Keesokan harinya, Charles pulang ke kediaman Harvey.
Aku tidak pergi menemuinya dan mengantarnya sampai depan kereta karena aku masih tidur. Bukannya aku pemalas karena tidak mau bangun pagi, tapi si Charles itu pergi saat matahari belum terbit. Ia pergi di pagi buta karena mengejar kapal pertama. Entah dia sengaja tidak ingin menemuiku karena merasa bersalah atau ada urusan penting sehingga ia harus mengambil kapal pertama, intinya aku tidak perlu repot-repot untuk mengantarnya dan melihatnya pulang.
"Cornelia, apa kau tidak apa-apa kalau Charles pulang lebih awal?" Tanya Gracia.
Aku yang sedang berjalan dengan tumpukan buku yang menggunung di atas kepalaku pun menjawab, "Tidak apa-apa. Lagian dia bukan lagi anak kecil."
Gracia tak lagi bertanya, ia hanya memantau perkembanganku sambil membaca novel yang dipinjam dari perpustakaan. Lebih tepatnya, ia sibuk membaca novel sedari tadi.
"Tapi aku masih tak menyangka. Seingatku, kau seperti lintah yang selalu lengket padanya, walaupun dia selalu menyakitimu. Kupikir, kau akan terus menjadi lintah yang menempel padanya sampai mati."
"Benarkah?"
Gracia mengangguk, "Aku merasa kau seperti orang lain. Tidak mungkin kan orang yang begitu di butakan oleh cinta tiba-tiba berubah drastis dalam beberapa hari?"
Deg. Aku berhenti melangkahkan kakiku dan berdiri diam mematung. Apakah Gracia sadar kalau aku bukan Cornelia? Aku tidak ketahuan kan?
Ah!
"Hei Gracia, apa kau lupa kalau aku ini sedang hilang ingatan?" Tanyaku tiba-tiba karena pertanyaan itu baru terlintas di otakku.
"Oh iya! Aku lupa, hahaha!" Balas Gracia sambil tertawa lucu memikirkan kebodohannya, "Tapi kupikir hatimu tetap akan mencintai Charles meskipun kau hilang ingatan."
"Hm... Entahlah. Aku tidak merasakan perasaan cinta itu sekarang." Balasku dengan tenang sebisa mungkin.
"Baguslah kalau begitu. Aku bersyukur rasa cintamu pada Charles ikut menghilang. Setelah kau hilang ingatan seperti ini, kau jadi lebih waras dibandingkan dengan dirimu yang sebelumnya." Ucapnya dengan wajah sumringah yang membuatku kesal.
"Jadi, menurutmu, sebelumnya aku tidak waras, begitu?!"
Gracia mengangguk, "Ya, kau sangat tidak waras."
Bruk! Tumpukan buku yang menggunung di atas kepalaku pun jatuh dan menimbulkan bunyi gedubrak di atas lantai. Gracia menatapku dengan wajah menyeramkan yang seramnya mengalahkan senyum mbak kunti yang sedang tertawa di atas pohon beringin.
"A-anu... Gracia..."
Gracia menarik sudut bibirnya dan tersenyum mengerikan. Aku meneguk salivaku dan menatapnya dengan panas dingin. Wajah Gracia saat ini tampak tumpang tindih dengan wajah tersenyum mbak kunti yang kulihat di film-film horor, hanya saja rambut Gracia lebih tertata rapi daripada rambut mbak kunti yang menutupi sebagian besar wajahnya.
"Cornelia..."
"I-iya...?"
Aku menahan nafas dan menunggu Gracia melanjutkan kalimatnya.
"Ulangi lagi dari awal!"
"Yes ma'am!"
Refleks aku segera mengambil buku-buku yang berserakan di lantai dan menaruhnya kembali di atas kepalaku.
Gracia menyilangkan kedua tangannya, lalu menghela nafas berat, "Tadinya aku berencana akan mengajakmu utuk pergi ke pesta yang di adakan oleh keluarga Count Davis, tapi sepertinya aku akan membatalkannya karena kau kelihatan belum siap sama sekali."
"Apa?! Kenapa kau tidak memberitahuku dari tadi?"
"Tadinya aku mau memberitahumu saat kita istirahat, sambil membicarakan rencana untukmu ketika kita datang kesana nanti. Aku ingin kita langsung mempraktikan apa yang sudah kau pelajari dariku sembari memulihkan kondisimu secara perlahan, tapi kurasa aku akan mengurungkan niat itu untuk saat ini."
Aku menghembuskan napas lega yang panjang. Syukurlah tidak jadi. Aku masih merasa kurang dan belum siap untuk langsung terjun ke sebuah pesta yang diadakan oleh bangsawan. Jika aku tidak menjatuhkan buku-buku ini barusan, aku yakin Gracia akan segera mengajakku pergi ke pesta itu. Terimakasih Tuhan.
"Kenapa kau menghela napas? Apa kau sebegitu ingin perginya ke pesta itu? Kalau begitu baiklah-"
"Tidak!!!" Potongku sambil menutup mulut Gracia menggunakan tanganku hingga membuat buku-buku yang baru saja tersusun di atas kepalaku berjatuhan. Seketika Gracia mengamuk dan intensitas latihanku semakin ketat pada hari itu.
***
"Hei, apakah aku sangat tampan hingga kau tidak bisa berhenti menatapku setiap kali kita bertemu?" Tanya Dariel pada Odelia. Sejak mereka bertabrakan di pintu masuk penginapan, wanita itu terus-terusan memerhatikannya dengan pandangan yang tajam, bahkan dahi wanita itu ikut berkerut.
"Hah? Apa kau gila?!" Bentak Odelia tidak terima.
"Berhentilah menatapku terus-terusan seperti itu atau kau akan jatuh cinta pada wajah tampanku ini." Ucap Dariel yang berjalan keluar dari penginapan dengan santai.
Odelia menggeram hingga menggertakan giginya, "Sampai mati aku tidak akan pernah suka pada pria sepertimu!"
Dariel tidak memedulikan pekikan wanita itu dan pergi meninggalkan penginapan. Ia tidak mengerti kenapa wanita itu sangat tidak menyukainya dan dia juga lelah terus-terusan ditatap oleh wanita itu, akhirnya ia memilih untuk menjahili wanita itu agar wanita itu berhenti menatapnya.
Diperjalanan, Dariel membeli beberapa makanan dan juga minuman hangat untuk di bawa ke dalam hutan. Ia ingin bertemu dengan wanita yang bernama Noelle itu lagi. Dari tubuh kecil dan kurusnya wanita itu, ia yakin kalau Noelle hidup sebagai budak, seperti budak yang pernah ia lihat saat ia masih berkelana sendirian dulu.
"Kuharap ini bisa membuatnya kenyang." Gumam Dariel sembari tersenyum menatap sebungkus roti yang ada di tangannya. Rencananya, ia akan membawa roti itu pada malam hari karena ia tidak yakin di siang bolong seperti ini, Noelle bisa pergi keluar dengan bebas.
"Oi Dariel! Darimana saja kau?" Panggil Tom yang baru saja keluar dari penginapan mereka. Bajunya sangat tebal dan membuatnya tampak seperti beruang besar. Dariel menatapnya dengan datar dan berjalan masuk ke dalam penginapan.
"Oh, apa ini? Apa roti-roti ini untukku?" Tanya Tom yang hendak mengambil roti yang berada di dalam pelukan Dariel.
Plak. Dariel memukul tangan Tom dan menyingkirkan tangan Tom dari roti itu, "Kalau kau mau, beli sendiri." Balas Dariel yang kemudian melenggang masuk ke dalam penginapan tanpa memedulikan Tom yang menatapnya dengan kesal.
"Awas saja kau brengsek! Aku tidak akan membagi makananku padamu lagi!" Teriak Tom dengan kesal dan kemudian pergi meninggalkan penginapan untuk bermain.
***
Odelia dan Frans berjalan melintasi hutan dan menuju pertambangan tersembunyi yang dikatakan oleh Leo. Ia tidak mau mengulur waktu lebih lama lagi dan ingin secepatnya menemukan Noelle.
"Leo sialan! Kenapa aku harus melintasi jalan jelek begini demi menemukan gadis itu?! Dia hanya menambah pekerjaanku saja!" Maki Odelia sambil terus mencari jalan yang bisa ditapaki di atas tumpukan salju yang tebal itu.
"Nona, sepertinya kita salah jalan." Ucap Frans yang juga sibuk mencari jalan untuk bisa dilewati oleh mereka berdua.
"Apa?! Salah jalan lagi?!" Tanya Odelia frustasi. Ini sudah yang ketiga kalinya mereka salah jalan dan selalu kembali ke titik awal. Hari sudah mulai petang dan pencarian mereka masih belum mengalami kemajuan sama sekali, hal itu semakin membuatnya frustasi.
"Ayo kita kembali ke penginapan saja." Ucap Odelia dengan mood yang sangat jelek.
"Tapi nona..."
"Besok kita akan mencari lagi. Perutku sudah lapar." Potong Odelia sambil berjalan pergi keluar dari hutan itu. Frans yang hanya berstatus sebagai bawahannya pun hanya menurut dan mereka kembali ke penginapan.