Chereads / Mimpi / Chapter 9 - Bab 9: Genggaman Tangan

Chapter 9 - Bab 9: Genggaman Tangan

"Oh, ya..." gumam Ginnan. Lantas beranjak dan mengikuti. "Dia kenapa memang?"

"Anemia," kata suster itu. "Dan bulimia."

"Apa?"

Meski namanya asing, Ginnan cukup familiar dengan kedua penyakit itu. Di sekolah dulu, dia memang termasuk paling bodoh di dalam kelas. Namun kalau soal mapel MIPA dan kursus menggambar... dia paling semangat memperhatikan.

"Dokter, kau yakin?" tanya Ginnan. Dia menoleh ke dokter muda yang berdiri tepat di sebelah Renji yang terbaring lelap.

"Memang belum parah. Tapi kemungkinan Tuan Renji mengalami stress yang mendalam akhir-akhir ini," kata dokter itu. "Dari kondisinya sekarang, beliau diperkirakan belum mengonsumsi makanan selama hampir dua minggu. Jadi wajar jika sekarang tubuhnya sangat lemah."

Muka Ginnan langsung tegang. "D-Dua minggu?"

"Ya."

"Tidak mungkin..." kata Ginnan. "Tapi dia terlihat baik-baik saja semingguan ini. Maksudku, waktu kami bertemu di bar dia bahkan minum-minum. Barusan juga... dia cukup kuat menyeretku seenaknya—walau yah... kuakui dia memang terlihat sangat bermasalah."

Dokter itu pun tersenyum tipis. "Mungkin karena sifatnya, Anda jadi menilainya seperti itu," katanya. Lalu menoleh kepada Renji. "Beberapa orang memang terlihat semakin tenang ketika memiliki masalah besar. Mereka akan berkerja seperti bisa, berinteraksi seperti biasa, walau memang terkadang memiliki tindakan emosional tidak wajar."

"Ya, aku tahu kalau soal itu," kata Ginnan. "Tapi, kupikir orang seperti dia nyaris tidak pernah bisa kutemukan."

Dokter itu menggeleng pelan. "Oh, ya... kalau Anda tahu apa penyebabnya, saya minta Anda membantunya berkomunikasi dengan orang-orang terdekat. Terutama orang yang menyebabkannya terbawa pikiran hingga seperti ini."

"A-Aku?" Ginnan menunjuk dirinya sendiri lalu mengusap tengkuk dengan segan. "Anu, aku... aku tidak tahu banyak soal dia."

"Orang-orang terdekat?" pikir Ginnan. "Siapa?" dia pun menatap wajah Renji yang semakin pucat saja. "Tunggu dulu... apa dia punya orang-orang seperti itu?"

"Oh? Bukankah Anda teman beliau?"

"Tidak—ah bukan—aku tidak tahu dia menganggapku apa," kata Ginnan. "Kita hanya bertemu beberapa kali seminggu ini."

"Begitu."

"Kalau Haru—mn—maksudku pria yang dihubungi suster tadi mungkin tahu," kata Ginnan lagi. "Besok kalau sudah bisa dihubungi pasti dia kuberitahu soal ini."

Dokter itu pun tersenyum. "Baiklah. Begitu juga bagus," katanya. "Kalau begitu kami undur diri dulu."

"Ya."

Begitu mereka pergi. Ginnan pun duduk di kursi penjenguk dan menghela nafas panjang. Dia menatap Renji lamat-lamat. Dan tak habis pikir kenapa sampai seperti itu kondisinya.

Bulimia, kata dokter? Dan... tidak makan selama hampir dua minggu?

Yang benar saja!

Ginnan berani bertaruh, di bar saat mereka bertemu... Renji pasti baru bercinta dengan seseorang. Aroma parfumnya waktu itu memang khas tapi samar-samar ada parfum lain juga yang menempel. Dia memang sempat ragu, tapi kali ini dia yakin. Dan lagi, tadi pria ini juga baru menyewa jasa Yuka sebelum menyeret pelacur itu ke jalan, berteriak, bahkan sempat memonopolinya di batang pohon sebelum berpisah di jalan dan ditemukan pingsan menabrak tiang.

Ginnan tak habis pikir. Bagaimana bisa benar-benar ada manusia seperti ini? Wajahnya bahkan baru benar-benar terlihat pucat setelah kondisinya diketahui.

"Kau benar-benar sangat aneh..." desah Ginnan. Tapi lima menit kemudian, dia sendiri tidak sadar bisa tertidur meski masih terduduk di kursi itu.

.

.

.

"Tahu tidak? Kau sekarang terlihat seperti apa?"

Ginnan berkedip-kedip. Karena suara itu dia terbangun. Dan meski malas, dia tetap berusaha menegakkan badan dan mengucek mata agak pandangannya makin jelas.

"Menyingkir..."

Itu Renji, yang sudah membuka mata dan menampik tangan Haru.

"Eh?"

Entah sejak kapan lelaki itu ada disini. Yang pasti sekarang dia berdiri tepat disisi lain ranjang Renji dan mendekat. Kedua tangannya menangkup rahang kokoh itu sebelum menyatukan kening mereka.

"Ya Tuhan... padahal kau baru kutinggal sehari saja..." keluh Haru.

Raut wajah Renji tetap keras, dan dia hanya menatap ketika Haru usai mengecek suhu badannya. "Benar-benar..."

Ginnan melengos malu saat melihat adegan itu. "Tidak salah," batinnya. Dengan pipi kian memerah. "Dia pasti si Haru-Haru yang Yuka bilang terlalu dekat dengan Renji," pikirnya. "Ah, bukan. Ini sih bukan dekat lagi. Mereka bahkan terlihat seperti kekasih di mataku!"

"Aku hanya ingin tidur..." kata Renji.

Haru menggeleng. "Tidak-tidak. Kau harus sarapan lebih dulu," larangnya dengan raut mengadili. "Kau tahu sekaget apa aku begitu dokter bilang  soal kondisimu? Bukannya waktu itu sudah kubuatkan sup? Jadi kau tidak memakannya? Belum lagi tehmu... kau juga tidak meminumnya? Astaga... kau pikir aku tidak serius menyiapkan semuanya?"

Renji justru menutup matanya dengan lengan. Tampak tak peduli. "Bisa kau tidak berisik atau pulang saja sekarang...?"

"Apa katamu?" kaget Haru.

"Pulang." tegas Renji.

Haru tampak sangat kesal. Dia sempat melirik Ginnan yang merasa jadi obat nyamuk, sebelum menegaskan kata-katanya. "Tidak akan," katanya. "Tidak sampai kau benar-benar makan di depanku."

"Apa? Kenapa?" pikir Ginnan. "Kenapa perlakuannya kepada si manajer hanya begitu? Ini tidak seperti yang kupikirkan..."

"Ren, menurut apa kataku," desak Haru. "Kau ini... Ssshh... MEMANGNYA MAU MATI HAH?!"

"EH?!"

Ginnan melotot lebar ketika Haru menarik kerah Renji dan berteriak tepat di depan wajah pria itu. Dia meneguk ludah. Dan untung saja ini ruang VVIP. Jadi tak akan terdengar apa-apa di luar sana. Meskipun begitu, tetap saja kan...

"Bagaimana dengan putri-putrimu?" tanya Renji. "Apa kau sudah merayakan ulangtahunnya?" senyum tipisnya malah hadir di wajah itu.

Raut Haru langsung mengeras.

"Persetan," makinya kesal.

Senyum Renji makin lebar.

"Bagaimana dengan istrimu? Apa dia sudah kembali ke Teheran?"

Sudut bibir Haru berkedut samar.

"Ren, tolonglah... jangan buat aku tertawa..." keluhnya. Sebelum Renji menarik tengkuk itu dan menyatukan bibir mereka.

DEG

Ginnan melengos. "Y-Ya Tuhan... buat apa aku disini..." pikirnya. Merasa buruk seketika.

Seperti ada balon yang meletus mendadak di dadanya, Ginnan terpaku di tempat dan tak bergerak sedikit pun. Lututnya terasa keram dan  kalau bisa ingin segera pergi saja. Namun saat keinginannya beranjak sudah kuat, dia justru melotot hebat melihat tangannya digenggam Renji diam-diam.

"HEI! APA-APAAN!" batin Ginnan lagi.

Ginnan pias, dan Renji tetap mencium Haru di tempatnya. Dia menguasai pria itu. Bahkan hingga desahannya mulai terdengar samar-samar.

"Ahh... mn..."

Ginnan menghentak-hentakkan tangan Renji, marah. Tapi pria itu hanya meliriknya sekilas hingga ciuman itu sungguh usai.

"Aku kesini benar-benar ingin melihat langsung kondisimu..." kata Haru. Suaranya goyang ketika Renji hanya diam menatapnya. Sedekat itu. Seintim itu. "Jadi maaf kalau kemarin aku tidak tahu soal ini. Kau tahu? Keluargaku sangat-sangat—mn, pokoknya kau mungkin malah jengkel mendengar semua alasanku. Yang pasti, ultah Sheila sekarang sudah benar-benar usai. Jadi kau tidak perlu cemas soal mereka... oke?"

"Hm."

Haru senyum. Hidungnya menggesek hidung Renji dengan sayang.

"Sekarang katakan kau mau makan apa," katanya. "Aku akan siapkan semuanya."

Layaknya bocah yang sedang bermanja dengan ayahnya, Haru tetap disana selama Renji tampak berpikir. Pria itu mungkin tidak tahu kecemasan hebat di belakangnya.

Ginnan yang mati kutu melihat adegan di depannya, Renji yang meliriknya lagi tanpa mau melepaskan, dan juga bola matanya yang entah kenapa mulai panas.

"Pir..." jawab Renji. Lalu menatap Haru lurus. "Buah pir dingin yang dikupas kelinci dengan gula. Aku mau itu lengkap dengan keju parutan."

Haru tertawa pelan mendengar permintannya yang tak wajar.

"Apalagi? Atau hanya itu, Ren?"

"Kismis kukusan," kata Renji lagi. "Campur dengan air hangat satu gelas. Aku mau tidak terlalu dingin atau apa."

"Sudah?"

"Hm," jawab Renji. "Kembali kesini kalau selesai."

Haru mengangguk. "Tentu," katanya senang. "Kalau begitu aku pergi dulu sekarang."

"Hm."

Haru pun melepaskan Renji. Pria itu berbalik dan tersenyum lebar pada Ginnan. "Terima kasih atas semua bantuanmu," katanya. "Tapi tolong aku sekali lagi, mau kan?"

Ginnan keki. Dia ketar-ketir dan menatap Renji tajam, tapi pria itu malah terpejam tanpa peduli pikirannya yang terus campur aduk.

Di bawah selimut itu. Satu tangan Renji masih menggenggamnya diam-diam.

"Eh... a-apa?"

"Jagakan dia selama aku pergi buat makanan," kata Haru. "Kau tahu? Dia mungkin terlihat dingin ke orang lain, tapi sebenarnya sangat benci kalau ditinggal sendirian."

"Oh..." desah Ginnan. "Eh? Benarkah?"

"Ya, sangat," tegas Haru. "Lagipula kudengar dia sudah bertemu denganmu beberapa kali minggu ini. Dan jika tidak benar-benar nyaman, dia pasti sudah melemparmu jauh-jauh."

Ginnan langsung tertawa meski hambar. "Hahaha... begitu," katanya. "Bagaimana bisa dinilai sebagus ini. Bagiku dia sungguh-sungguh menyebalkan."

Senyum Haru malah semakin tampak lega. "Kau hanya belum mengenalnya," katanya yakin. "Renji itu tidak seperti yang terlihat. Dia bisa memperlakukanmu sungguh-sungguh istimewa kalau sudah menemukan sesuatu pada dirimu—"

"Haru," sela Renji tiba-tiba. Suaranya berat dan terdengar sangat tidak suka. "Bisa kau pergi saja dan bawakan semua pesananku?"

Haru justru terkekeh kepada Ginnan. "Abaikan dia," katanya. "Pokoknya kalau kalian mulai akrab. Siap-siap saja dapat kejutan lebih banyak—"

"Haru, kuperingatkan kau," sela Renji lagi. Padahal matanya masih terpejam sama seperti sedia kala.

"Haha... oke-oke, aku berhenti," kata Haru. "Kalau begitu aku pergi. Kalian baik-baik selama disini."

Haru meninggalkan kecupan di kening Renji sebelum keluar. Pria itu juga menyayang pipi Renji layaknya ayah sedang menidurkan putra manjanya. Dan meski sadar Ginnan terbisu melihat kelakuannya, Haru justru menepuk bahunya seperti sedang memasrahkan.

"Dia sudah pergi?"

Renji baru membuka mata setelahnya.

Ginnan kaget. "Ya," katanya. "Padahal kukira kau sudah tidur."

Renji mendengus. "Mana ada orang tidur secepat itu, Dasar Bodoh."

Jika ini komik, tokoh Ginnan pasti sudah mengelus dada. "Ya ampun... menghadapi orang ini memang harus sabar..." batinnya kesal.

"Oh, ya... bisa lepaskan tanganku?" tanya Ginnan.

Renji langsung melepaskannya.

Ginnan mendengus. Dia mengelus pergelangannya. "Ini sakit, asal kau tahu," katanya. "Tapi kenapa melakukannya? Bukankah lebih baik aku pergi?"

"Aku belum bilang terima kasih," kata Renji. Tiba-tiba sekali. Ginnan sampai tak bisa berkata-kata. "Untuk membawaku kemari dan sebagainya."

Mendengarnya, Ginnan kehilangan kata-kata.

.

.

.

NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.