Dariel mulai membuka matanya dua minggu kemudian. Ia yang sadar bahwa dirinya sedang berada di tempat yang tidak dikenal pun segera melompat dari atas kasur dan berlari keluar. Pria yang menyelamatkannya itu pun berhasil menahannya dan membuatnya pingsan kembali.
Ia bangun untuk yang kedua kalinya. Tidak seperti saat pertama kali ia membuka matanya, kali ini pria itu menjaganya dan menyapanya dengan senyuman hangat, tepat saat Dariel membuka kedua matanya. Kewaspadaan Dariel tidak langsung hilang begitu saja karena ia sangat membenci manusia. Dimatanya, manusia hanyalah monster yang akan selalu menyakitinya. Ia akan bertindak seperti anak dari binatang buas yang berusaha melindungi dirinya sendiri dari makhluk lain jika pria itu berada sangat dekat dengannya.
Hari demi hari ia lalui di rumah pria itu. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak merasakan kekerasan dari manusia. Pria itu memperlakukan dirinya dengan sangat lembut dan hati-hati. Dariel mengendurkan kewaspadaannya dan mulai membuka hatinya pada pria itu. Perlahan, ia mulai menerima kebaikan yang diberikan oleh pria itu hingga akhirnya mereka menjadi sangat dekat.
Setahun kemudian, pria itu berulang tahun.
"Jiro, kenapa kau memasak sangat banyak hari ini?" Tanya Dariel pada pria itu.
Pria bernama Jiro itu menjawab dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya, "Karena hari ini, aku berulang tahun."
Dariel tidak paham apa itu ulang tahun, karena seumur hidupnya, yang ia alami hanyalah kekerasan tanpa ada kehangatan. Jiro pun duduk dan menjelaskan apa itu 'ulang tahun' kepada Dariel.
"Karena sepertinya kau tidak tahu kapan ulang tahunmu, kalau begitu untuk sementara mari kita rayakan ulang tahunmu dan ulang tahunku bersama-sama." Ucap Jiro sambil mengacak rambut Dariel.
"Heu-um!" Angguk Dariel dengan senyuman lebar diwajahnya.
"Kalau begitu Dariel, kau ingin kado apa diulang tahunmu hari ini?"
"Aku tidak tahu ingin apa..." Balas Dariel sedih, "Jiro, kau ingin kado apa?"
"Aku? Hm..." Jiro berpikir sambil menyilangkan kedua tangannya, "Ayah. Maukah kau memanggilku 'ayah'?"
"..."
Dariel tak langsung menjawab. Ingatannya tentang orang yang ia panggil sebagai 'ayah' beberapa tahun yang lalu muncul kembali. Seketika, wajahnya menjadi pucat.
"Dariel?"
"...Kalau aku memanggil Jiro 'ayah', apakah Jiro akan memukulku?" Tanya Dariel yang tampak ketakutan. Ia takut kebaikan yang ia dapatkan dari Jiro menghilang setelah dirinya memanggil Jiro 'ayah'.
Jiro mengerutkan dahinya dan senyuman menghilang dari wajahnya, "Apa ayahmu dulu selalu memukulmu?"
Dariel mengangguk. Selama ini, Dariel tidak pernah membicarakan tentang monster yang dulu ia panggil 'ayah'. Ia tidak menceritakan darimana ia berasal dan Jiro juga tidak pernah bertanya. Jiro hanya berpikir, kalau Dariel merupakan anak yatim piatu yang bertahan hidup sendirian di dunia yang luas ini.
Jiro mengelus punggung Dariel, "Tidak. Aku tidak akan memukulmu seperti orang jahat itu. Aku akan sangat bahagia jika kau mau menganggapku sebagai 'ayah'mu, Dariel. Seperti ayah-ayah yang lainnya, aku akan melindungimu jika ada orang yang berani menyakitimu."
"Bisakah aku percaya itu?" Tanya Dariel memastikan sekali lagi.
Jiro mengangguk dan tersenyum lebar, "Tentu saja! Kalau aku berbohong, bunuh saja aku dengan teknik bela diri yang sudah kuajarkan padamu."
"Baiklah, ayah!" Balas Dariel dengan senyum mengembang diwajahnya.
Setelah acara ulang tahun kecil yang dibuat oleh Jiro, dikeesokan harinya Jiro membawa Dariel kepada pendeta yang ia kenal. Jiro membawa Dariel kepada pendeta itu untuk mengetahui umur pasti Dariel karena anak itu tidak tahu kapan dirinya lahir. Biasanya, pendeta melakukan sebuah ritual untuk mengetahui umur seseorang melalui darah. Darah itu akan diteteskan kedalam air suci yang disediakan oleh pendeta tersebut dan pendeta itu akan menggunakan kekuatan sihirnya untuk membaca umur orang tersebut.
"Putramu berumur sebelas tahun, Jiro." Ucap pendeta tersebut dengan lembut.
"Terimakasih, Vale."
"Sudah sewajarnya aku membantumu, Jiro." Balas pendeta berseragam putih itu pada Jiro.
Jiro memperkenalkan Dariel pada pendeta bernama Vale itu. Vale adalah teman seperjalanan Jiro saat Jiro pertama kali menjadi seorang orang upahan. Mereka menjadi sahabat dan saling membantu satu sama lain hingga saat ini.
Setelah beramah-tamah dengan Vale, Dariel dan Jiro melanjutkan perjalanan mereka membeli kebutuhan rumah tangga. Jiro memperkenalkan Dariel dengan para pedagang yang ia kenal supaya Dariel dapat bersosialisasi dengan sekitar kedepannya.
Kemudian di umurnya yang ke-12 tahun, Dariel meminta pada Jiro untuk mengajarinya teknik berpedang. Sebelumnya, Jiro hanya mengajarinya teknik bertarung tanpa menggunakan senjata, jadi saat ini Dariel ingin mencoba mempelajari teknik berpedang dari Jiro. Dariel selalu mendengar cerita tentang betapa hebatnya Jiro saat menjalankan misi orang upahan dari orang-orang yang dikenalkan oleh Jiro padanya. Jiro awalnya sempat ragu karena Dariel sudah menjalani kehidupan yang pahit dan keras sejak ia masih kecil, teknik bertarung yang ia ajarkan pada Dariel pun hanya teknik bela diri yang digunakan untuk melindungi diri sendiri. Tapi melihat tekad yang kuat di mata bocah berumur 12 tahun itu, akhirnya ia mengabulkan keinginan Dariel.
Sembari mengajari Dariel teknik berpedang, Jiro selalu mengingatkan Dariel untuk tidak menghunuskan pedangnya sembarangan kepada orang lain. Jiro berharap Dariel bisa menjadi pria yang mampu melindungi dirinya sendiri dan juga melindungi orang-orang baik disekitarnya kelak.
Di umur Dariel yang ke-14 tahun, Jiro mengajak Dariel untuk ikut melakukan misi orang upahan yang diberikan oleh serikat kerja atau yang dikenal sebagai guild. Pekerjaan itu terus berlanjut sampai bocah laki-laki kecil itu menjadi pria dewasa berumur 20 tahun.
Dariel tumbuh menjadi laki-laki yang sangat tampan dengan postur tubuh yang sangat disukai oleh semua wanita. Banyak sekali wanita muda yang mencoba untuk mendekatinya dan menjadikan Dariel sebagai kekasih mereka, tapi Dariel menolak wanita-wanita tersebut dan tak berkeinginan untuk menjalin hubungan dengan siapapun untuk saat itu.
Suatu hari, saat Dariel pulang setelah menyelesaikan pekerjaan dari guild, Jiro menyambutnya sambil menyeduh kopi panas di meja makan. Ia meminta Dariel untuk menemaninya mengobrol sambil menikmati kopi. Dariel pun dengan senang hati menemani orang yang Dariel anggap sebagai ayah selama sepuluh tahun terakhir. Setelah menikmati kopi yang diseduh dalam keheningan, sebuah pertanyaan mengejutkan terlontar dari bibir Jiro.
"Dariel, apa kau tidak ada keinginan untuk mencari keluarga kandungmu?"
"Keohok!" Dariel tersedak saat ia sedang menyeruput kopi miliknya, "Ke-keluarga kandung?"
Jiro mengangguk dengan tenang, "Ya, keluarga kandung. Sepertinya 'ayah' yang dulu menyiksamu saat kau masih kecil bukanlah ayah kandungmu."
"Bagaimana ayah bisa tahu kalau 'monster' itu bukanlah ayah kandungku?"
"Saat aku bermain ke kota Harvey kemarin, aku melihat seorang perempuan, perempuan itu terlihat sangat mirip denganmu hingga kupikir kau sedang menyamar menjadi seorang wanita karena pekerjaan yang kau ambil di guild, tapi setelah aku melihat tinggi badan dan postur tubuh yang lebih kecil darimu, aku yakin perempuan itu bukanlah kau. Jadi kupikir, keluarga kandungmu ada di suatu tempat di kekaisaran ini." Jelas Jiro panjang lebar mengenai alasan mengapa ia bertanya perihal 'keluarga kandung' Dariel.
Dariel termenung dan mencerna penjelasan yang Jiro berikan barusan. Setelah waktu berlalu selama tiga menit, Jiro membuka mulutnya lagi, "Dariel, bisakah kau jelaskan bagaimana kehidupan yang kau alami sebelum kau bertemu denganku? Kuharap kau dapat menjelaskan semuanya agar aku dapat membantumu jika perkiraanku benar."
Setelah hening beberapa saat, akhirnya Dariel mulai membuka mulutnya dan menceritakan semua kejadian pahit yang masih lekat di dalam memori ingatannya. Ia juga menceritakan mengenai mimpi sebuah keluarga yang mengulurkan tangan padanya. Ia menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewat sedikitpun.
Waktu berlalu dan sore pun berganti malam. Jiro mendengarkan cerita Dariel dengan seksama sembari mengambil sebuah kesimpulan dari ceritanya. Ia mengangguk saat Dariel selesai menceritakan kisah hidupnya sebelum ia bertemu dengan Jiro.
"Sepertinya perkiraanku benar kalau keluarga kandungmu ada di suatu tempat. Apa kau tidak mau mencarinya?" Tanya Jiro pada Dariel.
"Entahlah, aku tidak tahu."
"Kau bisa memikirkannya terlebih dahulu. Kalau kau sudah mengambil keputusan, kau bisa memberitahuku dan aku dengan senang hati akan membantumu."
Setelah obrolan di hari itu, Dariel kembali memimpikan mimpi yang selalu ia mimpikan saat ia masih kecil selama tiga hari berturut-turut, hingga akhirnya menimbulkan rasa penasaran di dalam hatinya mengenai mimpi tersebut dan ia tergerak untuk mencari tahu apakah mimpi itu nyata atau hanya sebuah kebohongan yang dibuat oleh hati kecilnya untuk memiliki keluarga bahagia seperti itu.
"Jiro, aku ingin mencaritahu tentang keluarga kandungku."
Jiro tersenyum dan mengangguk sambil meletakkan koran yang ia baca di atas meja, "Ikuti Reinhardt Ulbretch. Ia merupakan ketua dari organisasi bawah Tigris Luber, sekaligus orang menjadi pendiri Albus Lotus. Mungkin, kau bisa mendapatkan suatu jawaban mengenai identitasmu yang sebenarnya dari pria itu."
"Identitas?"
"Identitas aslimu yang dapat menghubungkanmu pada keluarga kandungmu," Jelas Jiro sembari membuka laci di meja kecilnya kemudian mengambil selembar kertas dan memberikannya pada Dariel, "Pergi ke guild dan berikan ini pada Melissa. Dia akan membantumu untuk terhubung dengan Reinhardt Ulbretch."
Dariel mengambil kertas itu dari tangan Jiro dan segera pergi ke guild saat itu juga untuk menyerahkan lembaran kertas itu pada Melissa. Lima hari kemudian, Melissa datang ke rumahnya dan memberitahu bahwa Dariel akan melakukan perjalanan bersama Albus Lotus ke kerajaan Rosalva untuk mengantarkan barang dagangan ke kerajaan es itu. Melissa meminta Dariel untuk bersiap segera karena perjalanan akan di mulai dua hari lagi.
Dua hari kemudian, Dariel pergi bersama rombongan itu menuju ke kerajaan Rosalva. Saat ia muncul pertama kali, ia sempat melihat sekilas pada Reinhardt yang terdiam dan berdiri kaku sambil menatapnya dengan tatapan tidak percaya, Dariel mengabaikannya dan mengikuti Reinhardt sesuai arahan dari Jiro tanpa bertanya apa-apa.
Beberapa hari kemudian setelah perjalanan panjang Dariel dan Albus Lotus, Reinhardt memanggilnya dan membawanya ke istana kekaisaran, tempat yang tidak bisa dipijak oleh sembarang orang. Bagi rakyat biasa lainnya yang statusnya setara dengan Dariel, mungkin akan sangat bahagia jika mereka berhasil menginjakkan kaki di lantai istana kekaisaran, tapi tidak dengan Dariel. Dia mempertanyakan kenapa Reinhardt mengajaknya pergi ke istana kekaisaran.
Saat mereka tiba di istana kekaisaran, mereka bertemu dengan seorang pangeran. Pangeran itu tampak terkejut dan kemudian memasang wajah biasa selang beberapa detik kemudian. Dariel hanya berdiri diam untuk menjaga imej Reinhardt, sampai ia mendengar pangeran Osvald itu memanggil sebuah nama.
"Cornelia!"
Cornelia, nama yang pernah ia dengar dari seseorang. Dariel berusaha mengingat kembali di mana ia mendengar nama itu sambil berjalan mengikuti Reinhardt dengan langkah kecil. Saat ia berhasil mengingatnya, spontan ia mengangkat kepalanya dan terkejut, ia mengerjapkan mata beberapa kali dan menatap seorang wanita yang berdiri tak jauh dari hadapannya dengan tatapan tidak percaya.
Wanita bangsawan itu, benar-benar sangat mirip dengannya.