Sean menatap sang adik dengan senyum manisnya itu, ia sudah lama tidak memperhatikan Celine karena dirinya yang sibuk mengurus pendidikannya yang baru saja lulus.
Saat ini ia sedang berada di ambang pintu, dirinya menatap Celine yang sepertinya kesal terhadapnya sehingga membuat dirinya yang mengetahui hal tersebut langsung menghela nafas seketika.
"Sebaiknya kau pergi saja, Kakak."
"Kenapa begitu?"
"Aku tidak ingin melihat wajahmu itu."
"Hey, jika kau seperti ini, aku bisa saja memberitahu Ayah kalau kau kembali bersikap seperti ini."
"Aku tidak peduli, karena sebentar lagi Kak David pasti akan menjemputku."
Mendengar itu membuat Sean langsung melipat kedua tangannya di dada dengan satu alis yang terangkat.
"Oh, ya? Apa kau benar-benar yakin kalau dia akan datang membawamu pergi dari sini?"
"Ya, aku sangat yakin. Dia sudah berjanji padaku akan membawaku tinggal bersamanya."
"Hm ... oke, jika itu memang benar, selamat."
Kening Celine langsung berkerut setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh seseorang yang berada di hadapannya saat ini sehingga kini gadis tersebut langsung menoleh ke arah samping di mana sang kakak berada.
"Apa maksudmu dengan mengatakan selamat?"
"Tidak ada, hanya ingin berkata selamat saja untukmu."
Celine melihat Sean yang saat ini memandangnya dengan berbeda sehingga membuatnya yang mengetahui hal tersebut langsung menghela nafas sejenak sebelum akhirnya kembali memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Kenapa dia bersikap aneh?" ujar gadis itu di dalam hati. "Ah, tidak, mungkin ini hanya perasaanku saja."
***
Di sisi lain saat ini David yang sedang bekerja pun langsung menaikan kedua alisnya setelah mendengar suara notifikasi yang masuk sehingga membuatnya langsung mengerutkan keningnya seketika.
"Celine?" gumamnya.
Akhirnya pria tersebut menghubungi sang adik untuk menanyakan kabarnya lebih dulu.
"Halo."
"Kak David, kau dimana?"
"Aku berada di kantor, ada apa?"
"Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau pergi?"
David yang mendengarnya langsung menghela nafas sejenak sebelum akhirnya beranjak dari kursi kebesarannya tersebut.
"Celine," panggilnya.
"Ya."
"Aku sudah berbicara dengan Ayah, tetapi dia tidak percaya padaku."
"Tapi aku tidak peduli, aku hanya ingin tinggal denganmu, Kak."
Pria tersebut menundukkan kepala sembari mengulum bibirnya sejenak sebelum akhirnya kembali berbicara.
"Kenapa?"
"Kau sudah tahu alasanku, kenapa aku sangat ingin tinggal denganmu."
"Tapi, entah mengapa aku merasa masih ada yang kau sembunyikan dariku."
Celine langsung terdiam setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh seseorang yang berada di sana.
Gadis itu tidak mampu mengatakan apapun, selain meminta David untuk membawanya pergi dari rumah besar ini.
Ia selama ini tidak pernah merasa bahagia, dirinya hanya ingin hidup dengan tenang dan itu hanya bisa terjadi ketika bersama sang kakak.
"Kak David."
Tiba-tiba saja suara gadis itu berubah membuat David yang mendengarnya benar-benar terkejut dengan apa yang baru saja di katakan oleh seseorang yang berada di seberang sana.
"Hey, adikku sayang, apa kau baik-baik saja?"
Begitu jelas terlihat bagaimana kekhawatiran seorang pria yang satu ini. Ia memejamkan kedua matanya sejenak, dirinya menjadi merasa bersalah karena tidak bisa pergi mengajak adiknya yang tersayang.
"Kak David, tolong bawa aku pergi dari sini. Ku mohon padamu."
"Baiklah, jangan menangis, oke? Aku akan menjemputmu nanti."
"B-benarkah?! Kau akan menjemputku?!"
David menghela nafas lega, pria itu mengangguk sembari tersenyum. "Ya, aku akan menjemputmu nanti."
"Aku harap kau benar, aku juga akan menunggumu."
"Jangan menungguku, Celine."
Seketika raut wajah sang adik berubah menjadi murung. Senyumannya itu menghilang dan tergantikan oleh rasa sedih yang kini kembali menyeruak.
"Kenapa? Katakan alasannya padaku. Aku benar-benar ingin tinggal bersamamu, Kak."
"Baiklah, tetapi kau tidak boleh menungguku, karena aku takut kalau aku takut kalau akan pulang terlambat sehingga kau merasa bosan."
"Hm, tidak masalah, aku tetap menunggumu dan perlu kau ingat kalau aku tidak akan tidur sampai kau benar-benar datang."
David yang mendengar itu langsung menghela nafas lalu menggelengkan kepala dengan senyum manisnya itu.
Begitu sangat lucu sehingga pria itu merasa gemas dengan sang adik. Satu-satunya saudara yang sangat dekat dengannya, bahkan Celine sejak kecil selalu manja terhadapnya.
"Celine, meksipun kau tertidur, akan ku pastikan ketika terbangun kau sudah berada di tempat yang berbeda, percayalah."
"Tapi Kakak," jedanya dengan wajah yang ditekuk. "Baiklah, aku mengerti."
"Percayakan semuanya padaku, oke?" ujar David tersenyum.
"Hm," ujar Celine mengangguk. "Baik, Kak David, aku sangat percaya padamu."
"Good, kalau begitu ku tutup teleponnya, ya, karena masih ada yang harus ku selesaikan di sini."
"Iya, semoga harimu dalam bekerja baik-baik saja, Kakak."
"Oke, you too. Sekarang, jika waktunya kau tidur, maka tidurlah saja, oke? Aku akan tetap datang menjemput, meskipun kau sedang memejamkan kedua matamu."
Celine terkekeh, ia tersenyum karena sekarang dirinya sudah sedikit merasa lebih baik dari sebelumnya.
Anak gadis itu menghela nafas sebelum akhirnya berkata, "Baiklah, aku mengerti."
"Bagus, kalau begitu selamat tidur, adikku."
"Ya, terima kasih."
Panggilan pun berakhir dengan David yang kini menatap layar ponselnya sembari tersenyum sebelum akhirnya pria tersebut menggelengkan kepala.
Kemudian ia kembali memandangi laptop dengan begitu banyak berkas yang berada di hadapannya tersebut. Tetapi, meskipun begitu rasa lelahnya terbayar ketika mendengar suara adik kesayangannya itu yang baru saja menyemangati dirinya saat bekerja.
"Baiklah, ayo David kembali ke pekerjaanmu."
***
Kini Sean baru saja kembali dari dapur dan tidak sengaja bertemu dengan seseorang. Laki-laki itu menghela nafas sejenak sebelum akhirnya berbicara.
"Sehan, dari mana saja kau?"
Merasa terpanggil membuat laki-laki itu menghentikan langkahnya, dan melihat saudara kembarnya tersebut yang sedang melihatnya dengan tatapan penuh intimidasi.
"Aku baru saja selesai kegiatan, ada apa?"
"Tidak ada, ku pikir kau membolos lagi hari ini." Sean menaikan satu alisnya dengan kedua tangan yang melipat di dada sembari memandangi seseorang yang berada di hadapannya tersebut.
Sedangkan Sehan yang mendengar itu langsung membelalakkan kedua matanya, lalu menatap tajam seseorang yang berada di hadapannya tersebut sebelum akhirnya memastikan sekitar bahwa Ayah tidak berada di sini.
"Sean, apa yang kau katakan?! Apa kau gila, hah?!"
Saudara kembarnya itu pun langsung menyeringai, laki-laki itu merasa puas melihat ekspresi sang adik yang sedang cemas sehingga membuatnya benar-benar merasa tertantang untuk selalu menjahilinya.
"Maka dari itu, jangan pernah melakukan itu lagi. Ayah sudah bersusah payah membuatmu senang dengan semua pemberiannya, tetapi kau malah ..." Sean menggelengkan kepala dan kembali berkata, "Kau harus ingat, ada seseorang yang tidak seberuntung kita selama ini."
Mendengar itu membuat Sehan langsung teringat pada satu nama. Laki-laki itu menghela nafas sejenak sebelum akhirnya menundukkan kepala.
"Jangan katakan itu, aku selalu merasa sedih ketika mengingat bahwa dia tidak diperlakukan yang sama seperti kita."