["Gara-gara kau! Ya, ini semua gara-gara kau, aku kehilangan istri dan juga anakku yang belum lahir!"]
["Maaf ayah! Maaf..."]
["Seharusnya aku sudah membunuhmu sejak kau bayi!"]
["A-ampun ayah... keuh-"]
"Heok!"
Dariel terbangun dari mimpi buruknya dan tangannya yang reflek memegangi lehernya. Dengan nafas yang tidak stabil dan jantung yang berdetak cepat, Dariel mencoba untuk menghirup napas sebanyak-banyaknya. Walaupun cuaca sangat dingin di kerajaan Rosalva, tapi keringat dingin masih mengalir dan membasahi sekujur tubuhnya.
"Hah..." Dariel mengernyit sambil memegangi kepalanya, "Mimpi itu lagi..."
Dariel turun dari kasurnya dan meminum segelas air yang terletak di atas meja kecil yang terletak di samping jendela. Dariel menatap bulan purnama yang bersinar dan memancar masuk melalui jendela kamarnya. Ia melirik pada jam yang menggantung di dinding kamarnya dan melihat jarum pendek dari jam itu menunjukkan pukul tiga pagi. Masih dengan keringat yang membasahi tubuhnya, ia mengambil jaket tebal miliknya yang tersampir di atas kursi dan mengenakannya kemudian berjalan keluar dari penginapan yang ia tempati.
Ia menghirup udara pagi yang dingin dan menusuk sambil menatap ke arah langit. Syukurnya salju saat itu sedang tidak turun. Ia mulai memanaskan tubuhnya dan mulai berlari tanpa arah untuk menyegarkan tubuh juga pikirannya karena mimpi buruk yang baru saja mendatanginya saat ia tidur tadi.
Dariel mengeratkan jaket yang ia kenakan dan mulai berlari. Olahraga merupakan kebiasaan yang ia lakukan di pagi hari, terutama saat dirinya terbangun akibat mimpi buruk. Tak ada yang lebih menyegarkan baginya selain olahraga pagi untuk mengobati pikirannya dari mimpi buruk yang tak kunjung hilang dari tidurnya.
Dariel terus berlari sambil menyusuri kota dari kerajaan Rosalva yang dingin itu. Selain menyusuri kota, ia berlari menyusuri hutan kerajaan itu. Karena rumahnya yang terletak tak jauh di dalam hutan, Dariel sudah terbiasa berteman dengan hutan sehingga ia tidak takut menyusuri sebuah hutan sendirian.
Setelah berlari jauh ke dalam hutan, sesuatu menarik perhatian Dariel. Ia mendengar suara air terjun di tempat bersalju seperti itu. Ia mengubah haluannya dan menuju ke arah sumber suara tersebut.
Ia menghentikan larinya dan mulai melangkah pelan sambil terkesima. Di tempat bersalju seperti itu, ia masih dapat melihat air terjun yang dapat mengalir tanpa ikut membeku karena salju. Sungguh pemandangan yang unik dan menyegarkan. Ia berjalan di sekitar daerah air terjun itu dan tiba-tiba matanya menangkap seorang wanita bersurai hitam pendek sedang membasuh mukanya menggunakan air yang dingin itu. Dengan sangat pelan tak bersuara, Dariel menghampiri wanita tersebut.
Wanita itu tersentak dan menoleh ke arah Dariel karena merasakan dirinya sedang di tatap oleh seseorang. Dariel masih berdiri di tempatnya tak bergerak sama sekali sambil memandangi wanita tersebut.
Dengan panik, wanita itu terjatuh di tanah dan berusaha menjauh dari Dariel, "Si-siapa kau?!"
Wanita itu menatap Dariel ketakutan. Tubuhnya yang kurus dan kecil itu bergetar bersamaan dengan matanya yang memerah ketakutan. Hembusan napas yang keluar dari bibir keringnya yang bergetar membentuk asap putih di udara.
Dariel mulai melepas jaket yang ia kenakan dan membalutnya pada tubuh kurus wanita itu karena wanita itu hanya menggunakan pakaian tipis. Bagaimana bisa seorang wanita bertahan hidup di udara dingin dengan pakaian setipis itu, pikirnya.
"Udara disini sangat dingin." Ucap Dariel dengan uap yang terhembus dari bibirnya setiap kali ia melontarkan kata-kata.
Wanita itu menunduk dan menatap jaket besar yang membalut tubuhnya.
"Aku Dariel. Namamu siapa?" Tanya Dariel yang berjongkok di hadapan wanita itu.
Wanita itu belum menjawab dan masih menatap bingung pada jaket yang membalut tubuhnya.
Dariel menggaruk kepalanya, "Um, kau bisa mengambil jaket itu." Ucap Dariel melihat kebingungan pada wanita itu, "Jadi, kalau boleh tahu, siapa namamu?" Tanya Dariel sekali lagi.
Karena wanita itu masih tak menjawab, Dariel pun menyerah. Ia tidak ingin memaksa wanita itu untuk menjawab pertanyaan jika wanita itu memang tidak ingin.
"...el..."
Wanita mengangkat kepalanya dan menatap Dariel.
"Noelle."
-_*_-
Odelia tiba di kerajaan Rosalva. Dengan menggunakan pakaian sederhana dan sihir pengalih perhatian, tidak ada orang yang menyadari dirinya sedang berada di tempat itu. Tujuannya adalah pertambangan yang disebutkan oleh Leo, walaupun ia tidak tahu pasti dimana letak pertambangan itu.
"Nona, lebih baik anda istirahat terlebih dahulu." Ucap pelayannya yang ikut menemaninya melakukan perjalanan ke kerajaan Rosalva, Frans.
Odelia melihat bajunya yang kotor. Frans benar, ia sudah berhari-hari melakukan perjalanan dan belum sempat mengurus tubuhnya sendiri.
'Sungguh memalukan. Bagaimana bisa aku yang seorang wanita bangsawan terlihat kotor seperti ini?' Pikir Odelia setelah melihat bajunya yang kotor dan tak terurus.
"Kau benar. Mari kita beristirahat terlebih dahulu."
Odelia dan pelayannya mencari tempat penginapan yang tak terlalu mewah karena saat ini mereka datang secara sembunyi-sembunyi. Ia tidak ingin ada orang yang tahu tentang keberadaannya karena ia tidak tahu, kapan dan dimana seseorang menaruh mata-mata padanya. Apalagi sekarang Charles sudah tahu penyebab adiknya yang hilang. Tidak mungkin pria itu akan duduk diam dan memaafkannya begitu saja.
Setelah berkeliling kota Rosalva untuk mencari penginapan yang sepi, Odelia menyerah. Hanya ada lima penginapan yang tak terlalu mewah di kota itu, tapi semuanya tampak ramai dan juga penuh. Ia tidak mengerti kenapa semua penginapan tampak ramai saat itu, padahal katanya kondisi pangan mereka sedang kritis karena kurangnya kayu bakar dan pasokan makanan.
"Kenapa penginapan disini sangat ramai?!"
"Sepertinya para pedagang dari luar berhasil mengirimkan pasokan kayu bakar ke tempat ini." Jawab Frans setelah Odelia bertanya pada Frans dengan kesal.
Odelia menghela napas, ia menyerah. Tubuhnya sudah sangat lelah dan ingin beristirahat saja. Ia pun berjalan ke dalam penginapan yang terlihat di depan matanya dan memesan kamar.
"Berikan aku kamar terbaik yang ada di penginapan ini." Perintah Odelia sambil menyodorkan satu keping koin emas. Walaupun ia tidak ingin menginap di penginapan mewah, setidaknya ia ingin mendapatkan kamar terbaik di penginapan biasa karena ia tidak akan tahan jika harus tidur di tempat yang kecil dan sempit.
Pemilik penginapan itu menunduk menyesal, "Maaf Nona, kamar yang tersisa tinggal kamar yang biasa..." Jawab pemilik penginapan itu.
"Apa?! Tidak. Aku ingin kamar terbaik yang kalian miliki." Bentak Odelia tidak terima.
Pemilik penginapan itu hanya menunduk meminta maaf.
Dengan sangat kesal, Odelia berbalik dan berjalan ke arah pintu keluar, "Frans, ayo kita cari penginapan lain."
"Nona Odelia, sepertinya penginapan lain juga sudah penuh..."
Odelia mengabaikan ucapan Frans dan ingin berjalan keluar dari penginapan. Saat ia menarik gagang pintu, tiba-tiba saja wajahnya menabrak sesuatu yang sangat keras hingga membuat hidungnya terasa sakit.
"Ah!"
"Maaf! Apa kau tidak apa-apa?"
Odelia meringis kesakitan sambil menatap tajam orang yang sudah menghalangi jalannya, "Hei! Apa kau tidak punya mata?!" Bentaknya pada orang yang ditabraknya sambil mendongak untuk melihat wajah orang itu.
Ia terkejut saat melihat wajah seseorang yang sangat ia benci berdiri tepat di hadapannya.
"Cornelia?!" Pekik Odelia saat melihat wajah pria tersebut.
"Cornelia?" Tanya Dariel kebingungan sambil menatap Odelia.
'Apa ini? Kenapa pria ini sangat mirip dengan Cornelia?!' Batin Odelia dalam hati sambil menatap ngeri pada Dariel dengan wajah yang pucat.
"Dariel! Darimana saja kau?" Panggil Tom yang baru saja keluar dari ruang makan di penginapan.
"Ah, aku..."
Dariel pergi meninggalkan Odelia yang nampak pucat, takut, dan kebingungan. Odelia masih berdiri di depan pintu sampai suara Dariel menghilang dari pendengarannya.
"Nona Odelia..."
Odelia berbalik dan berjalan kembali ke meja pendaftaran di penginapan tersebut.
"Frans, kita akan menginap di sini."