Chereads / Bertaut Janji / Chapter 23 - Dalam satu tarikan napas

Chapter 23 - Dalam satu tarikan napas

Ketika tangan Aditya menjabat tangan ayah Dinar, yaitu pak Adinata seluruh tubuh Aditya mendadak menjadi dingin sedingin es balok. Keringat dingin juga mulai bercucuran. Pasalnya ia dihadapkan langsung oleh sang ayah dari mempelai wanita dimana ia akan mengucap janji suci di hadapan ayahnya serta mengambil alih tanggung Jawab yang sebelumnya ada di pindah ayahnya kini akan sepenuhnya menjadi tanggung jawab nya. Tak hanya bertanggung jawab atas hidup dinar tapi juga termasuk bayi yang ada dalam kandungannya.

Dalam satu kali tarikan napas kini Aditya telah berhasil mengucapkan kalimat ijab kabul dimana langsung di sahut dengan kata sah dari pada saksi yang hadir. Semua orang bertepuk tangan, ada perasaan lega dalam hati Dinar kali ini. Namun justru sebaliknya bagi Adit yang merasa jika kini sebuah beban berat tertopang di atas bahunya.

Keduanya selanjutnya menandatangani beberapa dokumen pernikahan termasuk buku nikah berwarna sambul merah dan juga hijau, tak hanya itu selanjutnya mereka juga saling bertukar cincin dan serah terima mahar.

Kedua belah pihak anggota keluarga baik keluarga Danudirja dan juga keluarga Adinata tampak sangat bahagia dengan pernikahan ini Arya dan Amanda juga tampak begitu bahagia karena kini hubungan mereka dengan keluarga Dirga semakin erat dengan adanya pernikahan ini. Mereka semua tak tau apa rahasia besar dibalik pernikahan ini, kecuali Dirga dan Marsha yang sudah tau segalanya sejak awal.

.

.

Sementara itu kini ada seseorang yang tengah melamun di depan cermin meski kini ia sudah siap dengan gaun putih dan riasan cantik di wajahnya, namun wajahnya menampakkan aura kesedihan dengan wajah yang sayu.

"Kalau memang tak mau dan tak sanggup pergi jangan di paksa." suara seseorang membuyarkan lamunan Bintang yang pikirannya melayang membayangkan pernikahan adit yang mungkin saat ini sudah berlangsung.

"Ah ibuk. Nggak buk, aku harus tetap dateng. Aku sudah janji sama Pak Bram untuk datang dan menemaninya ke acara itu."

"Tapi kondisi batinmu tidak memungkinkan kamu untuk datang. Ibu tak mau hatimu semakin terluka sayang."

"Ibu tenang saja. Perasaanku sudah gak seperti dulu kok. Lagi pula kan hubunganku dengan Adit sebelumnya bukan suatu hubungan yang serius."

"Ibu tau. Hubungan kalian mungkin boleh saja tidak serius, tapi ibu tau jika hatimu serius padanya, kau serius dalam mencintai dan menunggunya selama ini."

"Ibuk tenang saja. Aku bisa kok." Bintang bangkit dan meletakkan tangan nya di atas bahu ibunya mencoba meyakinkan jika semuanya akan baik-baik saja.

Di depan rumah suara pintu terdengar ada yang mengetuk. Sudah bisa di pastikan jika itu adalah Bram yang datang untuk menjemput Bintang. Sesaat lagi Bintang akan ikut turut serta menjadi saksi pernikahan Aditya dan istrinya yang sedang berbahagia sementara jauh di lubuk hatinya dimana masih ada nama Aditya terukir kini ruang itu tengah bersiap menuju kehancuran.

"Biar ibuk yang buka pintunya. Kau siap-siaplah." Bintang hanya mengangguk karena sebenarnya ia sendiri sudah siap secara fisik namun jelas belum siap secara mental.

"Dokter Bram tunggu sebentar Bintangnya masih siap-siap."

"Baik Buk. Ibuk gimana Kabarnya? Tangannya sudah sembuh?"

"Sudah sekarang tangannya sudah bisa di gerakkan lagi. Ini semua jelas berkat kebaikan Dokter Bram yang menolong kami."

"Tak masalah, yang penting ibuk bisa kembali sehat."

"Kita berangkat sekarang?" Suara Bintang menyela percakapan antara Bram dan ibu Bintang.

Seketika itu juga Bram menoleh ke arah sumber suara. Ia sampai tak bisa mengatupkan mulutnya melihat penampakan gadis cantik bak bidadari di depan matanya. Sungguh Bintang kini menjelma menjadi seseorang yang sangat berbeda. Gaun yang ia belikan untuk Bintang ternyata sangat cocok untuknya. Rambut Bintang yang tak terlalu panjang entah di apakan oleh gadis itu hingga rambut itu kini tampak tertata rapi kebelakang. Leher jenjang Bintang juga kini bertengger sebuah kalung mutiara indah yang cocok dengan gaunnya yang berwarna putih.

"Pak Bram?" tanya Bintang sekali lagi dan kini berhasil membuat kesadarannya kembali lagi.

"Oh.. Tentu." Bram yang kini sudah sadar langsung beranjak berdiri. "Ibuk kami pamit berangkat dulu." Bram berpamitan dengan sopan dengan meraih tangan wanita yang baru sembuh itu kemudian menciumnya dengan sopan.

"Hati-hati di jalan." ucap Bu mirna kepada Bram. "Bintang, ibu harap kau bisa menjaga perasaanmu baik-baik disana." Bintang yang mendengar hal itu hanya mengangguk, sementara Bram memandang aneh ke arah keduanya secara bergantian ia masih tak mengerti dengan maksud ucapan Ibu Mirna. Ia tak mengerti mengapa wanita itu berpesan seperti itu seolah Bintang akan pergi ke tempat yang sangat berbahaya saja.

Kini mereka berdua melangkah keluar dari rumah Bintang. Keduanya harus berjalan sebentar menuju ke arah mobil yang terparkir di ujung gang rumah Bintang tepatnya berada di depan tower. Para tetangga yang melihat Bintang ada yang berbisik ada juga yang menyapa dengan sopan. Mereka yang melihat penampilan Bintang yang tak seperti biasanya tentu saja merasa aneh. Bram dan Bintang berjalan beriringan sesekali juga menggandeng Bintang untuk membantunya berjalan di atas sepatu high heelsnya.

Selama dalam perjalanan Bintang banyak terdiam, sejujurnya ia begitu tegang karena akan menghadiri pernikahan orang yang pernah singgah di hatinya.

"Kamu hari ini cantik sekali." pujian itu akhirnya lolos juga dari mulut Bram yang begitu mengagumi Bintang.

"Terima kasih. Pak Bram juga tampak sangat keren hari ini." bram mengenakan setelan jas yang senada dengan gaun yang di kenakan oleh Bintang.

"Kamu tampak begitu tegang hari ini. Ada apa?" tanya Bram yang penasaran.

"Oh, hehehe. Gak apa-apa sih pak. Hanya saja aku tak terbiasa datang di pernikahan orang kaya." ucap Bintang yang beralasan untuk menutupi ketegangannya.

"Tak usah tegang begitu. Kita yang datang kesana kan juga sama-sama manusia."

"Iya sih. Tapi kan disana nanti pasti hang dateng orang-orang penting dan orang-orang kaya."

"Kau tenang saja, kan ada aku."

"Hehe. Iya. Makasih pak Bram." ucap Bintang dengan senyum yang di paksakan.

Tak berapa lama kemudian mereka kini sudah sampai di pelataran hotel tempat pesta pernikahan Aditya dan Dinar di laksanakan. Pesta resepsi yang di laksanakan langsung setelah akad nikah. Bintang melihat ke arah hotel dari dalam mobil bram. Kini ia mulai merasakan lagi ketegangan dan keringat dingin yang membasahi keningnya meskipun mobil Bram ACnya masih menyala.

"Bintang tunggu sebentar."

"Ada apa ya pak Bram?"

Bram merogoh sesuatu dari saku kemejanya. Ia kemudian mendekat kearah Bintang dengan ragu-ragu. Bram tampak memasang kan sebuah jepitan rambut dengan bentuk pita yang Sangat cantik dengan batu permata yang berkilauan. Bram memasangkan tepat di rambut bagian kepala sebelah kiri.

"Kemarin aku gak sengaja melihat benda ini dan aku rasa kau pasti cocok memakainya."

"Oh. Emm. Trimakasih pak Bram benda ini cantik sekali." Bintang melihat pantulan dirinya di kaca spion dengan jepitan rambut yang yang Bram berikan yang kini bertengger indah di atas rambutnya membuat penampilannya semakin sempurna.

Bersambung..!