"Dek, tadi Kakak pura-pura gak kenal Rhys bagus gak menurut Adek?"
"Huh? Oh itu... Haha ya gitu lah." Jawabku canggung ketika menanggapi pertanyaan Kakaknya Lilis, Ramdan.
Oh jadi tadi itu Dia pura-pura tak mengenalku? Yeah, masuk akal juga sih kalau Dia marah padaku karena Adiknya sakit hati olehku dulu.
Huft... Sebenarnya kenapa semuanya jadi kacau begini sih? Padahal Aku gak bermaksud membuat Lilis sampai berubah begitu.
"Tapi Dek, kok Dia bisa tahu tanda lahirmu? Apa Adek yang memberitahunya? Jangan bilang kalau Dia yang mengeceknya sendiri pada tubuh Adek?!"
Tunggu, Apa?! Bagaimana mungkin Aku melakukan hal tak bermoral seperti itu?! Itu karena dalam tubuhku tadi adalah Adikmu! Makanya Dia tahu itu karena tubuh ini adalah tubuhnya!
"Oh haha, itu Adek yang kasih tahu Dia pas kecil." Jawabku dengan mengeles yang disertai rasa bersalah.
Hm, apa Lilis benar-benar merubah sikapnya terhadapku? Apa Dia benar-benar ingin melupakanku? Argh, tidak! Tidak mungkin! Itu tidak boleh!
Tapi... Aku tak bisa menyangkalnya juga. Lambaian tangannya yang dibarengi dengan senyuman manis, mata merahnya yang berkilauan ketika memperhatikanku, kata-kata dan tingkah konyolnya yang selalu bisa membuatku tertawa kecil, itu semua... Sudah hilang.
Seharusnya, Aku tak memperlakukannya dengan dingin. Aku harus mulai memperbaikinya dari mana yah?
•••
Namaku Rhys Haizal, Aku adalah Anak pertama dari pasangan suami-istri yang menikah karena perjodohan. Dari lahir, Aku tak pernah mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari kedua Orang tuaku. Mereka lebih memilih pekerjaan Mereka dibandingkan dengan memberi sedikit cinta padaku.
Aku dibesarkan oleh pengasuh, mirisnya Aku malah lebih menganggap pengasuhku itu adalah Orang tua kandungku. Mbok Minah, Dia adalah Seorang Janda paruh baya yang mencurahkan kasih sayangnya padaku bak Seorang Ibu. Dari bayi hingga remaja SMP, Aku tak pernah bisa bercengkerama dengan kedua Orang tuaku. Mereka selalu berangkat kerja dari dini hari hingga pulang pun pas larut malam saja.
Apalagi sekarang keluarga yang senyap ini bertambah dengan hadirnya Adikku, Dia 3 tahun lebih muda dariku. Namanya Rias Faizal, Dia juga di abaikan oleh Orang tua Kami sama sepertiku dulu.
Ketika umurku tepat 5 tahun, Mbok Minah mengajak Kami berdua ke suatu tempat. Rumah yang terbilang cukup sederhana dari luar namun istimewa dari dalam. Rumah itu dihuni oleh satu keluarga kecil yang terdiri dari Ayah yang ramah, Ibu yang penyayang, Kakak Laki-laki yang perhatian, Anak Perempuan yang ceria dan Anak bungsu yang menggemaskan.
Aku sangat canggung saat berada di rumah ini, Mbok Minah di sana sedang memapah Rias sambil bermain bersama dengan Anak bungsu keluarga ini. Sementara Aku terdiam tak tahu harus melakukan apa ketika berada di rumah orang, di tambah lagi Aku adalah Orang yang pemalu.
"Woah Abang Rhys udah gede ya, kok gak main-main ke sini sih? Terakhir kali Bibi lihat kalau Kamu itu masih bayi merah, eh tahu-tahu sekarang udah jadi Anak gemesin aja." Celoteh Wanita yang terbilang masih cukup muda, Dia seusia dengan Ibuku.
Aku menunduk malu tak berani menatapnya secara langsung, Aku tak pernah melihat warna mata dan rambutnya yang sangat unik itu. Apa itu hasil di warnai atau memang warna alami? Yang jelas Wanita itu menurunkan gennya pada Anak tengah dan Anak bungsunya, tapi menurutku Putrinya jauh lebih mirip dengannya.
"Rhys, nih makan singkong rebusnya. Enak dan bikin kenyang, Paman sendiri loh yang mencabutnya di kebun tadi pagi." Pria yang sedang menyuapi Putrinya makan singkong rebus itu pun menyodorkan sepiring penuh singkong padaku.
"Uhm... Itu..." Aku sedikit ragu ketika ditawari makanan yang tak pernah kumakan.
"Oh, apa Adek Rhys mau Kakak suapi?" Kata Anak Laki-laki sekitar 10 atau 11 tahunan sambil menghampiriku.
"Uhm tidak Kak, uh... Mbok, apa Aku boleh makan ini?"
Tanyaku hati-hati pada Mbok Minah karena takut jika Aku memakannya maka Mbok Minah akan dihukum Ibu karena makanan ini adalah salah satu makanan yang dilarang oleh Ibuku untuk kumakan.
"Oh tentu saja Ujang Rhys, makanan itu enak kok. Coba saja dulu sedikit, nanti kalaupun Ujang gak suka ya udah gak usah dimakan ya." Sahut Mbok Minah sambil tersenyum lebar padaku.
(*Ujang adalah sebutan dari Orang yang lebih tua untuk memanggil Anak Laki-laki yang jauh lebih muda)
Iya, benar juga. Kalaupun Aku gak suka kan tinggal gak usah dimakan aja, lagi pula kalau menolak mentah-mentah pemberian dari Tuan rumah itu akan sangat tidak sopan.
"Ini."
"Uh?"
Manik mata merah hati yang bulat, pipi gembulnya disertai rona kemerahan, rambut merahnya yang masih pendek dengan warna turunan dari Ibunya di kuncir dua. Jari-jemari tangannya yang bentet itu memegang piring berisi singkong rebus, dan Dia menyodorkannya padaku.
"Makan ini dan tersenyumlah, senyum kayak Lilis ya! Hehe." Ucap Anak Perempuan itu disertai senyuman manisnya.
"I-iya." Jawabku gagap sambil meraih piring itu dari tangannya, tanpa sengaja jariku bersenggolan dengan jari-jemarinya yang terasa hangat.
Lilis, katanya namanya adalah Lilis. Aku tersenyum tipis sambil berusaha menyembunyikan wajahku yang tersipu. Anak itu dari awal kunjunganku sampai Aku, Mbok Minah dan Rias mau pulang pun Dia tetap menempel padaku. Entah kenapa, Aku merasa nyaman dan ingin terus bersama dengannya lebih lama lagi.
~~~
"Hm, Mbok Minah. Bagaimana Seseorang bisa tahu kalau ada Orang yang menyayanginya?" Tanyaku polos pada Mbok Minah yang sedang memasak bubur untuk Rias.
"Duh gimana ya, Ujang Rhys kan masih kecil jadi mana mungkin akan mengerti kalau Mbok jelasin."
"Contoh perlakuan kecil aja Mbok, yang bisa di mengerti oleh Orang yang di sukai." Desakku ngotot karena Aku sangat penasaran sekali bagaimana cara mengekspresikan rasa sayang pada Seseorang.
Mbok Minah menekuk lututnya untuk menyamakan tubuhnya agar sama denganku yang masih menjadi bocah TK ingusan ini.
"Ehm... Mungkin begini... Chuu~"
Aku tersipu malu ketika Mbok Minah mencium pipiku dengan gemas, Dia kemudian kembali melanjutkan memasaknya yang tertunda sebentar olehku. Senyuman lebar terpampang di wajah bulatku, Aku segera berpamitan pada Mbok Minah dan bilang padanya kalau Aku ingin bermain ke rumahnya Lilis sebentar.
Walaupun Aku dan Dia baru dekat beberapa bulan sejak Kami saling mengenalkan diri, tapi Aku sudah mempunyai perasaan tersendiri padanya. Aku hanya ingin Dia menghabiskan seluruh waktunya bersamaku, Aku mau kalau Kami menua bersama nanti sampai ajal datang memutuskan tali kehidupan Kami berdua.
"Lilis!"
Teriakku sesaat setelah turun dari mobil pribadiku hingga membuat Lilis yang sedang bermain membuat kue dari tanah itu pun terkejut.
"Rais?"
Lagi, Dia anehnya selalu memanggil namaku seperti itu. Tak kupedulikan rasa penasaranku atas nama panggilanku darinya, Aku pun segera berlari kecil kearahnya disertai suasana hati ceria.
Tangan kecilnya yang belepotan tanah itu disusutkan pada roknya, tak luput juga dari perhatianku ada tanah yang menodai pipinya.
"Ada apa?" Tanyanya polos sambil mengusap-usap pipinya, sepertinya Dia merasa ada sesuatu di atas pipi tembemnya yang seperti kue mochi itu.
"Itu, kalau udah besar Lilis mau tinggal bersama siapa?" Ujarku basa-basi karena tiba-tiba rasa malu menyerangku.
"Huh? Kenapa Rais menanyakan hal yang bodoh? Tentu saja Lilis akan tinggal bersama dengan Mamah, Bapak, Kakak dan Adeknya Lilis."
"Bu-bukan itu maksudku! Itu... Maksudnya, besar nanti Lilis akan menikah sama siapa?"
Ya ampun, malu sekali. Kenapa Aku harus bertanya seperti ini diumur segini?
"Menikah itu apa?" Lilis memiringkan kepalanya tak paham akan perkataanku.
"Sesuatu yang dilakukan Ayah dan Ibu Kita,"
"Memangnya mereka melakukan apa?"
"Er... Aku tidak tahu, dari yang kulihat sih Mereka berdua tinggal bersama dalam satu rumah lalu tiba-tiba ada Aku."
Lilis diam kebingungan, bukan hanya Dia saja yang merasa bingung, Aku sendiri yang bilang kata-kata semacam itupun menjadi bingung dengan apa yang baru kubilang.
"Gak tahu ah, Lilis gak ngerti hal begituan. Mending main masak-masakan, kalau Rais?" Lirik Lilis sebentar lalu kembali berkutat bermain membuat kue dari tanah.
Kujomel pipinya dengan pelan sekaligus mengusap tanah yang menodai pipi empuknya itu, sang empu hanya mengaduh kecil sambil sesekali menatapku tajam.
"Tinggal bersama..."
"Uh? Apwa?"
"Kalau besar nanti, Aku ingin menikah dan tinggal bersama dengan Lilis."
BLUSH!
Wajah bulatku memerah sempurna sampai ke daun telinganya juga, berbanding terbalik denganku yang berusaha menahan malu secara mati-matian, Lilis malah menatapku datar seolah-olah tak mendengar ucapanku barusan.
Itu benar, jika sudah besar nanti Aku ingin menikah dengannya lalu tinggal bersama. Semenjak mengenal Lilis beberapa bulan ini, hari-hari suramku selama ini perlahan-lahan kian mengikis karena Dia menaruh perhatian besar terhadap keberadaanku.
"Oh Kau mau menginap seharian dirumahku?"
"Uh bukan!'
"Ya terus apa? Tinggal bersama itu juga bisa berarti menginap dirumah Orang lain kan?"
Hah?! Sebenarnya Dia ini mengerti perkataanku atau nggak sih?
"..."
"...'
Kami berdua terdiam sambil saling bertatapan satu sama lain, pikiran Kami pun larut diantara keheningan yang tercipta dengan penuh rasa canggung ini.
"Pfft... hahaha."
Lilis terkekeh kecil, matanya menyipit membuat manik merah cantik itu tersembunyi diantara seluk beluk bulu matanya yang lentik. Pipi chubbynya terlihat semakin mengembang disertai senyuman dari deretan gigi susu yang berlubang.
Aku tersenyum tipis saat menatapnya yang menampilkan raut wajah bahagia itu, perasaan dari hatiku yang menghangat secara perlahan dan terasa sangat spesial ini takkan pernah kulupakan. Anak Perempuan itu... Adalah Orang yang sangat berharga dalam hidupku.
Aku harap, Dia akan terus bersamaku seperti ini mulai dari sekarang dan selamanya. Aku, Rhys Haizal. Sepertinya mulai menyukai Gadis kecil dengan kepribadiannya yang unik ini.
CHUP~
"Huh?!" Lilis menolehkan wajah bengongnya padaku sesaat setelah kucium pipinya.
"Hik... Hiks... Kak Ramdaaan~ huwaaa~ Rais mau gigit Lilis Kak! Huwaaah~"
L-loh?! Kok gini sih? Kenapa Lilis pergi berlari ke rumahnya sambil menggosok-gosok pipinya yang bekas kucium dengan ujung bajunya? Dan, kenapa reaksinya beda sekali dengan reaksiku ketika dicium oleh Mbok Minah?
"..."
Sejak hari itu, Lilis selalu menjaga jarak dariku karena katanya Dia takut kalau Aku menggigitnya lagi. Dan sejak hari itu pula lah, Aku mulai berusaha menyembunyikan perasaanku padanya yang sebenarnya agar Dia tak merasa terganggu lagi olehku. Aku tak ingin Dia semakin menjauhiku, jadi Aku putuskan untuk pura-pura tak peduli dan bersikap dingin padanya.
~~~
"Woy! Woy! Cepetan lihat ke kelas 2 yuk! Katanya si Kakak kelas 6 sedang gelud sama Adek kelas cewek cantik yang masih kelas 2!"
"Wah beneran nih?! Lihat yuk!"
Aku yang sedang menuju WC sekolah tak sengaja mendengar percakapan murid Laki-laki kelas 4 SD yang berlarian menuju ke kelasku. Ck, apa-apaan Mereka itu? Seperti bukan Seorang pelajar saja.
"Gila, si Kakak kelas berani bener tuh motong rambut Anak cewek itu,"
"Cewek dengan rambut kayak gitu emang pantes tuh buat di potong. Masih kelas 2 SD kok berani-beraninya mewarnai rambutnya dengan warna ngejreng, matanya juga nyeremin wkwkwk, merah nyala kayak hantu aja."
DEG!
Jantungku serasa berhenti berdetak dalam beberapa saat, kata-kata yang dilontarkan oleh Orang-orang itu sontak membuatku segera berputar arah dan langsung berlari secepatnya kembali menuju kelasku.
Cewek berambut merah yang ada di kelasku... Jelas sekali kalau itu adalah Lilis! Kumohon, jangan biarkan sesuatu terjadi padanya!
Kuterobos kerumunan murid-murid yang menghalangi pintu kelasku ini dengan liar, dari luar Aku bisa mendengar suara gemetar Lilis yang sedang mengiba dan memohon ampun pada Orang yang menghajarnya.
"Minggir! Minggir! Jangan menghalangi jalanku!" Aku berteriak-teriak dengan keras seperti Orang yang kesetanan.
Bagaimana Aku tak tersulut emosi? Orang sebanyak ini yang berkumpul disekitar kelas tapi tak ada satupun yang berniat menolongnya! Bahkan tak ada yang mau memanggil guru!
"Lilis!" Panggilku harap-harap cemas setelah berhasil melewati murid-murid sialan itu.
"H-huh? Ra-rais?!" Jawab Lilis terbata-bata sambil menampilkan ekspresi terkejut di wajahnya yang tampak kacau.
"Li... Lis?"
Sial! Duniaku benar-benar terasa hancur! Aku menggigit bibir bawahku menahan rasa perih di dada saat melihat Gadis kecil yang baru berumur 8 tahun itu mencoba mengumpulkan helaian demi helaian rambut panjangnya yang tercecer di lantai.
Pipinya tampak kusut dan terlihat kontras sekali dengan kulit putihnya kalau ada jejak bekas tamparan, rambutnya yang dalam 3 tahun terakhir sudah tumbuh sepanjang pinggang dan selalu Ia pamerkan padaku sudah sepenuhnya berantakan. Dilihat dari benda yang dipegang oleh Kakak kelas kurang ajar itu, Aku bisa menyimpulkan kalau Dia memotong rambutnya Lilis menggunakan cutter.
"Aduh Rais, kok cepet sekali kembalinya? Aku kan jadi malu kalau Kau melihatku yang seperti ini." Oceh Lilis sembari menampilkan senyuman terpaksa, di dengar dari suaranya yang kian memberat, Aku yakin sekali kalau Dia bisa menangis dengan kencang kapan saja.
Aku benci itu! Aku benci Dia yang pura-pura baik-baik saja! Lihat, tangan kecilnya yang berusaha menutupi rambut kepalanya dariku itu terlihat gemetaran.
Kugertakkan gigiku lalu segera berlari menerjang Orang brengsek yang berani-beraninya memperlakukan Lilis seperti itu, walaupun Aku tahu kalau tenagaku sangat lemah, tapi setidaknya Aku harus melindungi Lilis!