"Ugh..." Aku meringis kecil sambil menempelkan es pada luka lebam yang ada di sekitar mata kiriku.
"Hiks... Hiks... Aku kan sudah bilang jangan melawan." Kata Lilis sesenggukan dibalik kardus mi bekas yang sengaja Ia gunakan untuk menutupi kepalanya.
Kami berdua sudah pulang sekolah, namun sepertinya Dia masih belum berani untuk pulang ke rumah, apalagi dengan penampilan seperti itu. Wajahku bonyok gara-gara dipukuli oleh Kakak-kakak kelas yang lain, Aku sih bodo amat, toh penghuni rumahku tak akan pernah peduli pada keadaanku selain Mbok Minah.
"Hei, ngapain nutupi kepalamu dengan kardus?" Tanyaku heran sambil mencoba meraih kardus itu, namun ternyata Lilis lebih cepat menjauhkan dirinya menghindari gapaian tanganku.
"Jangan lihat, ini jelek." Ucapnya parau.
"Hei, tak apa. Menurutku rambutmu itu masih sama cantik kok."
"Bohong! Aku tahu ini jelek! Semuanya membenciku gara-gara rambut ini! Kau juga sama saja iyakan?" Lilis mengicau pelan, suaranya terkandung banyak sekali emosi.
"Kenapa Kau berpikiran pendek seperti itu? Aku tak membencinya! Apalagi membencimu!" Gertakku kesal, kutatap Dia sekali lagi yang kini memalingkan wajahnya yang tertutup kardus padaku.
"Biar kutanya, apa Kau sangat membenci rambutmu?"
Aku melembutkan suaraku dan perlahan tapi pasti melepaskan kardus mi dari kepalanya, Dia hanya menatapku sebentar dengan mata bulatnya yang terbelalak lalu menundukkan wajahnya lesu.
"Yeah, karena rambut ini membuatku merasa terasingkan. Memangnya siapa coba yang mau punya rambut kayak gini, Aku kan memang terlahir seperti ini."
"Jangan mengucapkan kata-kata konyol itu, seharusnya Kau tak boleh membenci anggota tubuhmu sendiri." Omelku ketus sambil merobek-robek kardus ini untuk membuat sesuatu.
"Loh, memangnya kenapa gak boleh?" Sahut Lilis sambil menatapku penasaran, manik mata merahnya membulat dan terlihat berkilauan.
"Semua anggota tubuhmu itu adalah warisan dari Orang tuamu, Kau terlahir dari 2 hati yang saling mengikrarkan cinta dan membuat ikatan antara keluarga yang sangat erat."
PLUCK~
Aku memasangkan mahkota kecil yang kubuat dari kardus mi tadi ke atas kepalanya Lilis, kusibakkan potongan poninya yang berantakan dan kusampirkan ke belakang telinganya.
"Kau pasti bertanya-tanya kenapa Kau dilahirkan dengan kondisi seperti itu kan? Kau bahkan pernah berpikiran kenapa Kau tak dilahirkan saja. Hei..."
Aku menopang daguku sambil menatapnya seksama, kulihat Dia terlihat gugup menanti kata demi kata yang akan Aku ucapkan padanya.
"Menurutmu, kenapa sih Kau lahir?" Tanyaku santai, Aku kemudian memetik bunga pekarangan rumah Orang yang ada di sampingku ini dan menghirupnya sebentar.
"Um... Karena mungkin sudah takdirnya?"
Aku terdiam sebentar ketika mendengar jawaban klise darinya, melihat kepolosannya itu membuat sudut bibirku sedikit tertarik dan menampilkan sebuah senyuman tipis.
"Iya, Kau benar kalau itu sudah ditakdirkan. Tapi yang jauh lebih spesialnya lagi itu adalah..."
Aku menyelipkan bunga itu pada belakang telinganya Lilis.
"... Karena Mereka mengharapkan kehadiranmu."
"Eh?!"
"Kenapa? Apa Aku salah? Kehadiranmu itu menjadi anugerah tersendiri untuk keluargamu. Kau mungkin tak menyadarinya, tapi percayalah... Jauh dalam lubuk hati Mereka, Mereka itu sangat menyayangimu yang merupakan kombinasi duplikat diri Mereka sendiri."
Ha, lucu sekali! Aku sendiri saja tak percaya kalau keluargaku menyayangiku, bisa-bisanya Aku mengatakan hal semacam ini pada Orang lain. Tapi...
"Huks... Huw... Huwaaa! Ma-maaf, Aku tak benar-benar membenci anggota tubuhku. Hu-huwaaa~"
... Untuknya sepertinya tak masalah, Aku akan melakukan apapun demi membuatnya senang dan tak membiarkannya menderita seperti tadi. Sepertinya, Aku harus mulai belajar beladiri.
~~~
"Uwaaah! Aku rangking satu! Lihat Rais, Aku rangking satu kali ini!"
Gadis remaja berumur 14 tahun itu meloncat-loncat kegirangan sambil terus mengunci pandangannya pada buku raport di tangannya. Biasanya Aku yang selalu bertahan dalam posisi juara satu setiap tahunnya di setiap kelas, namun kali ini Aku sengaja mengalah dan membuatnya menjadi Seorang juara kelas di tahun ini.
"Kau sesenang itu?"
Apanya yang senang tentang itu? Ketika Aku menunjukkan peringkat rangkingku pada kedua Orang tuaku, Mereka hanya bereaksi biasa saja. Bahkan Ayah bilang padaku kalau itu bukan apa-apa dibandingkan dengannya dulu.
"Uhm, senang banget lah. Oh Rais Kau rangking berapa?"
Aku memandang Gadis yang sebangku denganku dengan datar, anehnya Dia tak bosan-bosannya tersenyum cerah padaku seolah-olah Dia itu akan selalu memperlakukanku seperti ini selamanya.
"Hanya rangking 5, bukan yang spesial."
"Kenapa peringkatmu menurun drastis? Bukannya Kau itu yang selalu menyapu bersih juara kelas di setiap tahunnya?"
Memangnya untuk apa? Toh Ayah dan Ibuku saja tetap membandingkan prestasiku dengan prestasi Mereka saat dulu. Itu membuatku menjadi malas dan kehilangan semangat.
"Malas aja, gak ada yang peduli juga."
"Heee?! Tapi Aku peduli kok!"
Dia... Gadis itu, mengelus rambutku dengan cengengesan.
"Kau sudah bekerja keras, mana mungkin Aku tak memperdulikannya? Lalu jika Kau mendengar perkataan buruk dari Seseorang..."
Gadis kecil itu menangkup kedua pipiku dan memaksaku saling bertatapan dengannya, wajah mungilnya memiliki rona yang sama dengan warna rambut panjangnya.
"Tutuplah rapat-rapat telingamu dan abaikan Mereka, Kau hanya perlu menyaring kata-katanya saja! Jika perkataan baik maka Kau harus dengarkan namun jika perkataan buruk, Kau tak boleh mendengarnya."
Ah... Sial! Sekali lagi, Aku jatuh ke dalam pesonanya.
"Baiklah..." Aku tersenyum kecil padanya dan memalingkan wajahku yang terasa semakin memanas.
"Ehehe, gitu dong! Itu baru Raisku!"
Mulai dari hari itu, Aku selalu belajar dengan giat demi mendapatkan juara satu. Tujuanku mendapatkan rangking itu bukan untuk diperhatikan oleh Orang tuaku, melainkan karena Aku ingin dipuji oleh Gadis polos itu lagi.
~~~
"Hei, Kau akan datang besok ke rumahku kan? Besok hari ulang tahun calon Istrimu loh, jadi pastikan untuk datang yah."
Lilis, Anak Perempuan berpipi gembul waktu dulu itu kini sudah jadi Gadis muda sepenuhnya. Kecantikannya semakin menguar seiring berjalannya waktu membuatku merasa risih ketika melihatnya dikagumi oleh banyak Pemuda lain di luaran sana, karena itulah Aku lebih banyak bersamanya sepanjang waktu sesering mungkin.
"Omong kosong, siapa yang bilang siapa tentang calon Istriku?" Dengusku tanpa sedikit pun menoleh padanya.
Well, yeah. Bukankah itu sudah jelas kalau Dia membicarakan dirinya sebagai calon Istriku? Harapanku sih begitu, tapi rasa takut mulai merayapi hatiku. Aku tak mau jika Lilis ternyata pura-pura menyukaiku selama ini sama seperti Ibu yang pura-pura mencintai Ayah.
PATS~
Eh tunggu?! Kenapa bahuku...?
"Tentu saja Aku, Aku kan calon Istrimu di masa depan nanti!"
Wangi harum shampo yang menyeruak dari pucuk kepala merahnya menusuk hidungku, hanya dengan mencium baunya secara tak sengaja saja sudah membuat wajahku memanas. Aku sudah tak bisa fokus lagi membaca buku, ah tidak! Dari awal kan Aku memang tak fokus membaca bukunya dan hanya pura-pura saja.
Kuputar kepalaku bagaikan robot dan kupelototi dirinya, Aku tak ingin menunjukkan wajah konyol ini dihadapannya! Bisa-bisa harga diriku jatuh!
"Gila! Menjauh sana! Kau menggangguku!"
Sentakku sambil menghentakkan bahuku supaya Dia tak terus-terusan menyenderkan kepalanya padaku. Tapi tetap saja, si Gadis berkepala batu itu tetap bersikeras menyandarkan kepalanya pada bahuku.
"Jangan malu-malu gitu ah, bisa-bisa Kau nanti merasa malu karena sudah mengingkari kata-katamu. Kita kan gak pernah tahu gimana masa depan Kita nanti."
Aku terdiam, ucapannya yang biasanya sembrono dan tak pikir-pikir panjang itu ternyata ada benarnya juga. Dia kembali menyenderkan kepalanya pada bahuku, kali ini Aku tak mencoba membuatnya menjauh dariku. Saat Aku merasa Dia terus menatapku, kugulirkan manik mata legamku ini dan bertatapan langsung dengan manik merah cerah miliknya.
Jantungku berdebar tak menentu, segera kusingkirkan helaian anak rambutnya yang terlihat mengganggu itu ke belakang telinga. Anak yang dulu menangis meraung-raung sambil bilang padaku kalau Dia membenci rambutnya itu kini sudah tumbuh dewasa, Dia memanjangkan rambutnya yang Dia benci hanya karena Aku bilang kalau Aku menyukai rambut panjangnya.
"Bodoh." Aku tersenyum tipis sembari memikirkan sebuah ide untuk mencari tahu apakah Dia benar-benar tulus mencintaiku atau tidak.
"Aku kan sudah punya tunangan, buang mimpimu yang tak berguna itu dan berhenti menggangguku." Ujarku bohong.
Kusenderkan tubuhku ke batang pohon, mataku terpejam santai menikmati segarnya udara di sekitar sini. Tak lama kemudian, Aku merasakan beberapa jari lentik yang kini menyibakkan poniku membuatku kembali tersadar.
"T-tapi kan Kau belum menikah, itu artinya Aku masih punya kesempatan kan?" Ocehnya asal-asalan.
Ah benar-benar, sepertinya Aku akan jadi gila karenanya.
"Walau begitu, untuk apa Aku menikahimu? Aku kan masih waras."
Aku menyeringai dan menatapnya dengan tatapan mengejek, dan Dia tentu saja memukuliku dibarengi pipinya yang menggembung gemas. Itu benar kok, untuk sekarang Aku masih waras. Tapi untuk kedepannya, Aku tak tahu apa yang akan kulakukan padanya nanti.
"Memangnya tunanganmu itu secantik apa sih? Kasih tahu dong, Aku kan gak tahu kalau Kamu sudah bertunangan."
Ya karena itu kan cuman omong kosong doang, Aku gak benar-benar bertunangan. Tunggu sebentar, jika Aku menyebutkan ciri-ciri Gadis yang kusukai... Apa Dia akan sadar dan peka terhadap perasaanku?
"Rambutnya panjang dengan warna yang menawan, lirikan matanya sangat mempesona apalagi warna bola matanya yang unik sejak lahir. Lalu..."
Kulirik Dia diam-diam, segera saja kupalingkan wajah meronaku tatkala Dia memergoki lirikan mataku. Aku sangat-sangat merasa malu sekarang, ingin sekali kusembunyikan diriku di lubang apapun yang tak diketahui Orang-orang.
"Dia sangat.. cantik."
Oh man! Apakah Aku terlalu gamblang menceritakannya? Ugh... Rasa-rasanya Aku akan mati karena rasa malu yang menumpuk.
~~~
"Rais, lepaskan Aku."
"Diam! Aku akan membawamu sampai ke bangku kelasmu."
"Lepasin saja, Aku bisa pergi sendiri!"
Hari ini, Aku merasakan Lilis kembali bertingkah tak seperti biasanya
"Ah bawel banget sih, Aku bilang kan tinggal diam—"
"AKU BILANG LEPASKAN AKU!"
PAKK!
Huh?!
"Kenapa Kau?!" Tanyaku pelan dengan suara yang mulai terasa berat.
Tubuhku terasa kaku dan hatiku sangat gelisah tak menentu ketika menatap matanya, bagaimana tidak? Sorot mata itu baru pertama kali kulihat darinya semenjak Dia selama ini selalu menatapku dengan berbinar-binar. Namun kali ini, sorot mata berbinar itu sudah lenyap tergantikan dengan pandangan mata tajam yang terasa familiar. Yup, tatapan matanya sekarang sangat mirip dengan tatapan mata Ibuku ketika bertengkar dengan Ayah.
"Jangan rusak mood-ku, Aku ini sedang gak baik-baik saja. Kau pikir melakukan hal semacam ini tuh gampang apa?"
Apa maksudnya? Kenapa perasaanku semakin tidak nyaman?
"Apa maksudmu?!"
Kutanya Dia dengan menggemeletukkan gigiku, kedua tanganku terkepal menahan emosi berusaha untuk bersiap dengan jawaban apapun yang terlontar dari mulutnya.
"Singkat saja, seharusnya Kau sudah tahu kenapa Aku bertingkah seperti ini." Sahutnya sengit dengan seringaian tipis yang terpampang di wajah ayunya.
"Aku itu sudah lelah berpura-pura suka padamu dari sejak kecil!"
DEG!
Jantungku serasa dihujami oleh sesuatu yang berat dan tajam, apa katanya tadi? Dia bilang kalau selama ini Dia berpura-pura menyukaiku semenjak masa kecil Kami? Apa itu serius? Saat kutatap matanya lagi, Aku berharap ada kebohongan yang tersirat di dalamnya namun... Ternyata tak ada. Sepertinya Dia benar-benar berkata jujur.
"Benar-benar menyebalkan tahu! Udah ah, minggir sana! Kau menghalangi jalanku!"
BHAKK!
Dengan sengaja Dia menabrakku yang masih terdiam mematung, Aku masih belum bisa mempercayai ucapannya barusan. Segera kutahan pergelangan tangannya dengan tanganku yang terasa gemetaran.
"Apaan sih?! Lepasin dong! Aku mau masuk!"
"Jelasin dulu apa maksudmu barusan!"
Tolong jelaskan kalau itu semua hanya candaanmu semata! Tolong bilang kalau Kau tak serius berkata seperti itu! Oke, Aku tak mempermasalahkannya jika dulu Kau memang berpura-pura menyukaiku. Tapi kumohon jangan menjauh dariku dan tetap bersama denganku meskipun kebaikan yang Kau berikan padaku semuanya palsu.
"Ckk... Bukankah ini membuatmu bahagia? Toh Aku jadi tak akan mengganggumu dan kehidupanmu yang damai itu."
Tidak! Bukan itu yang kumau!
"Percuma juga jika Aku menjelaskannya secara mendetail karena otakmu yang kek otak udang itu gak akan paham. Hm... Intinya Tuan muda Rais, padahal Aku ingin mengatakannya dari setahun yang lalu tapi... semoga hubunganmu dengan tunanganmu langgeng ya."
Apa? Lilis tak pernah mengucapkan sepatah kata pun yang terdengar kasar kepadaku ataupun kepada Orang lain. Lalu kenapa Dia...?
Tunggu, Dia bilang sesuatu tentang tunanganku dari setahun yang lalu? Itu kan tunangan bohongan saja untuk membuatnya cemburu! Apa Dia benar-benar salah paham akan itu? Tidak! Seharusnya Aku tak membohonginya waktu itu!
"Apa? Ha... Konyol sekali! Jadi Kau bertingkah kekanak-kanakan begini itu hanya karena kejadian setahun yang lalu?!"
Aku harus minta maaf dan menjelaskan yang sebenarnya padanya, tapi Dia menghempaskan tanganku dengan kasar dan mengacungkan jari tengahnya padaku disertai ucapan yang kasar.
"Woi Rais! Shut the f*ck up!"
BRAKKK!
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, Aku merasa gelisah dan takut kehilangan Seseorang yang menempati tempat yang paling spesial dihatiku. Duniaku seakan hancur berkeping-keping saat melihat Gadis yang tak bosan-bosannya mengekoriku kemana pun Aku pergi, namun kini terus berusaha menghindariku. Aku berusaha mencari perhatiannya untuk menjelaskan situasinya tapi dengan kerasnya Dia mendorongku menjauh dari kehidupannya lagi.
'Aku... Benar-benar menyesal.'
"Jika Kakak benar-benar menyesal, Kakak harus memperlakukannya dengan baik di lain waktu "
Seorang bocah Perempuan kecil yang entah bagaimana caranya masuk ke lingkungan sekolah ini, bicara sesuatu yang tak masuk akal padaku ketika hendak menemui Lilis yang katanya sedang ada di belakang sekolah.
"Si Kakak berambut merah itu benar-benar baik loh, Aku kan gak rela jika ada Orang yang menyakitinya."
Kuabaikan Anak aneh itu dan bergegas menaiki tembok belakang sekolah, kulihat ada Gadis cantik bersurai panjang tengah memanjat pohon jengkol.
"Ugh, Kakak gak asik ah. Gak kayak si Kakak berambut merah. Uhm yah pokoknya..."
JTAKKK!
"Di kesempatan kali ini, semoga beruntung yah Kak." Ucap bocah itu sambil menjentikan jarinya.
Karena Aku tak kenal dan tak suka anak-anak, kuabaikan kembali bocah kecil itu dan segera melompati tembok ini untuk menghampiri Lilis.
"Sudah kuduga Kau ada di sini."
Di waktu itu, Aku tak pernah tahu kalau akan ada sebuah kejadian besar yang membuat hubunganku dengan Lilis berubah 180°.