"Hei, Kau akan datang besok ke rumahku kan. Besok hari ulang tahun calon Istrimu loh, jadi pastikan untuk datang yah."
Aku menyikut pelan Rhys yang sedang bersamaku duduk di bawah pohon jengkol belakang sekolah, Dia tengah asyik membaca buku-buku pengetahuan yang tebalnya minta ampun.
"Omong kosong, siapa yang bilang siapa tentang calon Istriku."
Rhys hanya mendengus tanpa menoleh sedikit pun ke arahku, Aku menyandarkan kepalaku pada bahunya. Wajahku memerah, degup jantungku berpacu dengan cepat.
"Tentu saja Aku, Aku kan calon Istrimu di masa depan nanti!" Ucapku semangat.
Rhys diam terpaku, tangannya yang berkutat dengan lembaran demi lembaran buku itu terhenti membeku di udara. Dia menolehkan kepalanya dengan cara tak wajar dan memelototiku secara mengerikan, bahunya Dia hentakan supaya kepalaku menyingkir darinya.
"Gila! Menjauh sana! Kau menggangguku!"
Rhys menggeser duduknya menjauhiku, namun Aku kembali mengikutinya dan kembali menyenderkan kepalaku pada bahunya.
"Jangan malu-malu gitu ah! Bisa-bisa Kau nanti benar-benar merasa malu karena mengingkari kata-katamu. Kita kan gak pernah tahu bagaimana masa depan Kita nanti."
Rhys terdiam, kali ini Dia tak menyingkirkanku dari bahunya. Angin sepoi-sepoi mengalun lembut membuat anak rambutnya yang biasanya rapi menjadi urak-urakan. Mataku terfokus pada bulu matanya yang lentik dan panjang, manik kelamnya tampak mengkilap ketika bergulir pelan menatapku.
Mata Kami berdua saling bertemu, pipiku terasa memanas. Jantungku berdegup dengan kencang, angin lembut itu juga membuat rambutku mengambang dan mengurai secara acak, beberapa helaiannya menusuk mataku dan memasuki mulutku.
Rhys menutup bukunya lalu tangan kanannya itu dengan ringannya menyingkirkan anak rambutku yang mengganggu.
"Bodoh." Katanya pelan, samar-samar kulihat Dia tersenyum sekilas.
"Aku kan sudah punya Tunangan, buang mimpimu yang tak berguna itu dan berhenti menggangguku."
Rhys menyandarkan kepalanya pada batang pohon jengkol, gara-gara itu Aku jadi tak bisa bersandar pada bahunya lagi. Dia memejamkan matanya menikmati segarnya udara di sekitar sini tanpa menghiraukanku.
Matanya yang terpejam itu kembali terbuka secara perlahan ketika merasakan tanganku yang menyibakkan poninya karena terlihat mengganggu matanya, Dia terdiam dan menatapku dengan tatapan penuh teka-teki.
"T-tapi kan Kau belum menikah, itu artinya Aku masih punya kesempatan kan?"
Ocehku asal-asalan saking gugupnya di tatap seperti itu. Tunangan? Tunangan huh?! Kelihatan banget bohongnya, apa-apaan Dia ini? Kalaupun Dia memang sudah bertunangan, maka seharusnya Aku tahu dong karena Orang tuaku dan Orang tuanya berteman. Kata Orang tuaku Kami berdua itu sudah berteman sejak masih jadi dedek utun, walau mulai saling mengakrabkan diri pas bocah sih.
"Walau begitu, untuk apa Aku menikahimu? Aku kan masih waras."
Dia menyeringai menatapku dengan tatapan penuh ejekan, Aku menggerutu gak terima dan sesekali memukulinya.
"Memangnya tunanganmu itu secantik apa sih? Kasih tahu dong, Aku kan gak tahu kalau Kamu sudah bertunangan."
Rhys terhenyak, Dia terlihat berpikir sebentar lalu menggulirkan netra kelamnya itu menghindari tatapan curiga dariku. Dia berdehem sebentar lalu kemudian kembali bersikap tenang sambil menengadah menatap dedaunan pohon jengkol.
"Rambutnya panjang dengan warna yang menawan, lirikan matanya sangat mempesona apalagi warna bola matanya yang unik sejak lahir. Lalu..."
Entah kenapa Rhys menjadi terlihat gelagapan sembari sesekali mencuri pandang ke arahku. Kulit wajahnya yang putih itu kini bersemu merah, sepertinya Dia benar-benar menyukainya.
"Dia sangat... Cantik."
Entah kenapa saat melihatnya gugup seperti itu malah membuatku malu sendiri. Apa ini? Apa Aku merasa pede dengan kata-katanya karena ciri-cirinya mirip dengan perawakan tubuhku? Apa Dia itu sedang mengaku-ngaku jadi tunanganku? Ckk, Kau ini... Hehe.
"Wah pasti cantik sekali, dilihat dari cara Kau menceritakannya pasti Dia Gadis yang spesial untukmu."
Hm tunggu dulu, apa Dia sedang menyiapkan kejutan atau hal semacamnya untuk hadiah di hari ulang tahunku yang ke-17? Apa Dia akan menunjukkan tangannya padaku di hadapan para hadirin lalu -BHAM!- Dia mengungkapkan kalau Aku adalah tunangannya? Kyaaah!
"Kalau begitu Kau bawa juga Dia yah, Aku ingin tahu juga."
"Kau yakin?"
"Uh-huh! Iya lah."
"Haha okelah."
Aku tercekat ketika melihatnya terkekeh kecil, tampak dengan jelas kalau Dia terlihat bahagia walaupun hanya membicarakan tentang Orang yang Dia bilang 'Tunangannya' itu. Benar, mari Kita lihat bagaimana cara Kau memperkenalkanku dengan benar di hadapan para tamu pesta ulang tahunku nanti.
~~~~
CLANG!
"H-huh?"
Tubuhku terasa berat, Aku mengerjapkan mataku beberapa kali berupaya mencegah air mataku agar tak luruh. Di hariku yang spesial, Aku tak boleh kelihatan payah. Aku segera membungkuk mau mengambil pisau pemotong kue yang jatuh ke lantai saking terkejutnya akan kedatangan 'Orang itu' dan Seorang Gadis cantik di sampingnya.
"Kak, apa Kau baik-baik saja?"
Adikku, Aryan. Dia lebih dulu mengambilkan pisauku yang jatuh lalu mengelapnya dengan sapu tangan bersih. Aku kembali berdiri dengan benar sambil menyiapkan hatiku tatkala melihat Orang itu berjalan semakin dekat menghampiriku.
"Oh Lilis, maaf telat yah soalnya Aku menjemputnya lebih dulu. Dia dandannya lama sih jadi ya... Gini..."
"Ah Kamu kok bikin malu Aku sih! Yang itu gak perlu di omongin ke Orang lain dong!"
Gadis itu menyikut pinggang Rhys sambil mengerucutkan bibirnya, sementara Rhys terkekeh gembira lalu menepuk-nepuk kepala Gadis itu.
Gadis yang berperawakan tinggi dengan kulit putih mulus dan berparas cantik itu mengerlingkan matanya padaku, rambutnya yang berwarna merah menawan di sanggul membuatnya terkesan anggun.
Hidung bangirnya dan lirikan matanya yang mempesona, rambut disanggul yang sepertinya akan sangat panjang kalau digerai, di tambah lagi Dia sangat cantik. Bukankah itu jauh lebih mirip dengan yang Rhys deskripsikan soal tunangannya waktu itu?
Benar... Dibandingkan denganku, Dia...
"Putri Angelina, Dia... Tunanganku."
"Eh?"
Aku melongo sebentar, walau sudah menduganya sejak Dia datang bersamanya tadi tapi tetap saja Aku ingin menyangkalnya.
Tunangannya... Tunangannya, Rhys bilang Orang ini adalah tunangannya. Lalu bagaimana denganku? Apa Rhys juga menganggapku sebagai 'Orang lain' sama seperti yang dianggap oleh tunangannya tadi?
"Oh begitu ya... Ternyata Kau gak bohong."
Aku mengepalkan tanganku erat dan menyembunyikannya ke belakang pinggangku, Aryan tampak kebingungan, Dia menolehkan kepalanya antara Aku dan Rhys berkali-kali. Tak lama kemudian Dia segera menghampiriku, lebih tepatnya berdiri di depanku.
"Ah Kak Rhys, silahkan dinikmati pestanya. Saya sedang ingin membicarakan sesuatu pada Kak Lilis, silahkan Kak Rhys."
Aku tak bisa melihat ekspresi wajah Aryan saat bilang kata-kata sopan semacam itu, Aku hanya bisa melihat punggungnya yang mulai terlihat lebar dan tinggi badannya yang sudah sepantaran denganku.
"Kalau begitu, Aku berkeliling sebentar yah Lis."
Rhys dan Gadis itu pergi meninggalkan Kami berdua, Aku hanya bisa menatap kepergian Mereka dalam diam. Aryan menegurku dan membuatku kembali tersadar dari lamunan, rupanya dari tadi Aku menarik-narik ujung kemeja Aryan tanpa sadar.
"Kak, udahin aja nih pestanya yuk. Ngapain juga ngeberantakin rumah kek gini, pada berisik pula."
Aku tersenyum sebentar lalu menepuk-nepuk punggung Aryan, kupasang senyum palsu lalu mengambil pisau kue itu dari tangannya.
"Eh sebentar lagi saja, kan tanggung kuenya belum di potong. Lagi pula Mamah yang merencanakan pestanya, Kita harus menghargainya."
"Tapi Kak—"
"Sshh, udah deh ih. Bikin gemes aja nih Adek!"
"Acckk Kakak!"
Aryan meringis ketika Aku menjomel pipinya yang dulu gembul sekarang terlihat tirus dan mulai memperlihatkan rahang tegasnya itu dengan gemas.
"Hei ngapain di situ Dek, kayak bebegig sawah aja! Sini cepetan potong kuenya!"
Kakakku, Ramdan. Dengan setelan jas formalnya di ujung meja besar sana, Dia melambaikan tangannya pada Kami berdua mengisyaratkan untuk segera datang menghampirinya.
"Ayo Kak, potong kuenya yuk."
Aryan cengengesan sambil menggenggam tanganku dengan lembut lalu mengajakku menghampiri Kakak Kami sambil berlarian kecil. Para tamu undangan yang sebagian besar adalah Orang tua itu memfokuskan tatapan Mereka pada Kami bertiga.
Aku berusaha untuk tak memikirkan Rhys sejenak, kupotong kue ulang tahun buatan Ibuku sembari berdoa kepada Tuhan yang maha kuasa, berharap kalau Aku yang akan menjadi pendamping hidupnya suatu hari nanti. Kupotong-potong kuenya diiringi tepukan tangan yang menggema di sekitarku.
Potongan pertama dan kedua diberikan kepada Ayah dan Ibuku. Potongan kue yang ketiga dan keempat kuberikan kepada Kakak dan Adikku, potongan kelima kuberikan kepada sahabat terbaikku. Lalu potongan kue yang keenam... Kusodorkan kepada Rhys.
Rhys hanya menatap kosong kue kecil yang ditempatkan di piring pisin seolah-olah tak berselera, ada apa dengannya? Padahal kan Dia suka makanan yang manis-manis, apalagi kue semacam ini.
"Wah ini untukku? Kyaaah terimakasih! Anda baik sekali~ terimakasih yah! Dan... Dan selamat ulang tahun Nona Bilqis!"
Gadis yang dibawa Rhys itu menyambar kue yang ada di meja dengan cepat, padahal kue itu sengaja kuberikan pada Rhys! Bisa-bisanya Gadis itu bersikap selancang ini!
"Namanya Lilis lah! Bukan Bilqis!" Gertak Kakakku secara tak terduga.
"Ah Lilis ya? Kalau begitu selamat ulang tahun Nona Lilis! Hehe, kuenya enak banget."
Gadis itu cepat sekali memakan kuenya. Ditambah lagi, lihatlah penampilannya yang sekarang! Disekitar bibirnya dipenuhi oleh krim coklat dan sisa-sisa remahan kue bolu yang Dia makan tadi! Ugh... Menyebalkan.
"Hei Putri, Kamu kan bukan anak kecil lagi. Kok bisa-bisanya sih makan masih belepotan gini."
Rhys mengeluarkan sapu tangannya dan mengusap wajah Gadis itu yang terlihat belepotan, Dia berpamitan sebentar untuk pergi menjauh dari Kami karena dinilai tidak sopan. Melihat pemandangan itu membuatku merasa mual, Aku sudah tak berselera memakan kue ulang tahunku sendiri.
Ah tidak, sepertinya karena dari awal kan Aku tak suka makanan manis. Semua kue di sini memiliki rasa manis sesuai permintaanku pada Ibuku setelah tahu Rhys akan datang.
"Dek."
"Hm?"
"Nih makan ini aja, Kakak loh yang membuatnya. Adek kan gak suka makanan manis, ini Kakak buatin makanan favorit Adek."
Kak Ramdan menyuapiku kentang goreng berbalutkan saus keju, berkatnya Aku sedikit terhibur sekarang.
"Adek belajar aja yang bener di sekolah, jangan mikirin dulu cowok. Adek kan masih kecil, belum pantes ah mikirin cowok-cowok semacam itu."
Apa yang Dia coba bilang? Tapi, yah Kita lihat saja kedepannya. Sepertinya saran dari Kakak ada benernya juga.
~~~
"—Lis, hei Lilis!"
"I-iya ada apa?!"
Gosh~ kenapa coba Aku melamun dan mengingat kejadian waktu itu?! Ugh nyebelin ih!
"Guru masuk, jangan melamun mulu! Nanti bisa-bisa kesambet jurig jarian!" Tegur Tiara dengan tampang yang sengaja dibikin horor.
Saat kulihat seisi kelasku, rupanya Raven sudah pergi ke kelasnya dari tadi. Yah karena Aku dan Rhys beda jurusan, jadi kali ini Kami gak sekelas lagi seperti saat di TK, SD dan SMP.
"Hm."
Tiara menggumam sebentar sambil memiringkan kepalanya melihatku dengan serius.
"Apa jangan-jangan, Kamu sedang merenung dan menyesal telah memperlakukan Rhys seperti tadi? Iya kan? Bener kan? Ayo ngaku deh."
"Ih apaan sih, gaje banget."
"Heleh, ngaku aja."
"Hei, ya enggaklah!"
"Kyahaha!"
~~~
"Lis!" Panggil Rhys saat Aku baru menginjakkan kakiku di gerbang sekolah.
"Apa?"
Aku menjawabnya dengan sinis, maaf saja Aku jadi bersikap seperti ini. Karena Aku kan sudah memantapkan hatiku untuk berhenti mengejarmu, apalagi situasiku benar-benar sudah mendukung.
"Kok sikapmu gitu sih? Bukannya Kita ini selalu pulang bareng?"
"Oh itu?"
Aku merogoh saku seragamku dan menekan tombol keyboard di benda pipih yang canggih untuk menelepon Seseorang. Orang yang ingin kutelepon ternyata mengangkat panggilan dariku hanya beberapa detik setelah tombol memanggil dipencet.
"Halo Kak Ramdan, jemput Lilis dong. Lilis ada di—"
TUUTS...
Panggilan telepon dariku di akhiri secara sepihak oleh Kakakku, apa ini? Dia menolak untuk menjemputku?
"Lilis!" Teriak Seseorang di depanku.
"Astaghfirullah! Kakak!"
Aku terperanjat kaget ketika mendapati Kakakku ternyata sudah ada di depanku dengan motor ninjanya. B-bagaimana bisa?! Padahal kan Dia baru saja mematikan telepon dariku, tapi kok tiba-tiba sudah ada di depanku saja?!
"E-ekhem, pokoknya gak usah khawatir. Mulai sekarang Aku akan pulang bareng Kakakku saja." Ucapku sembari menghiraukan Rhys yang ingin berbicara padaku.
Aku segera berlari mendekati Kakakku dengan cepat, Dia ini seolah-olah mengawasiku saja sehingga bisa menghampiriku kapan pun sama seperti ini.
"Sini tasnya! Biar Kakak yang menggendongnya! Tasnya berat nih, Kakak takut Kau patah tulang karena terus menggendongnya."
"H-hei mana bisa begitu!"
Wajahku memerah merasa malu dengan ucapannya yang tak masuk akal dan terkesan berlebihan itu, memangnya Aku ini apa di matanya? Kok bisa-bisanya patah tulang hanya karena menggendong tas yang beratnya saja kurang dari setengah kilo.
Tapi tetap saja Aku memberikan tasku padanya secara suka rela, karena kalau tidak diberikan padanya sesuai keinginannya, bisa-bisa urusannya jadi ribet nanti.
"Ayo berangkat Kak."
Aku berpegangan pada Kakakku dengan mencengkeram bajunya, kulirik sebentar Rhys lalu tersenyum samar padanya.
"Selamat tinggal, Rhys."
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, Aku memanggil namanya dengan benar. Karena selama ini Aku selalu memanggilnya dengan sebutan 'Rais' biar terkesan spesial. Namun kali ini... Semuanya sudah berakhir untukku.
Sebelum benar-benar pergi, kulihat matanya melebar dan mulutnya sedikit menganga tak percaya, sudah kuduga Dia akan bereaksi seperti ini.
Hah~ bodo amat.
"Pegangan yang kenceng Dek, takut kejengkang nanti. Ah iya, Kami pulang dulu ya Dek Rhys."
BRMMM~