Suasana gelap, namun diiringi dengan lampu jalanan yang menyala terang. Cahaya kuning itu mengingatkanku pada kebersamaanku dengan Jebran. Aku menengadah ke langit yang tampak berkilauan bintang bertaburan di mana-mana. Memancarkan sinar kelap-kelip yang tak pernah pudar selama malam dan awan tak menutupinya.
Aku turun dan melihat jalanan, tanganku yang sedari tadi memegang kunci mobil dan hendak maju memasuki mobil.
"Emira, kami pulang dulu yah," pamit Susi.
"Eh, sampai jumpa!" sapa Arga.
"Emira, pulanglah! Jangan melamun," sergah Rendi.
Aku menoleh kepada masing-masing rekan baikku. Mereka meninggalkanku di tempat yang sudah kelihatan sepi. Diikuti Gilang melambai ke arahku dan memasuki mobil yang sama dengan Arga dan Rendi.
Aku pun menyegerakan diri untuk masuk ke dalam mobilku. Tapi, seseorang berjalan mendekatiku.
"Emira," panggilnya.
Suara itu terdengar tak asing bagiku, memang sedikit mencurigakan. Tapi, aku mengenalnya dan spontan menoleh.
"Dilan," sahutku.
Dia tertunduk pasrah tepat di belakangku sekitar lima meter dariku. Aku menegakkan tubuhku memperhatikan dirinya yang hanya termangu. Aku merasa khawatir terhadap dirinya, lalu aku mendekat.
"Dilan," lirihku ke arahnya.
Ia pun mendongakkan dagunya perlahan. Di tangan kirinya memegang sebuah pistol yang belum ia simpan. Aku menutup mulutku secara kaget.
"Kau??!" desisku.
Saat ia mulai menyadari bahwa tangannya sedang memeluk sebuah pistol kecil, dengan sigap ia menyimpannya kembali.
"Oh, maafkan aku," sebut Dilan sembari memasukkan pistol ke dalam saku jaketnya.
"Kau dari mana?" tanyaku penasaran.
"Apa kau mencari adikmu?"
Dilan mendekati diriku lalu memelukku dengan perasaan lesu lagi merunduk sepi. Aku terpelangah akibat ulah kawan ini kepadaku. Perasaanku kini sedikit canggung ketika tubuhnya mendekatiku, tapi bukan seperti kemesraan, melainkan kepasrahan hati yang mendalam, dan aku membaca bola matanya yang redup.
"Apa kau baik-baik saja?" Aku melirik dirinya yang masih melemah.
Tangannya tak memelukku, lalu melepas. Aku pun menegakkan tubuhnya dan aku melihat seluruh raut gelisahnya yang tanpa jawaban itu, "katakan padaku! Apa yang terjadi? Apa ayahku mengancammu?"
"A-aku ...."
"Aku," sebutnya putus-putus.
"Dilan, ayo katakan yang sebenarnya!" desakku.
Aku menarik tubuhnya untuk kembali pada posisi kursi yang ada di pinggiran jalan. Tepat di depan rumah makan daging bakar itu, sebuah kursi telah disiapkan di sisi depan.
Aku perlahan mengajak Dilan untuk duduk bersama.
Dia masih sama dengan raut gelisah dan merunduk. Ia pun mulai menggerakkan mulut, "aku harus menemukan adikku."
"Besok sore dia memintaku untuk ke sana sendirian," ungkap Dilan meraih tanganku lalu meremasnya.
Aku menoleh ke arahnya, "ka-kau ...."
"Dilan, aku akan membantumu," putusku.
"Aku akan ikut bersamamu!"
Dilan menoleh ke arahku lalu menggeleng, "Sampai nanti!" Ia pun berdiri dan bergegas pergi meninggalkan diriku.
Aku yang hanya termangu tak sempat berteriak ke arahnya yang jalannya sudah layaknya berlari. Pria ini sedikit aneh sejak aku mulai canggung dengannya. Sejak dia melakukan itu padaku, yah, sejak dia mencuri ciuman pertamaku dan aku menolaknya. Aku bisa membaca raut wajahnya itu.
Dilan terus berjalan di sisi jalanan, lalu menghilang di persimpangan. Aku pun berbalik dengan perasaan gundah dan tak tahu jawaban untuk Dilan. Tiba-tiba saja aku terperanjak mengingat seseorang, "Jebran!"
Aku berhenti dan mendongak ke depan jalanan saat diriku mengingat namanya. Aku pun segera merogoh tas kecilku untuk meraih ponsel pintarku. Ku cari nama Jebran di dalam layar lalu meneleponnya.
Tut ....
Tut ....
("Halo.") Jebran menyapa.
("Kau di mana? Ada sesuatu yang harus aku katakan!)" Aku mendengar serius.
("Aku sedang di rumah, tapi aku bisa datang menemuimu. Tunggu saja di rumah!")
Jebran membalas ucapanku.
("Tapi, aku sedang tidak di rumah.")
Aku menahan napas.
("Kalau begitu, katakan kau di mana?!")
Jebran memaksa.
("Aku di depan rumah daging bakar, tidak jauh dari kantor.")
Aku menggigit bibirku.
("Baiklah, tunggu aku di sana!")
Putusnya untuk mengakhiri percakapan.
("Hem, ya. Sampai nanti!")
Aku mengakhiri percakapan dalam telepon, sembari menunggu aku pun kembali ke kursi yang tadinya sempat bersama Dilan. Aku merunduk lalu menunggu.
***
Di depan pintu apartemen mewah, Jebran menuruni anak tangga menuju ruang parkir, dengan tergesa-gesanya ia berlari ke arah mobil miliknya. Jebran melirik jam tangan yang ada di tangan kirinya sudah menunjukkan pukul 20:15 WIB, ia pun menekan pedal gas lalu melaju dengan kecepatan tinggi.
Dilihat dari wajah Jebran sedikit bersitegang dan serius menatap jalanan. Kedua matanya begitu fokus untuk segera tiba tak jauh dari perkantorannya.
Tiba ia di tepi jalanan, terlihat rumah makan yang mulai tampak ramai. Ia pun memarkirkan mobil di tepi jalanan dan mencari sosok diriku.
Aku merunduk sembari menatap isi layar ponselku, seseorang pun mendekati lalu menjerit.
"Emira!"
Aku tertegun akibat suara lantang yang berasal dari Jebran yang berlari kecil ke arahku. Dengan sigap diriku beranjak dari tempat dudukku.
"Jebran," sahutku.
Kami berdua akhirnya bertemu dan saling bertatapan.
"Apa yang terjadi?" tanyanya.
"Dilan dalam bahaya," ungkapku.
Jebran yang sedari tadi sedikit bersitegang, dan kini mulai menyipitkan matanya ke arahku. Dia mendekati lalu berucap, "Dilan, di mana dia? Dia adalah seorang Polisi, mana mungkin ia berada dalam bahaya."
"Sesuatu terjadi pada adiknya, ayahku mengancam dirinya," beberku.
"Ayahmu?" gerutunya.
"Tunggu! Ayo, kita duduk dahulu," ajak Jebran.
Aku dan dirinya kembali pada posisi yang sama dengan Dilan. Jebran mulai melirik dan menoleh tepat di sampingku.
"Emira, aku adalah orang baru yang datang di kehidupan kalian, tapi aku sungguh tidak mengerti keadaan kalian ini. Namun, aku hanya ingin melindungi dirimu dari orang yang sudah membuatmu sakit," tutur Jebran.
"Aku akan mengatakannya semua padamu," putusmu.
Jebran melirik ke kiri dan kanan lalu beralih kembali padaku. "Apa di sini akan aman? Apa sebaiknya kita ke taman yang tidak jauh dari sana," ajak Jebran.
"Hem, baiklah!" putusku.
Aku memasuki mobilku, sedangkan Jebran pergi ke arah mobilnya. Kami akhirnya berpindah tempat yang tidak begitu jauh dari sana. Dan posisi itu sangat dekat dari perkantoran kami, tepat di gedung bagian belakang. Aku pun mencari tempat duduk yang mungkin terlihat aman dan nyaman. Jebran pun meraih tanganku dan mengajakku pada kursi yang tepat di bawah lampu kekuningan.
Dia duduk dan diikuti olehku sendiri.
"Dari awal, aku ingin mendengar ceritamu. Aku tidak perduli siapa dirimu! Tapi, kuharap kau bisa menjelaskannya padaku," pinta Jebran.
Aku menatapnya dan mulai menceritakan dengan sekali tegukan air liurku ke dalam tenggorokan.
"Awal kisahnya ...."
"Ayahku adalah seorang mafia bengis dan cabul. Perilakunya sangat tidak tampak ketika ku beranjak remaja."
"Aku adalah target orang lain untuk dijual olehnya. Dengan menjual diriku, dia akan mendapatkan jabatan tinggi karena sudah berhasil membawa anaknya sendiri kepada bos besarnya yang ada di luar negeri."
"Tapi, ibuku meminta pertolongan dari Dilan, sedangkan Dilan memang menyimpan dendam pada ayahku. Tapi, dia tidak bermaksud jahat kepadaku, dan akhirnya ia berhasil membawaku kabur dari penangkapan ayahku."
"Aku dan ibuku pindah dari Lampung sejak lima tahun lalu. Dan kau tahu itu, Jordan adalah pamanku."
"Dilan sedang mencari kakak perempuan yang bernasib buruk yang mungkin terjadi padaku, jika aku tetap di sana."
"Kurasa, kakak perempuannya ada di dekat ayahku saat ini. Tapi, aku juga tidak yakin."
"Ayahku sudah merenggut banyak nyawa dan perawan para gadis muda. Aku juga tidak mengerti apa yang diinginkan oleh ayahku."
"Riffat, adik Dilan yang sekarang menjadi tawanan untuk menjebak Dilan," jelasku panjang lebar. Aku pun menyimpan air mata di dalam pelupuk mataku. Jangan sampai aku mengeluarkan air mata itu lagi di depan mereka.
"Apa yang diinginkan ayahmu dari Dilan? Pasti ada sesuatu yang diinginkan ayahmu kepada Dilan, aku yakin itu!" sebut Jebran.
Aku mendongak ke wajah Jebran yang tiba-tiba mengatakan demikian. Hanya itu yang aku tahu mengenai ayahku, selebihnya aku tidak pernah mengetahuinya karena ibuku sangat melarang mencari tahu.
"Aku harus mencari tahu semua ini," putusku.