Seorang gadis berkisar 20 tahunan berlari mengiringi langkah cepat para team medis dengan mendorong brankar yang sudah terbaring tak berdaya menuju ruang IGD. Panik, pucat pasi tergambar jelas di wajah gadis itu.
"Mbak, mohon untuk menunggu di luar!" titah salah seorang perawat untuk mencegah gadis itu agar tidak masuk ke dalam ruangan.
"Ya Allah, tolong selamatkan bu Erina ya Allah! Lindungi orang yang sudah ku anggap malaikat yang Engkau turunkan buatku," doa Alara tulus.
Alara Fredela, gadis yatim piatu yang bekerja di salah satu butik ternama se Indonesia bahkan di luar negeri tengah menolong sang pemilik butik yang tiba-tiba pingsan di sampingnya. Selama ini hubungan keduanya sangat baik bahkan terlihat seperti ibu dan anak.
Erina Habibah, wanita setengah baya dengan gaya yang selalu modis dalam balutan gamis indah di kesehariannya, begitu menyayangi seorang gadis malang tepat pada pertemuan pertama mereka kala Alara mulai bekerja di butiknya.
Erina begitu kagum dengan semua yang ada pada diri Alara dalam kesederhanaannya. Apa lagi setelah mengetahui seluk beluk jati diri Alara, wanita tua itu merasa nasib sang gadis memiliki kesamaan pada dirinya.
Niat sekali hati ingin menjodohkan putra tunggalnya dengan gadis tersebut hanya saja waktu masih enggan mendekat untuk melancarkan rencananya karena terhalang oleh sang anak yang lebih suka hidup di luar negeri dari pada negara tempat kelahirannya sendiri.
Kesepian? Sudah pasti, namun apa boleh buat. Semua demi cita-cita sang anak juga impian sang suami yang telah berpulang lebih dahulu. Erina mengidap penyakit gagal ginjal stadium tiga. Dirasa stres dan capek, penyakit itu langsung menunjukkan reaksi yang begitu dahsyat memberikan rasa sakitnya.
Seperti saat ini, Alara tengah cemas menunggu Erina yang masih ditangani oleh Dokter, "Ya Allah! Aku sama sekali tidak mengenal keluarga besar bu Erina. Setahuku beliau memiliki seorang putra tapi sedang berada di luar negeri? Lalu siapa yang bisa aku hubungi untuk memberitahukan kondisi ibu Erina?"
Alara masih mondar mandir di depan pintu IGD sambil mulutnya komat kamit menggumamkan ribuan doa untuk sang bos yang begitu baik dan lembut terhadapnya.
Lelah berdiri, dia meletakkan bobot tubuhnya dibarisan bangku yang tersedia. Tak lama berdiri lagi, mondar mandir lagi hingga tak terasa sudah 2 jam akhirnya sang dokter keluar juga. Mendengar suara deritan pintu terbuka, secepat kilat Alara menghadap dokter untuk mengetahui kondisi Erina.
"Dok! Bagaimana keadaan Ibu Erina?"
"Mohon maaf, apakah mbak ini putrinya pasien?" Alara menggeleng cepat atas pertanyaan itu.
"Tidak, Dok. Memangnya apa yang terjadi?"
"Tolong hubungi keluarga pasien karena ada masalah penting mengenai kesehatan Ibu Erina, jadi kehadiran pihak keluarga sangat diperlukan saat ini," Terang dokter panjang lebar.
"Maaf sebelumnya Dok, saya tidak mengetahui dimana sanak saudara Ibu Erina. Setahu saya beliau memiliki seorang putra tapi dia sedang berada di luar negeri. Jadi saya akan bertanggung jawab atas ibu Erina untuk saat ini sampai putranya kembali."
"Baiklah silahkan ikut ke ruangan saya." Tanpa banyak tanya lagi, Alara mengikuti jejak sang Dokter hingga masuk ke sebuah tempat yang hanya berukuran 6x6 meter.
"Begini, Mbak!" Alara bersiap mendengarkan penuturan sang dokter.
"Apa mbak tahu jika Ibu Erina menderita gagal ginjal stadium tiga?" gadis itu menggelengkan kepala dan wajahnya nampak terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Jadi, Ibu Erina ini memiliki penyakit ginjal sejak 2 tahun yang lalu. Kebetulan sayalah dokter yang menangani pengobatan ibu Erina. Semakin lama semakin menjadi penyakit itu mempengaruhi kesehatannya dan semakin parah, oleh sebab itu pasien membutuhkan donor ginjal dengan segera. Jika tidak, takutnya nyawa ibu Erina tidak dapat tertolong." Dokter perempuan yang bernama Sinta menyampaikan perihal sakitnya sang bos.
"Apa hanya itu jalan satu-satunya dok? Apa tidak ada cara lain lagi?" Tanya Alara berharap masih ada cara yang lain.
"Sudah tidak ada lagi Mba, karena selama ini Bu Erina tidak mau untuk melakukan cuci darah jadi...." Dokter Sinta tidak tega meneruskan kata-katanya namun Alara sangat mengerti maksud dari ucapan dokter tersebut barusan.
"Baiklah, Dok. Saya akan mencoba untuk menghubungi putranya dan mencari seseorang yang mau mendonorkan ginjalnya." Alara pun pamit keluar setelah berpamitan dengan lawan bicaranya.
"Dari mana aku bisa menghubungi putra Bu Erina ya! Aku gak terlalu kenal seluk beluk keluarganya, dimana sanak saudaranya berada, dan bahkan alamat rumahnya saja aku lupa. Aarrgg." Gadis itu mengacak kepalanya frustasi.
"Tunggu!" Bagai mendapat ide, Alara segera mengambil gawainya dan menghubungi seseorang.
"Assalamualaikum Pak Dito."
"......."
"Pak, apa Bapak mengetahui nomor anaknya Bu Erina yang sedang berada di luar negeri? Jika bapak mengetahui, bisakah Bapak segera menghubunginya mengabarkan keadaan Ibu Erina dan meminta kembali ke Indonesia dalam waktu dekat ini?"
"......"
"Baiklah Pak. Terima kasih banyak Assalamualaikum." Alara mematikan panggilan dan mengotak atik gawainya, mencari seorang malaikat yang bersedia untuk mendonorkan ginjal.
Alara memasuki ruang rawat inap sang bos, dilihatnya wanita paruh baya terbaring lemah, "Ibu harus segera sadar! Ibu harus sembuh, Alara akan berusaha sekuat tenaga untuk mencari pendonor bagi Ibu. Buka mata Ibu! Mari kita bercanda ria seperti biasanya, Lara akan membelikan soto Semarang kesukaan Ibu! Ah tidak-tidak, Lara akan memasaknya untuk Ibu agar Ibu bisa puas memakannya. Makanan favorit kita sama Bu, hobi kita pun sama. Bahkan nasib Ibu dulu sama dengan aku sekarang. Saya kagum kepada ibu yang bisa sesukses seperti sekarang ini! Hihihi semoga di masa depan Lara bisa seperti Ibu ya! Menjadi orang besar dan sukses," Monolog Alara.
Matanya berkaca-kaca, entah hubungan apa yang membuat dirinya begitu menyayangi dan mengasihi bu Erina. Seperti sudah di gariskan oleh Tuhan jika dirinya memang berjodoh dalam segala hal dengan bu Erina. Entah itu dalam hal pekerjaan, sifat dan karakter pun hampir sama. Hanya nasib serta status sosial yang membedakan saja, lebih banyak kesamaan dari pada itu.
Teringat akan tulisan yang baru saja dia ketik di beberapa medsosnya, Alara membuka benda pipih di tangannya berharap mendapat tanggapan memuaskan karena ada seseorang berjiwa mulia mau mendonorkan ginjalnya. Akan tetapi harapan tinggalah harapan, "Jangankan sebuah ginjal, pinjam uang 50 ribu saja jika kita tidak mengenalnya belum tentu ada orang yang mau meminjamkannya! Apa lagi ginjal?
Sudah pasti mereka semua akan sayang dengan diri mereka sendiri." Menarik nafas dalam, kemudian membuang perlahan. "Huft sabar Lara sabar, mencari ginjal tak semudah membalikkan telapak tangan," desis Alara sembari berjalan menuju sofa yang ada di kamar itu dan membaringkan tubuhnya karena lelah.