"Sejujurnya... Itu... Aku..."
"Ck, jangan bicara omong kosong lagi dan enyahlah!"
Teriakku kesal sambil berlari melewatinya menuju ke kelasku, tak kupedulikan pandangan jengkel murid Perempuan dan pandangan kagum murid Laki-laki yang tertuju padaku di sepanjang jalan.
BHAMM~
Aku langsung menghantamkan kepalaku pada meja saking tergesa-gesanya menyembunyikan wajahku yang tampak menyedihkan ini. Saat ini hatiku benar-benar sedang kacau, Aku memerlukan waktu untuk menenangkan diri.
"Imo, pagi-pagi kok udah bad mood gitu?" Sapa Tiara yang memang selalu datang paling awal ke sekolahan.
"Gak tau nih Nee-chan, padahal kan Imo mau istirahat. Tapi malah ada-ada aja deh yang terus bermunculan dan mengganggu Imo, jadinya yah... Gini deh." Jawabku dengan suara malas dan menatapnya lesu.
"Tenangin dirimu sendirian di tempat favoritmu pas jam istirahat nanti saja, Nee-chan yakin deh kalau Imo bakal langsung seger buger lagi."
"Apa harus?" Tanyaku sedikit ragu ketika mendengar saran darinya.
"Yaelah, kan dicoba dulu Imo~"
"Hng... Okelah."
~Jam istirahat~
WHOOSH~
"Fuhh..."
Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan, tubuh dan hatiku sekarang jauh lebih rileks. Aku menikmati segarnya udara dan angin sejuk ini di tempat favoritku, tentu saja itu adalah kawasan pohon jengkol di belakang sekolah.
Dunia terasa berhenti sekejap akibat suasana tempat yang ada di sekitarku ini hening dan terkesan hampa. Ah, senangnya. Pemandangan sekeliling pohon jengkol ini jika dilihat dari atas ternyata sangat indah, apalagi pas dedaunan jatuh berguguran tertiup oleh angin.
Ugh... Aku ingin sekali kembali ke kelas lagi karena sebentar lagi waktu istirahatnya habis, tapi masalahnya... Aku tak bisa turun dari atas pohonnya! Aku bisa naiknya tapi tak bisa turun! Ackkk, bodohnya Aku!
"Aduh bagaimana ini, kalau lompat langsung dari sini bisa-bisa kakiku patah." Ucapku resah ketika memandang ke bawah sana yang cukup tinggi dari dahan pohon yang kududuki sekarang.
"Sudah kuduga Kau ada di sini lagi."
"Hng?"
Aku meluruskan arah pandangku ke dekat tembok belakang sekolah, samar-samar ada sekelebat bayangan yang melompati tembok itu dengan mudah dan berjalan cepat menghampiriku.
"Turun!"
Brengsek, Orang itu lagi! Kenapa Kau terus membuntutiku melulu sih?! Dan juga tanpa Kau bilang pun Aku ingin turun dari sini, tapi yah hoho... Gak bisa.
"Ahng... nggak bisa." Rengekku dengan suara yang sudah seperti kambing menangis.
Kalau saja Aku sedang tidak marah pada Rhys, sudah pasti Aku akan menangis meraung-raung minta tolong padanya. Tapi sekarang sepertinya akan sangat memalukan, di tambah lagi bisa-bisa harga diriku terluka nanti.
"Cih Kamu tuh sebenernya lagi ngapain sih, Cewek pake rok kok naik-naik ke atas pohon gitu? Bisa naik gak bisa turun pula." Omel Rhys padaku sambil sengaja menggoyang-goyangkan dahan pohon yang sedang kududuki itu sampai berguncang.
"Kyaaah! Rhys gila! Aku bisa jat—kyaaaah!"
Aku memeluk erat batang besar pohon jengkol sambil terus mengayun-ayunkan kakiku berusaha menendangnya untuk menjauh dariku. Berbanding terbalik dengan reaksiku yang bercucuran air mata ketakutan, Rhys justru tertawa terbahak-bahak dengan tampang tanpa dosanya mengebrek-gebrek dahan pohon ini.
"Awokawokawok, turun gak? Turun gak?"
"Kyaaaah~ Mama! Rhys asshole! Lepasin Aku huaaa~"
"Awokawokawok, gak mau ah."
CRECK!
Terdengar suara sesuatu yang terdengar patah-patah, dahan pohon ini pun terasa bergetar. Dan di detik berikutnya...
"Huh?!"
Aku dan Rhys terperangah tatkala mendapati dahan pohon yang kunaiki ini tiba-tiba patah, tubuhku serasa jatuh dengan cepat. Ah tidak! Ini bahaya! Aku akan jatuh menimpa Rhys!
BRUKKK!!!
Pandanganku jadi buram, kepalaku pusing. Hal terakhir yang kuingat sebelum kehilangan kesadaran adalah tangan yang melingkari punggungku dengan erat. Semuanya menjadi gelap dan Aku tak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu.
•••
"-Is..."
"Ugh..."
"—Lis!"
Kubuka mataku perlahan lalu mengerjap-ngerjapkannya, hal yang mendominasi pandanganku sekarang adalah gorden dan plafon langit-langit yang putih. Bau obat-obatan menyeruak menusuk hidungku yang entah sejak kapan terasa mancung begini, suara isakan dari Tiara yang terdengar tak jauh dariku itu sangat mengusikku.
"Lis, Kamu ngapain sih naik-naik pohon segala. Tuh jadi gini kan?! Duh huhu... Bangun dong, jangan tidur mulu. Nee-chan tahu Kau pura-pura tidur sekarang, Kau kan bukan Putri Aurora."
Apa Aku jatuh dari pohon separah ini hingga tubuhku seakan-akan remuk dan sampai masuk UKS? Dan kenapa Nee-chan bukannya berbicara berhadapan denganku, kenapa Dia malah bicara sendiri di balik gorden putih di sampingku ini?!
"Ugh diamlah, kepalaku sakit!"
"Ya iyalah, wong kepalamu benjol gitu gara-gara kejedot dahi jenongnya Rhys."
L-loh tunggu?! Suara barusan yang menjawab Nee-chan kan suaraku! Padahal Aku dari tadi menutup mulutku rapat-rapat!
"Jaga mulutmu, kenapa Kau membicarakannya seolah-olah kepalaku itu batu. Hah?!"
"Ah waeee yooo~ kenapa Kau memarahiku seakan-akan Kau Rhys yang sedang dibicarakan? Apa jangan-jangan Kau itu sebenarnya masih punya perasaan padanya?"
Hei, Nee-chan! Yang Kau ajak bicara itu bukan Aku! Sebelum semuanya menjadi kacau gara-gara Nee-chan bilang sesuatu tentang perasaanku, Aku harus menghentikannya!
"Tunggu, memangnya Lilis masih punya perasaan padanya?"
"Tentu, Aku yakin itu. Kau yang bilang padaku kan, saat Rhys membawa tunangannya, Kau sampai nangis guling-guling di—"
"KYAAAK NEE-CHAN!"
SRAKKK~ WHOOSH~
Angin menerpa wajahku tatkala kusibakkan gorden pembatas ini dengan cepat, mataku membulat sempurna ketika melihat Seorang Gadis muda yang cantik dengan rambut merah panjangnya tampak terayun indah di udara. Mata merahnya itu membelalak tak percaya saat melihatku, kakinya yang tadi bergaya seperti Seorang Lelaki sedang nongkrong di warteg itu pun kembali diluruskan dengan ditutupi selimut berwarna hijau toska.
"Kau?!"
"Kau?!"
Ucap Kami bersamaan, saat menyadari suara masing-masing yang keluar dari mulut ini, Kami berdua serempak menutupi mulut Kami dengan ekspresi shock.
"Apa-apaan ini? Kekompakan secara tiba-tiba? Kalian sudah selesai marah-marahnya? Kok Aku gak tahu?" Tanya Tiara dengan bertubi-tubi sambil sesekali melirikku dan tubuhku itu secara bergantian.
A-apa ini? Apa Aku sudah mati? Apa rohku terpisah dari tubuhku hingga membuatku bisa melihat tubuhku seperti sekarang?! Kalau benar begitu, pasti tubuhku sudah kaku! Tapi kenapa tubuhku terlihat sadar dan masih bernafas? Apa tubuhku sedang kerasukan roh jahat hingga membuat rohku keluar darinya?! What the hell?!
Ah tunggu, bukannya Tiara dari tadi ada di sini?! Pasti Dia tahu apa yang sedang terjadi kan? Oke, Tiara pasti akan menjelaskannya dengan rinci kepadaku.
"N-Nee-chan, hng... Apa yang terjadi hng? Apa Aku sedang kerasukan?" Ucapku dibuat seimut mungkin sambil menggenggam tangannya dan memanyunkan bibirku juga.
Aneh sekali, tangannya terasa jauh lebih kecil dibandingkan biasanya. Tapi kenapa Dia memelototiku sambil menggemeletukkan giginya? Apa aksi imut-imut milikku kali ini tak mempan padanya? Sebelum-sebelumnya Dia selalu menutupi hidungnya yang berdarah-darah (?) Lalu berlari kabur dariku sambil berteriak "Aku gak kuat!" seperti itu.
"Ah Nee-chan~ jawab Imo dong~" Kataku manja sambil menghentak-hentakan kakiku seperti anak kecil, hal itu justru semakin membuat Tiara menatapku jijik.
Saat Aku melirik tubuhku, kulihat Dia menutupi wajahnya yang bersemu merah ketika Aku melakukan kelakuan memalukan ini. Dipikir-pikir, kemana si bajingan brengsek yang membuatku jatuh itu? Akan kuberi pelajaran nanti!
"Nee-chan, mana si bajingan Rhys itu? Dia sudah membuatku jatuh dari pohon sampai badanku terasa remuk gini. Kalau Aku bertemu dengannya, Aku akan langsung memukulnya. Kalau Nee-chan minat, ayo Kita keroyok Dia bersama-sama."
"A-apa?! Kau bilang apa? Bajingan Rhys?! Beraninya Kau! Sekarang Kau mulai terang-terangan mengumpatiku ya?!"
Aku menolehkan kepalaku menatap tubuhku yang kini tengah memelototiku dengan urat-urat yang menonjol pada dahi jenongku itu. Aku segera menepuk-nepuk pundaknya lalu tersenyum lebar padanya.
"Jangan khawatir, Aku akan memukulnya demi dirimu. Wahai tubuhku~"
BHAKK!
"Acckk!"
Aku meringis kecil ketika merasakan kalau punggung ini di damprat dengan keras oleh Tiara, tentu saja Aku kaget karena selama ini Dia tak pernah berlaku kasar seperti itu. Kenapa Dia tiba-tiba bersikap berbeda padaku? Apa Dia marah atau kecewa karena perbuatanku? Memangnya apa salahku?!
"Hei, Kau bilang tadi kalau Kau ingin bertemu bajingan itu lalu memukulnya?" Tiara berkacak pinggang sambil mendorong-dorong dahiku dengan telunjuknya.
"Aku tahu kalau kegantenganmu itu tak bisa terobati lagi, tapi kalau urusan kegilaanmu... Aku harap Kau segera berobat agar tak menjadi parah."
"Lah Nee-chan kok ngomongnya gitu sih? Sejak kapan Aku jadi ganteng?" Tanyaku polos sambil mencengkeram tangannya agar tak terus menjentikan jarinya pada dahiku.
"W-woah Kau ini! Kau membuatku kesal, Aku ingin memukulmu sekarang. Serius deh!" Tiara menghempaskan tangannya dari cengkeramanku.
"Dan juga berhenti memanggilku seperti itu! Itu mengerikan dan membuatku jijik. Apalagi jika Kau mencoba bersikap seperti 'My Imotou'. Dasar gila!"
"Apa yang sebenarnya..."
Aku melongo tak paham dengan apa yang di maksudkan oleh Tiara, hei! Aku butuh penjelasan!
"Kau bilang kalau bertemu dengan bajingan itu Aku boleh memukulnya kan?" Tanya Tiara dengan suara yang entah kenapa terdengar mengerikan di telingaku.
Dia menarik sudut bibirnya menampilkan sebuah seringaian tipis yang membuatku merinding, tak lama deretan gigi putihnya yang rapi tertunjuk padaku dan memperlihatkan cengiran khas Seseorang psikopat ketika menemukan calon korbannya. Jujur saja, Aku merasa ngeri saat melihatnya.
"Kalau begitu Aku akan menunjukkan keberadaan Orang gila yang berani-beraninya membuat Sahabatku menjadi koma dalam waktu yang singkat." Katanya horor sambil merogoh sesuatu dari saku rok abunya.
Hei, keadaanku tidak separah itu hanya gara-gara jatuh dari pohon!
"Nih, lihat baik-baik ya. Biar segera dimulai eksekusinya sekarang juga."
Tiara memperlihatkan layar ponsel iPhonenya padaku, Dia memperlihatkan kamera depan. Aneh, ini kan kamera depan tapi kok di layarnya gak muncul sosok Aku ya? Yang kulihat hanyalah sosok familiar dengan rambut hitam acak-acakan dan mata tajam yang sekelam obsidian.
T-tunggu! Kenapa Aku baru menyadarinya sekarang?! Tanganku yang besar dan berurat, dadaku yang menjadi lebih rata daripada sebelumnya, suaraku yang menggema dan terdengar serak-serak basah, tubuhku yang terasa jauh lebih tinggi, lalu pantulan penampilanku dari layar ponselnya Tiara.
Apa Aku sekarang... Berada dalam tubuh Rhys?!
"Nah sekarang dekatkan wajahmu padaku Rhys Haizal, biar kupukul sepuasnya." Ujar Tiara disertai senyumannya yang creepy sambil mengurut jari-jari tangannya.
"T-tunggu Nee-chan! Ini Imo loh! Imo! Jangan pukul Imo ya!"
Apa yang sebetulnya terjadi padaku?! Apa Aku sudah gila? Bagaimana bisa?! Padahal Aku sudah mau memulai kehidupan baru tanpa melibatkan Orang yang kini kurasuki ini, tapi ini malah... Ah sial!
Sebentar, jika Aku ada di tubuh ini... Artinya yang merasuki tubuhku itu adalah...
GRRTT
Kusambar kerah baju tubuhku dengan cepat dan menggoyang-goyangkannya ke depan dan ke belakang, tubuh ringkih yang kecil itu berguncang keras karena tak sanggup menahan tenaga yang terkumpul dari tangan ini.
"Keluar! Keluar Kau dari tubuhku! Dasar Rhys gila!"
Aku tak percaya ini, rasanya Aku bisa gila ketika memperlakukan tubuhku sendiri dengan cara begini. Tapi memangnya apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sangat bingung.
"Orang gila! Seharusnya Kau yang harus keluar dari sini! Apa yang mau Kau lakukan padanya huh?! Dasar cabul!"
Tiara meneriakiku sambil memukuliku dan terus menarik-narikku hingga menjauh dari tubuhku, usahaku untuk mencari tahu keadaanku sekarang tak berhenti hanya karena dipukuli Tiara yang bahkan pukulannya tak seberapa.
Ingin sekali Aku segera berlari menerjangnya dan memintanya menjelaskan hal ini, namun karena usaha Tiara yang mati-matian melindungi tubuhku itu membuatku terenyuh. Aku tak tega untuk membuatnya terus berusaha keras seperti ini, sebaiknya Aku cari tahu permasalahannya nanti saja.
"Woi~" Panggil tubuhku pelan.
Aku mendongakkan wajahku menatap mata merah hati yang menyipit tajam, terlihat jelas dari pancaran matanya kalau ada banyak pesan yang ingin Dia sampaikan padaku.
"Ayo Kita bicarakan ini nanti." Lanjutnya sambil memalingkan mukanya dariku.
"Ah... Aku mengerti." Balasku sambil segera pergi meninggalkan ruangan UKS.
Aku berjalan gontai di lorong sekolah, seberapa keras pun Aku berpikir, Aku masih tak percaya dengan kejadian yang menimpaku kali ini. Peristiwa seperti ini kan hanya terjadi di film, novel, atau komik yang bergenre fantasi saja. Terus bagaimana caranya menjelaskan kejadian ini?
"Whats up bro, lagi mikirin si doi lagi ya?" Tanya Seseorang sambil tiba-tiba merangkul bahuku.
"Gyaaa!"
Aku terkejut lalu segera menjauhinya sambil memeluk tubuhku sendiri, bisa-bisanya Dia dengan lancang menyentuh tubuh Seseorang seperti itu! Itu perbuatan tak terpuji tau!
"Apa-apaan reaksi menjijikkanmu itu?! Kau seperti kerasukan Cewek centil aja."
Rambut pirang hasil di pikok, mata coklat cerah yang bulat dan besar, pipi tirusnya yang putih kemerahan, dan wajah tampan penuh kharismanya yang bisa dibilang di atas rata-rata. Tak lain lagi kalau Dia adalah Ravi Revansyah, satu-satunya teman karibnya Rhys!
"Ja-jangan sentuh Aku! Itu perbuatan mesum!" Kataku sambil menutupi wajahku.
"Apa? Hei, jangan bertingkah konyol seperti ini. Kau pikir ini lucu?"
Gasp! Ah benar, Aku kan sedang berada di tubuh Seorang cowok!
"Pokoknya, kedepannya jangan sentuh Aku lagi seperti itu! Aku tuh bukan Orang murahan!" Kataku dengan suara bergetar sambil mengambil langkah mundur dengan memeluk tubuhku sendiri.
Murid-murid yang sedang berlalu lalang di lorong menatap aneh Kami berdua lalu mulai berbisik-bisik.
"Argh... Rhys, Aku ingin menanyakan ini padamu."
"Hng... Mau nanya apa?"
"Apa Kau sekarang mulai jadi gila?!"