolo umum saja."
[NB: Gigolo Umum: Pelacur pria yang siap melayani laki-laki maupun perempuan]
"Apa katamu?"
Hiro mengendikkan bahu. "Selain karena mudah. Buktinya kau tidak bisa menangani banyak wanita dalam sehari. Kalau jadi yang dibawah kan tinggal rebahan dan menerima. Hahaha..."
"HEI! Kau sama saja dengan Yuka hari ini..." dengus Ginnan kesal. "Tadi pagi dia juga bilang begitu kepadaku. Memang aku ini semurah itu?"
"Haha... murah? Faktanya gigolo umum dapat bayaran lebih banyak, Nan-kun yang cantik..." goda Hiro.
Ginnan sudah memerah penuh satu wajah sampai telinga. "Kalau memang semenarik itu, kenapa tidak kau saja yang lakukan?" balasnya sengit. "Lagipula Madam Shin sudah berjanji tidak akan memberikanku ke sembarang orang. Memang kau yang langsung datang kemana pun ada uang?"
"Hahaha... serius sekali," kata Hiro. "Aku kan hanya bicara pengandaian."
"Tidak peduli!"
Hiro berbisik di telinga Ginnan. "Atau kau sebenarnya memang tertarik dengan hal itu?" godanya.
"HIRO!"
Ting!
"Ada ribut-ribut apa ini?" tanya Yuka. Yang saat itu berdiri tepat di depan lift tepat saat mulai terbuka. Wanita lacur itu mengenakan dress hitam selutut dengan riasan merah-merah dan masih sedang menambal lipstik di bibirnya.
Hiro refleks merangkul bahu Ginnan seolah tak pernah mengerjai lelaki itu. "Oh, Yuka... selamat malam," sapanya dengan senyuman penuh. "Kelihatannya kau semangat sekali?"
Yuka masuk dan memencet tombol naik. "Oh, tentu saja. Malam ini ada Tuan Muda Kaya yang menyewaku," katanya sombong. "Walau aku harus ke atas lagi karena kelupaan kartu namanya."
"Oh ya? Siapa?" tanya Hiro jadi ikut-ikut semangat.
"Renji Isamu," kata Yuka. Sambil melirik ke arah Ginnan yang sudah melotot seperti bola. "Hahaha... padahal dia sempat mengencani Nan-kun tadi pagi."
Seketika Ginnan merona. "M-Mengencani?" kagetnya.
"Wow... benarkah?" heran Hiro. Lalu menatap selidik Ginnan. "Itu yang kau bilang tidak mau posisi bawah, hm?"
Ginnan pias. "Tidak! Bukan begitu!" sangkalnya sungguh-sungguh. "Tunggu dulu, siapa yang mengencani siapa, heh Yuka? Tadi pagi itu dia hanya membelikanku parfum untuk balas budi."
"Balas budi?" tanya Hiro.
"Iya, Hiro... aku menemukan kartu hitamnya," kata Ginnan. berusaha tidak panik. "Kau tahu kan... seberapa banyak uang yang tersimpan di benda itu? Mungkin dia merasa bersyukur aku langsung mengembalikannya."
Yuka terkekeh. "Ho... jadi kau tidak merasa seperti itu?"
"Merasa apa? Kencan? Jangan bercanda! Itu hanya perjalanan tak disengaja."
"Tak disengaja? Benarkah?" goda Yuka. Setengah terkikik, dia senang sekali melanjutkan aksinya di bar tadi pagi. "Lalu saat kau memasangkan seatbelt-nya dengan cara semanis itu... apa itu juga tak disengaja?"
"Memasangkan seatbelt?" pikir Ginnan.
"Y-Ya ampun! Yang tadi pagi sebelum dia pulang maksudmu?" tanya Ginnan heboh. "Itu kan Cuma memasangkan. Bagian mana yang kau anggap manis, Yuka aneeeeh...!"
Yuka hanya tertawa-tawa dan menambal lipstiknya menghadap kaca. Dia mengabaikan Ginnan yang bersungut-sungut seperti serangga yang sedang marah. Hiro juga ikut terkikik geli.
"Jadi, si penulis BL itu sungguhan biseks, hm?" celutuk Hiro kepada Yuka. "Kupikir dia masih normal."
[NB: Biseksual: Kecenderungan orientasi seks yang memiliki ketertarikan kepada laki-laki maupun perempuan]
"Apa maksudmu?" tanya Yuka. "Tentu saja dia normal. Buktinya malam ini menyewaku. Tapi memang sih... dia tidak pilih-pilih kalau soal gender."
"Begitu," kata Hiro. "Kupikir dia hanya homo karena—yeah... secara laki-laki menulis novel begituan."
Ginnan heran luar biasa. "Jadi kau juga membaca novel dia?"
Hiro nyengir. "Sedikit. Pacarku senang mengoleksinya."
"Apa?!"
"Iya, Nan-kun..." Hiro menoleh kepada Ginnan. Dengan bersedekap, seringainya mengembang perlahan. "Dan ceritanya seru sekali. Yang dia tulis tidak bisa ditemukan di sembarang novel. Kau tahu? Orang bi itu memiliki pandangan lebih luas daripada orang lurus. Jadi dia bisa mengembangkan alur lebih menarik tanpa batasan aturan kuno."
"K-Kuno katamu?"
"Apalagi, hm?"
Ginnan merasa tortohok hingga habis. "Ya sudahlah. Pokoknya aku tetap lurus," katanya getol. "Maksudku, kalau ada jalan yang mudah saja. Kenapa memilih yang belok-belok? Aku sungguh tidak mengerti."
Yuka dan Hiro tertawa bersama kali ini.
Ginnan merengut. Dia lalu ingat pembicaraannya dengan Yuka di bar tadi. "Oh, iya... bukankah kau bilang dia punya manajer laki-laki yang menghiburnya selama ini?"
"Haru maksudmu?"
"Siapa lah..."
Yuka memasukkan lipstiknya ke tas. "Harusnya... tapi tugas itu harus kugantikan saat ini. Karena istrinya pulang."
"Apa?!"
"I-Istri?"
Kali ini Hiro dan Ginnan sama-sama terkejutnya.
Ginnan bahkan mengguncang bahu Yuka kali ini. "Hei... bukankah kau bilang dia juga punya pacar perempuan?" tanyanya penasaran.
"Memang."
"Dan sekarang kau bilang si Haru-Haru itu punya istri?"
"Iya," jawab Yuka dengan santainya. "Dia juga punya dua anak."
Ginnan refleks melepas bahu itu karena ngeri. "Gila... cerita hidupnya bahkan layak dinovelkan," katanya sekena. "Hiro, kau setuju denganku kan?"
Hiro ikut-ikutan pias kali ini. "Hei, kau jangan bercanda," katanya gemas. "Tapi kalau benar pasti akan laku keras sekali. Hahahah..." tawanya keras namun samasekali tak terdengar lepas.
"Bodoh! Bukan reaksi begitu yang kupikirkan!" protes Ginnan.
"Kenapa? Justru bagus itu... plot twist bukan?" kata Hiro dengan santainya.
Ting!
Mendadak pintu lift terbuka lagi. Dan mereka sudah sampai di lantai 54 saat ini.
Yuka keluar duluan dari sana. "Sudah, ya... aku pergi. Setelah kuambil kartunya, nanti kalian kuceritai lagi kelanjutannya. Hahaha..."
Dan Ginnan mendumal sendiri ketika lift-nya naik tiga lantai setelahnya. "Apa-apaan? Hidup orang itu bahkan tidak bisa dipikir otak."
Hiro bahkan sampai menyeret tangannya keluar dari sana sebelum lift turun lagi.
"Kenapa, Nan-kun?" tanya Hiro heran.
Ginnan menggeleng, "Tidak kenapa-napa kok."
"Cemburu?"
"Apa?" kaget Ginnan. "Demi tuhan tidak! Aku hanya tidak habis pikir... tadi pagi saat aku bertemu dengannya, kupikir dia tak sampai separah itu."
"Benarkah?"
"Ya. Walau aku memang bingung memandangnya seperti apa. Baik atau jahat. Aku tidak bisa memilih salah satu."
"Ho. Begitu."
"Dan juga. Sebenarnya kemana sih pacar perempuannya? Kenapa bisa bisa sampai sebebas itu?" heran Ginnan.
Hiro lebih heran lagi. "Kau sendiri kenapa bisa se-kepo itu?" tandasnya frontal. "Bukankah dia hanya orang lain? Kau tidak harus mengurusinya, Nan-kun."
BLUSH!
Seketika Ginnan merona. "A-Apa aku kelihatan seperti itu?"
"Bodoh... jelas sekali. Coba setelah ini kau bercermin di kamarmu?" tantang Hiro. "Kau pasti tertawa sendiri melihatnya."
Ginnan pun mendengus. "Lupakan saja. Aku tidak peduli lagi," katanya pelan. "Lagipula apa bagusnya novelis itu? Sampai banyak orang mendukungnya padahal tidak normal samasekali."
"Hohoho... jadi kau membencinya?" tanya Hiro saat mereka berjalan di lorong-lorong kamar.
"Tidak juga."
"Mungkin karena kau masih terkena virus cinta pada Yuki, Nan-kun..." celutuk Hiro. "Sampai-sampai novel yang pernah kau baca hanya punya dia dan pada akhirnya... yang kau bilang hebat pun Cuma dia. Hahahaha... parah sekali."
Ginnan sebal.
"Diam."
Dan Hiro justru tertawa lebih lebar. "Dengar, Nan-kun... Yuki kan sudah memutuskanmu. Jadi menurutku jangan berharap padanya lagi."
Ginnan merengut. "Aku tidak berharap kok."
"Tapi kau masih membiarkannya berseliweran di sekitarmu."
"Apa itu sangat aneh? Kita kan hanya kembali berteman seperti dulu," bela Ginnan. "Lagipula Yuki memang yang terbaik. Karena selain dia, memang ada lagi ya... perempuan yang mau jadi kekasihku?"
Hiro menggeleng-gelengkan kepala. "Iya-iya... terserah. Kalau sudah jadi budak cinta mau bagaimana," katanya. Lalu tertawa. "Dasar temanku yang satu ini..."
.
.
.
Malam, Renji bangun sebelum Yuka si pelacur datang untuk membangunkannya. Renji baru saja mandi saat itu. Dia bercukur dan mengumpat di depan cermin saat pisaunya menyenggol lebam tipis bekas tamparan Haru kemarin malam.
Yuka sudah berdiri di depan akuarium ikannya saat Renji keluar dari kamar mandi. Pelacur itu membawa kunci serep dari Haru dan tersenyum lebar kala berbalik menatapnya.
"Tuan Renji?" katanya. Mendekat. "Selamat malam apa kabarmu?" tanyanya tanpa jeda.
Renji melempar handuk mungilnya ke ranjang tanpa menatap sedikit pun. "Mandi," perintahnya. "Aku tidak suka bau parfummu."
"Tunggu dulu... Anda serius?" tanya Yuka. Retoris. "Tapi aku sudah mempersiapkan semuanya sebelum kesini."
"Dan hapus riasanmu," lanjut Renji. "Aku tidak menyukainya."
"Astaga..." desah Yuka tak habis pikir.
"Kau mau aku mengirim komplain tidak puas pada Madammu?"
Yuka seketika gugup. "Tentu saja tidak," katanya cepat-cepat. "Tapi kenapa harus riasanku? Padahal tidak kupoles dengan asal."
Renji mendengus. Dia duduk di tepi ranjang dan menyisir rambutnya dengan jari ke belakang. "Jadi kau merasa tidak cantik?" tanyanya frontal. Ditatapnya Yuka lurus-lurus. "Atau tak percaya diri dengan tanpa topeng tebalmu?"
Yuka kehabisan kata-kata. Dia bahkan tak sadar tasnya jatuh di sisi tubuh. "Ya tuhan... padahal aku sudah tahu Anda punya mulut tajam."
Sudut bibir Renji naik sebelah. "Benarkah?"
"Aku penggemar novel Anda," kata Yuka jujur. "Tapi tak kusangka menghadapi langsung akan terasa lebih parah."
"Hmph, memang kau berharap apa dari pria sepertiku?" kata Renji acuh. "Lagipula kau hanyalah satu lubang yang akan kucicipi seperti sekian banyak yang lainnya."
"..."
Mendengar satu suara notifikasi, Renji mengalihkan fokus ke benda itu. "Ah... jadi Haru memilihmu," katanya lamat-lamat. "Padahal aku pesan yang cantik dan tak berisik."
"Aku... hei, Tuan. Aku memang tidak cantik alami. Dan aku juga suka pakai riasan." kata Yuka membela diri.
Renji menatapnya tertarik kali ini.
"Kau tahu kenapa? Karena ini memang atribut para pelacur. Kita mencoba membuat mata tertarik dengan apapun. Mulai dari parfum, aksesori, dan masih banyak yang lainnya. Jadi mana kutahu kalau parfumku bukan seleramu? Lagipula aku perempuan. Kalau kan memang menginginkan yang alami, kenapa tidak pesan pria saja?"
"Ho... benar-benar menakjubkan," kata Renji. Dia malah terkekeh senang hati. "Padahal aku hanya memancing sedikit."
"Apa?"
"Kau tahu? Sebenarnya aku hanya ingin jatuh cinta..." celutuk Renji tiba-tiba.
"APA?!"
Yuka sangat ingin tertawa. Sudut bibirnya bahkan sudah bergetar namun ditahan saat Renji memperlihatkan wajah serius.
"Tapi bohong belaka. Haha..." tawa Renji dengan seluruh ketidakjelasannya. Dia menggelengkan kepala dan tersenyum ke layar ponsel seolah-olah sedang bicara dengan pujaan hati tercintanya, namun sejenak kemudian tampak marah dan ingin membanting benda itu jatuh ke lantai. "Walau memang benar aku selalu tertarik pada siapapun yang bermuka cantik," akunya. "Tapi tidak hanya sekedar itu."
"Oke, baik..." Yuka memungut tasnya dan berjalan ke arah sofa. Dia melempar tas itu dan memutari ruangan demi mencari ruang wardrobe. "Jadi sebenarnya kau ingin menyewa seks atau curhat soal isi hatimu, Tuan?" tanyanya tak kalah frontal.
"Jika keduanya apa kau meminta bayaran lebih?"
Yuka tersenyum. "Tidak-tidak. Walau aku tidak menolak kalau kau mau baik hati." katanya.
Yuka memutar sebuah kenop yang dia rasa benar. Saat itu, dia justru terpikirkan sesuatu yang menarik.
"Oh, ya... curhat saja tak masalah. Lagipula aku penggemar. Apapun tentangmu pasti menarik untuk didengar."
"Hmph, begitu."
"Kalau kau tak keberatan," kata Yuka. "Ahahah... aku bahkan tak lagi menyebutmu dengan 'Anda' saat ini."
"Tidak masalah."
"Jadi? Selain cantik... dia harus bagaimana?" tanya Yuka antusias. "Lagipula aku butuh gambaran seperti apa... pacar perempuanmu. Maksudku, kau kan tidak pernah memperlihatkan mukanya di media. Sebagai penggemar, kami jelas penasaran soal itu."
"Jangan bicara soal dia," kata Renji tegas. "Aku tak berhubungan dengan siapapun saat ini."
"Apa?" kaget Yuka. "Yang benar saja—"
"Cukup jangan bahas dia."
Yuka terdiam untuk sejenak, baru mengangguk dengan patuh. "Baiklah," katanya pelan. "Jadi bagaimana dengan yang tadi?
"Yang tadi, huh?" Renji meletakkan ponselnya di atas nakas dan merebahkan diri di ranjang. "Dia harus tidak tampak murahan..." katanya selepas angin. Langit-langit di atas sana tampak mengambang di matanya.
"Lalu?"
"Tidak bersikap sok paling benar, tidak bergantung riasannya, tidak membosankan, dan tidak munafik di depan siapapun."
"Haha..." tawa Yuka begitu selesai mendengarnya. "Seleramu sungguh-sungguh abstrak."
"Begitukah?"
"Sangat. Aku sampai tidak bisa menggambarkan seperti apa sosok nyatanya," kata Yuka. "Kenapa tidak pilih yang mudah saja? Semua orang bisa begitu."
Renji tersenyum miris. "Maksudmu jatuh cinta pada seseorang yang bukan tipemu?" tanyanya retoris. "Itu terdengar sangat ajaib."
"Ajaib?" heran Yuka. "Justru tipemu yang sekarang susah ditemukan, Tuan Renji. Standarmu sungguh hebat sekali."
"Haha..."
"Lagipula secantik apapun perempuan, dia pasti menggunakan riasan sekalipun sangat tipis," kata Yuka. "Itu sudah seperti naluri kami, mengerti?"
"Ho... begitukah?"
Nada bertanya, namun Renji tampak sedang mengejek.
Yuka sampai sangsi mendengarnya.
"Kan sudah kubilang, kalau mencari yang tak berias, kenapa tidak mengencani pria saja? Dasar aneh..." kata Yuka lebih berani.
Kekehan Renji terdengar Sangat-sangat mengejek.
"Misal Haru manajermu?"
"Haru?"
Mendengarnya, Renji menutup matanya dengan lengan.
"Daripada membahas dia, kenapa kau tidak pergi mandi saja?"
Yuka terdiam. Mendadak dia merasa tidak tepat menyebutkan nama itu saat ini. Padahal barusan hanya sekali saja. Tapi dia urung menanyakan. Yuka segera mencari satu bathrobe sebelum meninggalkan Renji ke kamar mandi.
.
.
.
NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karean di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.