Chereads / Oh Mas Arya / Chapter 10 - Bersamamu aku bahagia

Chapter 10 - Bersamamu aku bahagia

Jika hari memilih pagi untuk mengawali waktunya. Sedangkan aku memilih kamu, menjalani hari-hariku.

***

Seperti biasa Bagas selalu bangun terahir diantara Arya, bu Sumi dan juga Adnan. Kaki dan pinggang yang masih sakit bukanlah satu-satunya alasan kenapa ia selalu bangun kesiangan. Siapa lagi penyebabnya kalau bukan Arya. Sebenarnya sih bukan sepenuhnya salah Arya, bahakan Arya sama sekali tidak pantas untuk disalahkan. Karena Arya tidak tahu apa-apa, dan ia juga tidak pernah menyadari itu.

Ya, Arya memang tidak pernah menyadari, jika dirinya sudah menjadi penyebab atas kegelisahan tidurnya Bagas di setiap malam.

Cuma hari itu berbeda dari hari-hari biasanya. Jika biasanya Bagas sudah membuka mata sekitar jam delapan pagi, tapi hari itu sudah pukul sepuluh, Bagas belum terbangun dari tidurnya.

Tadi malam Bagas begadang sampai jam empat pagi. Bukan karena melawan hasrat birahinya yang selalu bergelora saat berdekatan dengan pria gagah itu, Arya. Tapi Bagas begadang karena memang Arya yang mengajaknya. Malam tadi, setelah dengan sadar Arya memeluk Bagas erat, Arya mengajaknya kembali untuk mengobrol sampai waktu dini hari.

Ternyata dibalik diamnya sikap Arya, ia menyimpan tumpukan unek-unek yang ia simpan di hatinya. Arya butuh seseorang untuk mendengarkan segala kegundahannya. Dibalik tubuhnya yang kokoh, ia menyimpan kelemahan, ketidak berdayaanya untuk bisa mengetahui bagaimana kebenaran tentang kabar istrinya. Merasa sudah dekat dengan Bagas, akhirnya secara tidak langsung, semua masalahnya ia tumpah ruahkan kepada Bagas.

Meskipun Bagas hanya diam dan tidak bisa memberikan komentar apapun, tapi Arya merasa legah. Setidaknya semua unek-unek yang mengganjal sudah ia keluarkan dari hatinya. Ia juga sadar dan bisa maklum jika Bagas tidak bisa memberikan solusi. Arya paham, anak seusia Bagas belum terlalu mengerti tentang sulitnya mejalani biduk rumah tangga, dengan segala macam permasalahan. Terutama masalah ekonomi, atau kemiskinan yang sedang dialami Arya. Ya, terkadang masalah ekonomi memang bisa menjadi pemicu, retaknya suatu hubungan rumah tangga.

Jika benar-benar tidak kuat, kata-kata 'cinta' akan kalah oleh yang namanya masalah Ekonomi. Dan resikonya, biduk rumah tangga yang sudah terjalin, akan berakhir kandas di tengah jalan.

Kata 'cinta' tidak akan mampu lagi menolongnya.

Kemudian, setelah Arya selesai dengan curhatnya ia tidak henti-hentinya meminta maaf karena sudah memeluk Bagas. Ia hanya sedang kalut, dan sedang butuh sandaran.

Bagas hanya tersenyum simpul mendengar permintaan maaf dari Arya malam itu.

Tidak hanya itu. Arya juga meminta maaf sudah menjadikan Bagas sebagai tempat untuk mencurahkan segala isi hatinya. Sudah membuat Bagas akhirnya begadang, hanya untuk mendengarkan dirinya bicara.

"Dek Bagas..." suara ibu Sumi terdengar penuh ke ibuan membangunkan Bagas. "Dek Bagas bangun dek..." ucap ibu Sumi kembali, ia berbicara dengan lembut karena merasa tidak enak sudah membangunkan Bagas.

"Dek... bangun dek..." karena Bagas masih terpejam, sehingga ibu Sumi sedikit menggerak-gerakn tubuh Bagas.

Akhirnya Bagas mulai sedikit membuka matanya. Kemudian ia menggeliat dan sedikit tersipu saat melihat wajah keriput bu Sumi.

"Eh... ibu..." ucap Bagas sambil menggeliat. "Udah siang ya bu?"

"Iya... maaf ibu ganggu tidurnya, soalnya mau ibu urut lagi kakinya" ujar ibu Sumi.

Meski bengkaknya sudah kempes, tapi cara berjalan Bagas masih sedikit tertaih. Sehingga ibu Sumi masih harus mengurutnya sampi benar-benar pulih.

"Nggak papa bu, aku yang minta maaf, tidurnya mbangkong." Ujar Bagas.

"Ya sudah sana cuci muka dulu, habis itu tehnya diminum, terus sarapan, kalo udah nanti ibu urut lagi." Ucap ibu Sumi yang masih duduk di sisi dipan. Di samping Bagas.

Bagas menguap sambil mengucek-ngucek mata, ia masih terlihat mengantuk dan nyawanya belum semua terkumpul.

"Mas Arya mana bu?" Suara Bagas terdengar sedikit serak, karena sedikit mengantuk.

Biasanya saat membuka mata ia langsung melihat wajah karismatik Arya. Tapi kali ini ia merasa sedikit gelisah karena tidak melihat sosok gagah itu.

"Oh mas Aryanya lagi diajak ibumu, suruh nemenin liat apa gitu tadi.. ibu enggak jelas dengernya, wong ibu lagi masak."

Jawaban ibu Sumi membuat Bagas sedikit terkejut dan mendadak seger buger. "Lho... ibu udah kesini?"

"Iya tadi nengokin dek Bagas pagi-pagi, tapi dek Bagasnya belum bangun, ya udah keluar lagi ngajak mas Arya, ada perlu katanya." Jelas ibu Sumi.

Membuang napas kasar, Bagas menarik ujung bibirnya. Ia terlihat sangat malas.

"Trus, dek Adnan mana?" Tanya Bagas kembali.

"Adnan diajak juga sama ibumu."

Tidak hanya dengan Bagas. Arya, ibu Sumi, dan juga Adnan juga sudah semakin akrab dengan bu Ratna. Terlebih Adnan, anak polos itu seperti selalu menantikan kehadiran ibu Ratna. Karena tiap kali ibu Ratna datang, ia selalu membawakan mainan yang bagus untuk Adnan.

Arya tidak bisa menolak, karena Adnan terlihat sangat bahagia, saat menerima mainan ibu Ratna. Arya tidak ingin menghancurkan kebahagiaan Adnan, meski sebenarnya ia merasa tidak nyaman dengan pemberian ibu Ratna.

Mendengar jawaban ibu Sumi, rasa kesal Bagas jadi bertambah. Karena jika tidak ada Arya, setidaknya masih ada Adnan yang bisa diajaknya bermain untuk menghilangkan rasa bosannya.

"Kok aku nggak dibangunin sih bu?"

"Ya dek Bagaskan masih belum pulih, lagian tidurnya nyenyak banget," ujar ibu Sumi.

Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Bagas hembuskan secara kesar. "Kapan mas Arya pulangnya?"

"Ibu ndak tau dek, soalnyakan mas Arya cuma diajak ibumu, paling habis duhur udah di rumah" jawab ibu Sumi. Kemudian ia berdiri dari duduknya seraya berkata, "mending sekarang dek bagas cuci muka, minum teh terus sarapan, mandinya habis diurut sama ibu aja, biar nggak kotor."

Bagas mendongakan kepala untuk melihat ibu Sumi yang sudah berdiri. Wajahnya terlihat datar dan malas, "iya..." ucapnya sambil mengangguk pelan.

Senyum keibuan terbit dari bibir wanita paruh baya itu. Kemudian ia keluar dari kamar Arya untuk mempersiapkan keprluan memijit Bagas.

Sedangkan Bagas yang sudah bisa berjalan sendiri, meski tertaih. Dengan rasa malas dan agak sedikit kesusahan, Bagas turun dari dipan, untuk menuruti saran dari ibu Sumi.

====

Siang menjelang sore, Bagas dan Adnan sedang duduk di lantai beralaskan tikar. Di ruang tengah. Bagas sedang menemani sambil megajari Adnan bermain mobil-mobilan. Senyum sumringah selalu mengembang di bibir Bagas saat sedang bermain bersama Adnan. Begitu juga dengan Adnan, anak lucu itu terlihat sangat bahagia, karena mempunyai banyak mainan yang bagus dan mahal. Tidak seperti maianan yang dijual Ayahnya. Harganha paling mahal cuma lima ribu.

Sementara Arya baru saja dari dapur, ia berjalan melewati Bagas dan Adnan, seraya berkata "Dek, mas tinggal dulu ya."

"Mau kemana mas?" Tanya Bagas. Ia sedikit terpesona melihat lengan Arya yang terlihat menonjolkan otot-ototnya.

Arya hanya memakai kaos yang sengaja ia buang lengannya, agar lebih nyaman dipakai saat melakukan aktivitasnya. Kemudian ia memakai celana berbahan dasar, yang ia gunting sampai di bawah lutut. Sehingga Bulu-bulu lebat di betisnya dapat terlihat dengan jelas.

Penampilan yang sangat sederhana, namun sudah bisa membuat Bagas semakin terpesona.

"Mau ke kebun dek, mau manen cabe dikit, soalnya nanti mau dibeli sama pedagang," jawab Arya sambil memakai topi yang sejak tadi ia pegang.

Bagas memanggut-manggutkan kepalanya, "jauh nggak mas kebunnya?"

"Lumayan deket, paling lapan ratus meter."

"Jalan kaki?" Tanya Bagas kembali.

"Enggak dek, mas bawa sepedah, cuma bentar kok."

Bagas memanyunkan bibir bawah sambil memanggut-manggutkan kepalanya, terlihat ia seperti sedang berpikir.

"Aku ikut ya mas?" Pintah Bagas.

"Ayaaah... aku ituut..." sergah Adnan yang mendengar percakapan Bagas dan Ayahnya.

Arya tersenyum nyengir mempertontokan giginya yang rapih, "nggak usah dek, nanti kamu capek, lagian di kebun itu banyak nyamuk, panas."

"Nggak papa sih mas, aku pingin jalan-jalan, lagian aku selama di sini nggak pernah keluar rumah," pinta Bagas dengan raut wajah memohon. "Lagian, aku kan udah bisa jalan sendiri."

"Ayah ituuuut...."

Bagas dan Arya menoleh pada Adnan yang baru saja merengek dengan gayanya yang menggemaskan.

"Boleh ya mas..." pinta Bagas memohon.

Arya diam, dan terlihat berpikir, "ya udah, yuk..."

Bagas mengembangkan senyum karna Arya mengabulakan keinginannya.

"Horee..!" Teriak Adnan.

"Adnan minta topi sama simbah dulu sana, sekalian minta buat om Bagas," perintah Arya yang langsung dituruti oleh Adnan sambil berlari kecil menuju dapur.

"Yuk dek," ajak Arya sambil berjalan ke arah luar, diikuti Bagas dibelakangnya.

Cara berjalan Bagas masih sedikit tertatih.

Di halaman rumah terlihat Bagas sudah memakai topi yang diberikan oleh Adnan. Sedangkan Adnan sendiri memilih tudung caping untuk menutupi kepalanya. Ukuran caping yang besar membuat kepala Adnan tenggelam dan wajahnya tidak terlihat.

Bagas tertawa geli karena gemes, melihat Adnan yang begitu lucu dan menggemaskan saat memakai tudung caping.

Sedangkan Arya terlihat sedang mencangkolkan ember di setang sepedah kesayangannya. Kemudian ia duduk di atas sadlle sepedah saat sudah berada di dekat Bagas dan Adnan. Tengannya yang kekar mengulur untuk mengangkat tubuh Adnan, kemudian mendudukannya pada besi bulat yang menghubungkan antara sadlle dan setang sepeda.

Setelah Adnan duduk menyamping, terlihat Bagas naik di bagian boncengan sepedah.

"Pegangan dek," perintah Arya pada Bagas sebelum Ia mengayuh sepeda unta kesayangannya.

Bagas hanya tersenyum, kemudian telapak tangannya memegang erat pinggang Arya di sebelah kiri dan kanan.

Beberapa saat kemudian, kaki kokoh Arya mulai mengayuh sepedah miliknya.

"Kaki dek Bagas udah sembu, seneng ya pasti, bentar lagi pulang?" Ucap Arya di selah-selah ia sedang mengayuh sepedanya.

Kata-kata Arya membuat raut wajah Bagas menjadi murung. Sebenarnya ia ingin lebih lama lagi tinggal bersama Arya. Bahkan kalau bisa ia berharap bisa bersama Arya untuk selamanya.

"Om Bagas jangan pulang Yah.." ucap Adnan yang mendengar kata-kata Ayahnya.

Mendengar kalimat polos Adnan, Bagas mengembangkan senyumnya. Kemudian ia mendongakan kepala, melihat Adnan yang sedang duduk di depan.

"Emang kenapa dek? Kok om Bagas nggak boleh pulang?" Tanya Bagas.

"Om Bagas sini aja?" Jawab Adnan seadanya.

"Dek Adnan seneng gak om Bagas di sini?" Tanya Bagas kembali.

"Iya.. seneng, pokonya nggak boleh pulang."

"Emang boleh om Bagas di sini aja?" Bagas bertanya pada Adnan, akan tetapi matanya melihat wajah Arya yang sedang fokus mengayuh sepedah.

"Boleh." Jawab Andan. "Boleh kan yah?" Imbuh Adnan bertanya pada Ayahnya.

"Iya... boleh," jawaban Araya hanya untuk membuat Adnan senang saja. Karena ia merasa tidak mungkin sekali jika Bagas mau tinggal di rumahnya yang tidak Bagus.

"Hore..." teriak Adnan.

"Ya udah, om Bagas sini aja ya?" Ucap Bagas.

Mendengar interaksi Antara Bagas dan anaknya, Arya hanya tersenyum nyengir, sambil tetap mengayuh sepedanya.

Bagas yang di belakang kembali murung, ia tidak ingin pulang. Bagas ingin tinggal lebih lama lagi bersama Arya.

====

Waktu sudah menunjukan pukul dua dini hari. Suasana di kampung Arya terlihat sangat sepi. Tidak ada manusia satu pun yang terlihat di luar rumah. Hanya suara jangkrik yang terdengar saling bersahut-sahutan, menemani malam panjang penduduk desa. Angin yang berhembus lumayan kencang, sehingga udara malam itu terasa lebih dingin dari biasanya.

Bagas yang sudah tertidur pulas terlihat ia bergidik karena merasa kedinginan. Tangannya merabah-rabah mencari sarung yang sudah tersingkir dari tubuhnya. Karena sulit menemukan yang ia cari, sehingga ia terbangun dan membuka matanya.

Saat membuka mata, bibirnya tersenyum simpul melihat Arya masih nyenyak dalam tidurnya. Seperti biasa, Arya selalu tidur dengan posisi terlentang. Terlihat kedua tangan Arya di lipat, dan di taruh di atas dadanya. Karena Bagas merasa jika Arya sedang kedinginan, kemudian ia duduk untuk mengambil sarung untuk menutupi tubuh Arya.

Arya sedikit menggeliat merasakan hangat saat bagas menutupi tubuhnya menggunakan sarung.

Sedangkan Bagas tersenyum simpul, menatap teduh wajah Arya yang sedang terlelap.

Cayaha lampu berwarna kuning keemasan yang berasal dari bokhlam, membuat kamar Arya terlihat remang-remang.

Setelah menutupi tubuh Arya dengan sarung, Bagas kembali berbaring, sambil menutupi dirinya menggunakan sarung juga. Bagas tidur miring menghadap Arya, matanya tidak berkedip memandang tubuh gagah itu.

Menarik napas dalam-dalam, kemudian Bagas hembuskan secara perlahan. Meski batinnya sebenarnya tersiksa, tapi Bagas merasa legah. Karena sejauh ini ia mampu menahan hasrat, untuk tidak berbuat nekat menuruti birahinya. Bagas mampu menahan gejolak yang memburu, sehingga ia tidak sampai berbuat kurangajar pada Arya.

Sedangkan Arya tidak sedikitpun merasa, jika Bagas ternyata sudah jatuh cinta padanya. Sehingga ia tidak merasa terusik, dan tetap nyaman berada di dekat remaja yang belum lama sudah sangat akrab dengannya.

Bagas memejamkan mata, dan mencoba untuk kembali tertidur. Tiba-tiba ia teringat, jika kakinya sudah hampir sembuh. Artinya, tidak lama lagi ia harus kembali ke rumahnya. Perasaan Bagas mendadak gelisah, dan membuatnya sulit untuk kembali tidur.

Kemudian Bagas kembali membuka matanya, dan menatap lekat wajah Arya. Melihat tubuh gagah yang sedang pulas tidur, Bagas merasa sedih karena teringat jika ia tidak akan lagi bisa tidur bersama Arya. Tidak lagi bisa memandang tubuh gagah milik Arya, dan tidak lagi bisa melihat senyum Arya yang selalu menyambutnya di pagi hari.

Oleh karena itu, hati Bagas kembali berdesir. Rasanya ingin sekali Bagas memeluk tubuh itu meski hanya sekejab, hanya untuk mencurahkan kesedihanya. Tanpa sadar perlahan tapi pasti, Bagas menggeser tubuhnya hingga merepat di tubuh kekar Arya. Rasa hangat dan nyamanpun langsung ia rasakan di tubuhnya.

Dengan perasaan takut, dan hati berdebar-debar Bagas mencoba mengulurkan tangan untuk mendekap tubuh Arya. Perlahan tapi pasti, akhirnya tangan Bagas bisa berada di atas dada bidang milik Arya. Bagas memejamkan mata, meresapi, merasakan nikmatnya saat memeluk tubuh gaga itu. Bagas berharap Arya tidak akan terbagun sampai pagi, agar ia bisa tetap memeluknya.

Terlalu lama memeluk membuat Birahi Bagas memuncak, hatinya berdesir, bersamaan dengan aliran darah yang semakin deras. Bagas semakin berani mencoba untuk merapatkan tubuhnya, dan semakin erat memeluk Arya.

Beberapa hari tidur dengan Arya, ternyata Bagas baru menyadari, jika yang sedang ia peluk itu kalau tidur seperti orang mati. Karana pada saat Bagas mengeratkan pelukannya sedikitpun Arya tidak terusik. Arya tetap terlelap dalam tidurnya.

Bagas membuka matanya, ia mengangkat kepala untuk melihat wajah Arya. Ia benar-benar takut, hatinya berdebar sangat kencang. Ia sangat berharap semoga Arya tidak terbangun.

Wajah Arya begitu teduh, sangat tenang dan menghangatkan. Memandangnya begitu lama membuat hati Bagas terasa sangat nyeri. Rasanya ingin sekali ia memilikinya, memeluknya setiap saat, dan hidup bersamanya, untuk selamanya. Tapi melihat kenyataan yang ada, hatinya kembali nyeri, dan terasa sangat sakit.

"Mas, aku sayang mas Arya, aku cinta sama mas Arya," desis Bagas di hatinya. Tidak terasa banyak air yang sudah menggenang di kelopak matanya.

Menarik napas dalam-dalam, kemudian Bagas sembuskan secara perlahan, bahkan sangat pelan. Bagas menahan napasnya, lalu secara perlahan ia mendekatkan wajahnya ke wajah Arya. Bola matanya menatap intens bibir Arya yang sedikit terbuka. Saat jarak hidung dan mulut yang sudah dekat, Bagas terdiam, ia bingung, dengan apa yang akan ia lakukan. Akan tetapi hembusan napas maskulin Arya yang tepat berada di hidung dan mulutnya, membuat jantung Bagas berdetak sangat hebat. Biraihnya memuncak, dan kemaluannya di dalam celana semakin tegang dan mengeras.

Napas Bagas mulai memburu, namun Ia tahan karena rasa takut yang tidak terkira. Takut Arya terbangun. Dadanya naik turun tidak beraturan.

Kemudian, entah setan apa yang sudah merasuki tubuhnya, hingga Bagas nekat menempelkan bibirnya di mulut Arya. Dan akhirnya, malam itu bibir Bagas bisa benar-benar mendarat di mulut Arya, meski sangat tipis, dan sangat lemut. Namun itu sudah membuat Bagas terbuai, menikmati bibir dan napas Arya yang sangat maskulin.

Bagas, memejamkan mata, tidak puas hanya menempelkan bibirnya, kemudian ia menjepit bibir bawah Arya dengan bibirnya. Itu ia lakukan penuh dengan perasan, penuh hati-hati dan sangat lembut. Setelah bibir bawah ia jepit dengan bibirnya, kemudian ia menjepit bibir atas Arya. Masih dengan sangat lembut dan penuh perasaan, dan juga dada yang berdebar debar. Dengan matanya masih terpejam, kemudian bagas mendekatkan hidungnya tepat di lubang hidung Arya. Ia membiarkan semua napas yang keluar dari hidung Arya, masuk kedalam lubang hidungnya, hingga naik sampai ke otaknya. Memuat Bagas semakin terbuai dan terlena.

Setelah dengan lembut melumat bibir atas Arya, kemudian Bagas dengan lembut mencium ujung bibir Arya di bagian kiri, dan pindah kebagian kanan. Itu juga ia lakukan masih dengan sangat-sangat lembut, dan penuh perasaan. Penuh cinta dan kasih sayang.

Karena Arya masih terlihat lelap dalam tidur, kemudian Bagas kembali dengan lembut dan pelan, melumat bibir bawah milik Arya. Ia begitu sangat meresapi, dan menikmatinya selama beberapa saat.

Secara perlahan Bagas membuka mata untuk menatap wajah Arya. Namun tiba-tiba ... deg...! Detak jantung dan aliran Bagas seperti mendadak berhenti, saat ia melihat Arya ternyata sudah membuka mata dan sedang melotot tajam padanya.

Tubuh Bagas mendadak lemas tidak bertenaga, dan wajahnya berubah menjadi pucat pasi. Bagas menyesal, dan takut. Rasanya ia ingin mati malam itu juga.

"Dek?!"

====

TBC