Chereads / I have to Love You / Chapter 30 - Persiapan rencana.

Chapter 30 - Persiapan rencana.

Tatapan Jebran begitu serius hingga tak berhenti berkedip. Aku tak menyadari bahwa ia sudah memegang pundakku dengan erat.

"Pulanglah!"

"Aku akan melakukannya untukmu," putusnya.

"Apa kau punya nomor ayahmu itu?"

"Ah! Konyol, mana mungkin?" gerutu Jebran melepaskan tatapan itu.

Aku tetap mendiam diri di hadapan dirinya yang terlihat bingung. Wajahnya mendongak ke atas dengan tangan meraup wajahnya, kemudian ia menatapku kembali dengan jelas.

"Begini saja!"

"Pulanglah dan jangan pikirkan apapun!"

"Kau tahu siapa diriku?" sebutnya.

"Siapa?" tanyaku penasaran.

"Suatu saat nanti kau akan mengetahuinya siapa diriku! Aku bukan hanya seorang CEO, tapi juga seorang mata-mata," ungkap Jebran menaikkan alisnya.

"Ayo, kuantar kau ke mobil!"

Aku menuruti perintah pria baik dan tampak dingin ini. Sepertinya dia akan melakukan sesuatu tanpa sepengetahuanku. Aku hendak masuk, namun berbalik menatapnya.

"Jaga dirimu!" ucapku.

"Hem, jangan khawatirkan aku!" pungkasnya.

Aku memasuki mobil dan meninggalkan lokasi taman itu. Aku masih memperhatikan Jebran sembari melambai ke arahku yang sudah menjauh. Dilihat dari wajahnya mulai menyeringai senyum.

Apa dia akan baik-baik saja? Kenapa dia sangat terburu-buru menyuruhku kembali ke rumah? Keherananku tak kuasa menahan asa. Aku bahkan tidak mau ambil pusing lagi, aku segera melaju dengan kencang lalu kembali pulang.

Roda terus berputar, tapi angin bisa saja membawa perjalanan ke tempat yang jauh dari sini. Aku hanya memandangi jalanan dengan gelapnya malam itu. Aku memasuki garasi rumahku yang tampak sudah sepi.

Aku melihat dan memperhatikan seluruh isi rumahku yang tanpa penghuni itu. Biasanya ibuku selalu menyalakan televisi, tapi kali ini tidak.

Drrrtt!

Aku tertegun ketika mendengar suara ponsel yang bergetar di celanaku. Ternyata aku hampir saja melupakan ponsel itu yang tadinya ku taruh di dalam tas, sedangkan sekarang aku malah menyimpannya di dalam saku celana.

"Halo?" sambutku.

"Ibu akan menginap di rumah pamanmu, bibimu sedang sakit. Jika kau belum makan, ibu sudah menyiapkan makan malammu di dalam kulkas," jerit ibuku dari dalam telepon.

"Oh, baiklah Bu," sahutku lembut.

"Ingat! Jangan tidur malam-malam. Itu tidak baik untuk kesehatanmu," tutur ibuku yang memang cerewet.

"Iya, Bu. Apa bibi baik-baik saja?" tanyaku penasaran.

"Yah, bibimu hanya demam. Mungkin besok akan sembuh, dia ingin ibu menemaninya di sini," adu ibu kepadaku.

"Kalau begitu, kirim salamku untuk bibi supaya cepat sembuh," pintaku.

"Yah, sudah dulu ya, Nak."

Ibu mematikan percakapannya dari dalam telepon. Padahal diriku masih mau bicara banyak, tapi yah apa boleh buat? Ibu memang seperti itu.

Aku hanya menggeleng dan memasuki kamar milikku yang berhadapan dengan taman rumah kecil kami. Di dalam kamar ini, aku menarik handuk yang ada di balik lemari kecil. Aku bergegas untuk membersihkan diri di dalam kamar mandi yang terletak di dalam kamar. Rambutku yang basah kukeringkan dengan handuk lebar, sedangkan aku masih berselimut dengan handuk baju. Aku mengambil posisi duduk di depan meja rias.

"Sebenarnya ada apa ayah dengan Dilan?" pikirku dalam-dalam.

Aku mulai penasaran dengan kelakuan ayahku yang sering kali mengejar diriku dan Dilan. Semakin ke sini semakin aku penasaran dengan niat yang ada di balik ayahku dan Dilan itu sendiri.

Aku mulai menulis sebuah nama di kertas kecil, tertulis nama Dilan dan satu kertas tertulis nama ayah.

Seketika aku mulai berpikir bahwa aku harus mencari tahu, aku pun segera memilih pakaianku. Dengan sigap aku pun meraih dua kertas kecil itu secara bersamaan. Aku membongkar sebuah lemari dan mencari beberapa tirai. Aku pun mengambil sebuah papan tulis kecil. Dengan peralatan yang ada seperti palu, paku, lem, plester, spidol, dan alat tulis lainnya. Aku pun mencari penopang kayu beroda dari dalam gudang kecil yang ada di dapur.

Aku menemukan sebuah roda pagar bekas penutup pintu. Aku pun membuka papan itu lalu hanya mengambil gagangnya. Aku tempelkan papan tulis ke tiang kayu agar terlihat lebih tinggi.

Aku pun menempelkan dua nama, Dilan dan ayah secara berdampingan.

Kedua nama itu aku buatkan garis beberapa faktor yang akan mempertemukan mereka pada titik masalah.

Aku pun akan memulainya dari orang-orang terdekatku. Kututup kembali papan itu dengan tirai berwarna merah.

"Aku akan memulainya besok," putusku.

"Mulai dari kematian wanita waktu itu, ah! Tidak. Dari kakak Dilan," ucapku.

Aku pun mendorong papan itu ke sudut ruangan yang ada di kamarku. Ruangan kecil yang ada pada sudut ruang kamarku cukup berguna sekali.

"Pas!" ucapku.

***

Jebran berdiri di depan kantor Polisi tempat Fredi bekerja. Tak lama menunggu, Fredi keluar dari pintu ruangan dengan perlahan.

"Fredi," sapa Jebran.

Fredi terkejut bukan main, ternyata yang menyapanya itu bukanlah orang biasa, melainkan orang kaya dan bermartabat tinggi.

"Tuan Jebran," sambutnya.

"Ah!! Kau membuatku malu saja," gerutu Jebran menggusar kepalanya.

"Hei, aku butuh bantuanmu," pinta Jebran.

"Tentu saja, kira-kira apa itu?" tanya Fredi.

Jebran pun mendekati pria itu dan tepat di telinga Fredi. "Tentang Mehmed, ayahnya Emira."

Sontak Fredi terpelangah ketika yang disebutkan itu sangatlah tidak asing, "Dari mana kau tahu itu?"

"Aku bosnya Emira," imbuhnya Jebran.

"Hah! Aku tahu itu," keluh Fredi.

"Aku butuh bantuanmu," pinta Jebran.

"Tapi, kenapa kau mau mencari tahu tentang ayahnya Emira," sela Fredi.

"Adik Dilan sedang ditawan oleh ayahnya. Aku butuh bantuanmu," pinta Jebran.

Fredi kali ini tak menyahut secara langsung, tapi memperhatikan wajah Jebran yang tampak bukan main-main.

"Tenang saja!! Aku tidak akan menyuruh anggotamu untuk maju, aku hanya meminta informasi tentang ayahnya saja. Ku harap kau bisa mencari tahu," pinta Jebran.

"Kau tahu siapa Mehmed itu? Dia itu buronan kami, sedangkan kami kesulitan mencari tahu," sebut Fredi.

"Bukannya kemarin Dilan menangkapnya secara langsung," protes.

Fredi menundukkan pandangan, lalu mendongak kembali, "aku akan memberitahumu."

"Tapi, tidak sekarang."

Fredi mencoba menghindar, namun dicegah oleh Jebran itu sendiri dengan melangkahkan kakinya di hadapan dirinya. "Aku butuh informasinya."

"Kumohon!"

Fredi menyerngitkan dahi sembari berpikir, "baiklah! Ikut aku."

Fredi masuk ke dalam mobil miliknya, sedangkan Jebran pun membuntuti dirinya ke sesuatu tempat dimana jawaban akan terbuka.

Jebran terus mengikuti jalan Fredi ke sesuatu tempat yang sudah mulai jauh itu. Terlihat sebuah gedung tua bertingkat yang sudah tidak terpakai lagi. Jebran menyusul Fredi yang berdiri memperhatikan gedung itu.

"Apa ini tempatnya?" tanya Jebran.

Fredi mengangguk.

"Hei, kalian polisi kenapa tidak meringkusnya?" geram Jebran.

"Ini bukan tugasku! Ini bagian dari Dilan dan kawannya. Aku hanya melakukan apa yang kau pinta. Tapi, ada satu saranku."

"Jangan pergi sendirian!" tegas Fredi.

Jebran mengacungkan jempolnya kepada Fredi. Akhirnya jawaban pun ia temukan di sana. Terlihat tangan kanannya merogoh saku jaz. Dengan gesit ia mencari sebuah nama yang cukup asing. Memanggil nomor rahasia.

Tuuuutt ....

Tuuuutt ....

"Halo," ucap Jebran.

"Yah," sahut seseorang dari dalam telepon.

"Besok kita berkumpul di tempat biasa. Ada yang ingin kukatakan!" perintah Jebran dari dalam telepon.

"Baik," sahut si pria yang ada di dalam telepon.

Jebran mematikan ponsel pintarnya lalu dimasukkan kembali ke dalam saku jas. Siapakah pria yang diteleponnya tadi? Seseorang misterius yang terdengar sedikit sangar dan dewasa. Langkah sepatu mengkilap Jebran pun melangkah santai menuju mobil miliknya lalu kembali.

Bagaimana kisah selanjutnya?

Di balik semua cerita misteri sekaligus menjadi pertanyaan.

Rasakan petualang yang berbeda.

Follow my ig : @rossy_stories.

Jangan lupa kasih review, sub dan hadiah yah kawan-kawan.