Chapter 8 - Chapter 8

"Amelia, aku suka sama Kak Reno." Ujar teman sebangkuku yang sudah kuanggap sebagai teman dekatku sejak aku menduduki bangku SMA, ia bernama Eliza.

Parasnya yang cantik dan manis dengan rambut ikal sepunggung, mata bulat dengan bulu mata yang lentik, tubuh ramping dengan wajah yang kecil, ia diberkahi dengan semua kecantikan itu sendiri. Sedangkan aku hanyalah manusia yang terlahir dengan paras yang biasa-biasa saja, malah menjadi teman sebangku Eliza.

Aku mengangkat kepalaku dan menatap Eliza, "Kak Reno?"

Eliza mengangguk.

"Iya Kak Reno, ketua tim basket itu."

Reno Saputra, ketua tim basket yang terkenal akan ketampanannya dan juga merupakan ace tim basket sekolah kami. Bahkan, ia dilabeli oleh guru-guru sebagai siswa teladan di sekolah kami. Jika dipikirkan secara realistis, tidak mungkin ada manusia sesempurna itu di dunia nyata, tetapi jika kau melihatnya secara langsung, mungkin kau terpaksa harus memercayai jika ada manusia yang terlahir seperti tokoh utama pria di dalam novel.

Ia selalu menduduki peringkat teratas di angkatannya, tidak pelit dan baik hati dengan siapapun. Tak jarang, jika ada perempuan yang ditolong olehnya, perempuan-perempuan tersebut akan langsung ke-ge-eran dan jatuh hati padanya.

Aku sebagai siswi yang gemar membaca buku terutama novel remaja seperti karya milik Lexie Xu dan Ilana Tan, hanya bisa mendengarkan Eliza mengutarakan isi hatinya dengan datar. Jujur saja aku tidak terlalu peduli dengan Kak Reno dan para laki-laki terkenal yang ada di sekolah kami, karena percuma saja jika aku menyukai salah satu dari mereka, perasaan suka seperti itu tidak akan pernah terbalas dan hanya akan membuang-buang waktuku.

Sampai suatu hari, seorang teman lama ibuku datang berkunjung ke rumah kami bersama dengan keluarganya.

"Nak Reno, kenalin ini anak tante, namanya Amelia."

Ya, Kak Reno adalah anak dari teman lama ibuku.

"Kamu Amelia dari kelas 1 MIPA-1 kan?" Tanya Reno tak lama setelah ibuku memperkenalkanku pada Kak Reno.

Jujur saja, aku sangat terkejut ketika dia mengetahui namaku dan juga kelasku. Bagaimana bisa seorang laki-laki terkenal sepertinya mengenalku yang hanya remahan rengginang ini?

Yah, aku tidak mau ambil pusing. Mungkin kebetulan saja Kak Reno tahu, bisa jadi dia mendengarnya saat makan di kantin atau di tempat lain. Aku tidak ingin ke-ge-eran seperti perempuan-perempuan itu.

Sejak saat itulah, kehidupan datar dan damaiku mulai berubah.

Saat aku mulai menduduki bangku kelas dua SMA, Kak Reno mulai sering berpapasan denganku dan menyapaku. Tidak sampai disitu saja, terkadang Kak Reno mampir ke perpustakaan dan menggangguku yang sedang sibuk membaca buku, bukan buku pelajaran, lebih tepatnya buku novel.

Biasanya, kalau ada perempuan yang diganggu oleh Kak Reno seperti ini, mereka akan langsung jatuh cinta padanya dan semakin ge-er, tetapi tidak untukku. Kak Reno benar-benar seperti lalat yang sangat senang menggangguku.

Benar, lalat pengganggu yang harus segera di musnahkan.

"Amelia~"

"Kak, bisakah kau berhenti menggangguku?"

Namun, Kak Reno malah tertawa dan semakin sering menggangguku.

Hingga akhirnya, suatu hari Eliza tiba-tiba berhenti berbicara denganku dan mengabaikanku.

Aku ingin bertanya padanya, mengapa dia menjauhiku? Apa aku ada berbuat salah dengannya?

Keesokan harinya, sebuah rumor buruk tentangku mulai menyebar. Dalam rumor tersebut, aku difitnah sebagai wanita murahan, wanita penjilat, bahkan perebut laki-laki orang. Saat aku hendak mendekati Eliza pun, ia hanya menatapku dengan sinis dan jijik lalu pergi meninggalkanku. Bukan hanya itu saja, tatapan orang-orang padaku berubah menjadi sangat dingin dan mereka mencemoohku, tidak ada satupun orang yang mau berteman denganku.

Aku benar-benar sendirian.

Aku yang tidak mengerti mengapa aku berada di situasi mengerikan seperti ini, hanya bisa bertanya-tanya dalam hati.

'Kesalahan apa yang sudah kulakukan kepada mereka sehingga mereka dengan teganya memitnahku seperti ini?'

Kehidupanku di sekolah berubah. Aku tidak berani lagi keluar dari kelas saat jam istirahat, aku berhenti mengunjungi perpustakaan, aku juga berhenti bersosialisasi. Lalu setiap malam dan di pagi hari aku selalu bertanya di depan cermin, 'Haruskah aku pergi ke sekolah?'

Kehidupan di neraka pun terus berlanjut. Aku selalu menguatkan diriku sendiri kalau aku akan baik-baik saja, semua masalah ini akan segera berlalu. Aku tetap memasang punggung yang tegak dengan wajah yang datar untuk menunjukkan bahwa aku kuat dan baik-baik saja.

Hingga suatu hari, aku dihadang oleh beberapa perempuan dari salah satu geng centil dan famous yang ada di sekolah kami.

Aku dibawa ke belakang gudang dan aku dilabrak habis-habisan. Bahkan, salah satu dari mereka mulai menjambak rambutku dan menamparku.

"Jauhin Reno sekarang juga! Lo gak pantes berada di samping Reno! Ngerti?"

Saat itulah aku paham. Penyebab dari semua rumor buruk dan jahat ini adalah karena Kak Reno. Karena Kak Reno terus-terusan menjahiliku, ada beberapa perempuan yang merasa iri dan mulai menyebarkan desas desus yang tidak-tidak tentangku.

Dan aku tahu siapa yang memulai fitnah palsu itu.

Eliza, perempuan itu berada diantara para perempuan yang melabrakku hari ini. Dia tersenyum puas ke arahku.

"Eliza, yang sabar ya. Cewek perebut kayak dia gak pantes jadi temen lo." Hibur salah satu perempuan yang ada disitu kepada Eliza.

"Kenapa..." Aku menatap Eliza dengan tatapan tak percaya dengan hati yang mencelos.

Eliza merupakan perempuan tercantik yang ada di angkatan kami. Dia terkenal periang dan baik. Bahkan, ia mau duduk sebangku denganku yang merupakan perempuan biasa ini. Tapi tidak kusangka, dibalik semua itu, ternyata Eliza merupakan perempuan yang jahat dan licik. Aku baru menyadarinya sekarang.

Andai saja aku tahu kalau Eliza adalah orang seperti itu, aku tidak akan mau duduk satu bangku dengannya. Semua hal yang pernah kami jalani bersama runtuh saat itu juga.

"Girls, pegang kedua tangan Amelia."

Tiba-tiba, kedua tanganku di tahan oleh beberapa perempuan yang ada disana. Dengan bingung aku bertanya pada mereka, "Ka... kalian, mau ngapain?"

Cindy, ketua geng tersebut mencengkram daguku dengan kasar sambil memelototiku, "Mending lo diam dan gak usah banyak tanya, oke?"

Cindy mundur dan menyuruh bawahannya untuk melucuti pakaianku. Ia menyalaka kamera dan mulai merekam semuanya.

"Ja-jangan..." Seruku sambil menatap ngeri tangan mereka yang membuka kancing bajuku. "Tolong jangan!" Teriakku histeris.

Plak!

Pipiku ditampar keras oleh mereka lagi.

"Dibilang diam!"

"Kenapa kalian melakukan hal kotor seperti ini padaku?!" Teriakku pada mereka sambil menangis.

"Kalian! Kalian apain Amelia?!"

Aku menatap kosong ke arah suara yang sangat kukenal. Suara husky yang selalu menggangguku sejak aku menduduki bangku kelas dua SMA, yaitu suara Kak Reno.

"K-Kak Reno?!" Sahut para perempuan yang sedang melabrakku.

Kak Reno segera berlari ke arahku dan menepis tangan perempuan yang mencekal kedua tanganku dengan kasar. Begitu pula dengan perempuan yang baru saja membuka kancing-kancing bajuku, Kak Reno menariknya ke belakang dan mendorongnya hingga ia terjatuh.

Kak Reno melihat penampilanku yang berantakan dan segera membungkus tubuhku dengan jaket yang sedang ia kenakan.

"Kak Reno... Ini gak seperti yang Kak Reno bayangkan..." Ucap Cindy dengan senyum yang dipaksakan.

Kak Reno tidak menjawab. Ia malah memberi tatapan yang sangat dingin dan tajam pada mereka semua hingga Cindy dan Eliza tersentak kaget dan ketakutan, begitu pula para perempuan yang ikut membantu dalam pembullyan ini.

"Reno, bawa Amelia pergi dari sini. Biar gue yang urus mereka." Ucap perempuan yang sangat cantik dan terkesan tomboy.

Reno mengangguk, "Tolong ya, Fris."

Ah aku ingat, di angkatan Kak Reno ada seorang wanita cantik yang tomboy. Wanita itu bernama Friska dan dia merupakan sahabat dari Kak Reno.

Kak Reno segera memapahku dan membawaku pergi dari belakang gudang. Dapat kudengar teriakan kasar dari perempuan yang bernama Friska itu.

"Aku antar pulang ya."

"Gak usah." Balasku sambil menepis tangan Kak Reno dari bahuku.

"Tapi tubuh kamu banyak luka."

"Emangnya karena siapa aku jadi seperti ini?!"

Tanpa sadar, aku berteriak kepada Kak Reno.

"Karena kakak selalu menggangguku, banyak perempuan yang iri padaku. Kenapa kakak terus-terusan menggangguku?! Aku tidak cantik dan tidak tenar. Laki-laki sempurna seperti kakak tidak pantas berteman denganku yang rendahan ini. Aku tidak mengerti, aku..."

Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku lagi karena tenggorokanku sudah mulai tercekat dan kepalaku pusing. Mataku mulai buram dengan air mata.

"Amelia, aku-"

"Kuharap kakak berhenti menggangguku," Ucapku sambil mengambil tasku yang dibawa oleh Kak Reno. "Terimakasih sudah menyelamatkanku." Bisikku pelan sambil membalikkan badanku dan berjalan menjauh dari Kak Reno.

Saat itulah aku melihat Kak Reno untuk yang terakhir kalinya karena orang tuaku memutuskan untuk segera memindahkanku ke sekolah lain setelah melihat luka dan keadaanku yang sangat berantakan akibat ulang geng centil itu.

-_*_-

Semua kenangan burukku di SMA kembali berputar didalam memori ingatanku.

Aku bersender pada pilar besar yang berada di dekat taman.

Keringat dingin mengalir deras hingga membasahi dahi dan tengkukku, perasaan takut dan dingin membuat tubuhku bergetar ketakutan, napasku ikut sesak hingga aku berjongkok sambil memeluk tubuhku sendiri.

Tatapan mata orang-orang yang ada di dalam ballroom tadi, sama persis dengan tatapan orang-orang yang ada di sekolahku waktu itu. Aku tidak ingin merasakan perasaan terpojok seperti itu untuk yang kesekian kalinya. Aku takut.

Tap.

Sebuah jas besar membalut tubuhku. Aku mendongak dan melihat seorang pria bersurai pirang lemon sudah bertekuk lutut tepat disampingku.

"Cornelia, apa kau tidak apa-apa?" Tanyanya dengan suara yang lembut.

Manik matanya yang berwarna cokelat keemasan menatapku dengan khawatir. Wajahnya benar-benar sangat tampan dan cantik, tidak kalah tampan dengan Charles dan juga Rei.

Siapa dia?

"Aku tahu, seharusnya saat itu aku tidak melepasmu hanya karena kau mencintainya."

Tunggu, tunggu!

Apa dia Detrix?

"Andai saja saat itu aku menahanmu, mungkin saat ini kau sudah bahagia bersamaku."

Menahanku? Bahagia bersamanya?

Jangan bilang, dia benar-benar Detrix.

"Apa kau mau aku membunuhnya untukmu?" Tanyanya padaku dengan polosnya.

Aku segera menggelengkan kepalaku secepat mungkin.

Apakah bunuh, membunuh dan dibunuh adalah hal yang sangat wajar di dunia ini?

Hah... Sungguh sial sekali, kenapa aku terdampar di dunia gila seperti ini.

Tapi syukurlah, berkat kehadirannya, pikiranku mulai tenang kembali.

"Terimakasih." Ucapku sambil tersenyum lemah padanya.

Aku sungguh berterimakasih padanya. Kalau saja dia tidak menghampiriku dan berbicara denganku, aku tidak tahu lagi akan bagaimana nantinya.

Detrix membelalakkan matanya.

"Cornelia... Kau tersenyum..."

"Em? Y...ya?"

"Kau tersenyum padaku!" Serunya dengan raut wajah yang sangat bahagia.

Hah? Memangnya kenapa kalau aku tersenyum padanya?

"Akhirnya setelah sekian lama, kau tersenyum lagi padaku. Sungguh, aku sangat senang malam ini."

Detrix mengulurkan tangannya dan menyentuh pipiku. Dengan sinar mata yang hangat, dia mengelus pipiku yang lengket akibat keringat yang mengalir deras di wajahku tadi.

"Pa-Pangeran?"

Raut wajahnya seketika berubah menjadi sedih.

"Panggil aku Detrix, seperti yang kau lakukan dulu."

"Ba... Baiklah. Detrix?"

Detrix tersenyum lebar padaku, "Iya, Cornelia?"

Sungguh, banyak sekali hal yang membuatku bingung setelah bertemu dengan Detrix. Hubungan seperti apa yang sudah dijalani oleh Detrix dan Cornelia sebelum Cornelia menikah dengan Charles? Kenapa Detrix terlihat sangat bahagia saat aku tersenyum padanya? Kenapa dia begitu lembut padaku sampai seperti ini?

Kalau boleh jujur, aku tidak ingin mengusir tangan besar dan hangat ini dari pipiku. Aku ingin menikmati elusannya sebentar saja karena rasanya begitu hangat, kehangatan yang sebelumnya belum pernah kurasakan sejak aku terdampar di dunia asing yang mengerikan ini. Kehangatan yang mampu menenangkan hati dan pikiranku. Sayangnya aku tidak bisa mengikuti egoku karena saat ini, aku sudah berstatus sebagai istri orang.

"Bisakah kau menjauhkan tanganmu dari pipiku?" Tanyaku dengan hati-hati.

"Ah," Detrix segera menarik tangannya dari pipiku, "Maafkan aku."

Aku mengangguk dan kembali diam. Suasana di antaraku dan Detrix menjadi canggung.

Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan kalau sudah seperti ini?

"Apa kau sudah tidak apa-apa, Cornelia?" Tanya Detrix menghilangkan keheningan di antara kami.

Aku mengangguk.

"Maukah kau kembali ke dalam bersamaku?"

Aku menggeleng.

Tidak mungkin aku kembali lagi ke dalam kerumunan yang mengerikan itu. Aku ingin segera pulang dan mengisolasi diriku dari dunia luar.

"Kalau begitu, izinkan aku mengantarmu kembali ke penginapanmu." Ucap Detrix sambil berdiri dan membungkuk mengulurkan tangannya padaku.

Aku menatap uluran tangannya sebentar lalu menatap matanya, "Bagaimana dengan pesta ulang tahunmu?"

"Aku sudah memberikan salam kepada para tamu. Jadi, kau tidak perlu mencemaskan pesta ulang tahunku karena saat ini kaulah yang lebih penting."

Seolah tersihir dengan kalimatnya barusan, aku membalas uluran tangan Detrix. Dengan lembut Detrix memegang jemari tanganku dan membantuku berdiri. Ia mengeratkan jas miliknya yang ia kenakan padaku tadi agar aku tidak kedinginan dan tersenyum hangat padaku.

"Ayo, kuantar pulang."

Aku dan Detrix kembali ke dalam ballroom dan berjalan menuju pintu keluar. Semua mata yang mengerikan itu kembali menatapku dan membuat tubuhku kembali bergetar ketakutan hingga kurasakan napasku yang kembali sesak.

"...lia?"

Ah sial. Sungguh, aku tidak ingin terlihat lemah. Tapi jujur saja, trauma itu membuatku benar-benar menjadi wanita yang lemah saat ini. Aku tidak kuat lagi, aku ingin segera keluar dari tempat ini.

"Cornelia?!"

"Ah!"

Saat aku sadar, aku sudah terduduk dilantai sambil memegang erat jas milik Detrix yang melingkari tubuhku dengan napas tersengal-sengal.

Aku melihat sekeliling sekali lagi dan aku masih mendapati orang-orang menatapku dengan mata yang mengerikan itu.

"Cornelia, apa kau benar tidak apa-apa?" Tanyanya sambil memegang erat pundakku.

Dengan napas yang berat, aku mencengkram baju Detrix sambil menunduk ketakutan.

"Detrix... Aku takut... Aku ingin segera pergi dari sini..."

Kepalaku mulai berkunang dan tidak butuh waktu lama hingga awan gelap menelanku saat itu juga.

-_*_-

"Apa kau tidak apa-apa, Odelia?" Tanya Charles setelah mereka berdua pergi ke ruang istirahat.

"Charles."

"Ya?"

"Apa kau sudah berpindah hati pada Cornelia?" Tanya Odelia sambil menatap Charles dingin dengan wajah yang memerah.

"Entahlah. Aku tidak tahu." Balas Charles sambil mengeringkan gaun Odelia yang terkena sampanye tadi.

Mood Odelia seketika semakin turun dan ia menatap pria yang sedang sibuk mengeringkan gaunnya dengan tatapan yang sangat dingin. Ditambah, saat ini dia sedang di bawah pengaruh obat yang memunculkan halusinasi. Karena sudah tidak bisa menahan gejala aneh yang ada pada dirinya, akhirnya melontarkan apa yang dipikirkannya saat ini dihadapan Charles.

"Kau tidak boleh berpindah ke lain hati. Kau milikku." Gumamnya pelan namun terdengar jelas di telinga Charles.

Charles tersentak dan menghentikan tangannya. Ia menoleh pada Odelia dan menatap matanya.

"Apa maksudmu, Odelia?"

Odelia tidak membalas pertanyaan Charles. Ia mengulurkan kedua tangannya menuju leher Charles lalu memeluk lehernya dan menarik Charles ke arahnya. Tanpa basa basi, Odelia mencium bibir Charles.

"O-Odelia, apa yang kau lakukan?!" Tanya Charles setelah mendorong bahu Odelia dengan paksa.

"Charles, kau milikku!" Rengek Odelia dengan wajah yang memerah.

"Odelia, kenapa tiba-tiba kau seperti ini?"

Namun bukannya menjawab Charles, Odelia malah menggumamkan hal lain, "Padahal aku sudah bersusah payah menjauhkan adikmu darimu, lalu sekarang kau memberikan perhatianmu pada Cornelia. Haruskah aku melenyapkannya juga?" Gumam Odelia secara tidak sadar dan terlihat gelisah.

Charles mematung setelah mendengar gumaman Odelia.

"Apa yang baru saja kau katakan? Adikku?" Tanya Charles memastikan pendengarannya.

Odelia menyeringai lebar sambil menatap Charles dengan bahagia, "Iya! Adikmu! Aku menculiknya lalu kujadikan dia budak di suatu tempat karena sudah berani-beraninya mengambil perhatianmu dariku!"

Charles segera berdiri dan melangkah mundur. Ia menatap Odelia dengan tatapan tidak percaya dengan pendengarannya.

"Kali ini, haruskah aku menculik Cornelia dan membunuhnya di suatu tempat?" Lanjut Odelia lagi.

Charles mengepalkan tinjunya dengan sangat erat hingga urat-urat ditangan dan dahinya menonjol keluar. Dia sudah mencari adiknya yang menghilang sejak empat tahun yang lalu dan tidak menemukan jejak yang berhubungan dengan adiknya. Bahkan, ia rela menyewa informan handal yang disarankan oleh Odelia untuk menemukan adiknya, namun hasilnya nihil.

Pantas saja nihil, ternyata Odelia lah dalang dibalik semua itu.

"Fuu... Ha..."

Charles menarik napasnya dengan sangat dalam, lalu mengeluarkannya. Ia mencoba menahan amarah yang mendidih di dalam hatinya dan menatap Odelia dengan dingin.

"Kau... Dimana adikku sekarang?" Tanya Charles sambil menekan amarahnya.

Klang!

Seketika, bom asap memenuhi ruangan. Charles dengan siaga memasang indera penglihatan dan pendengarannya dari musuh yang menyerang mereka secara tiba-tiba. Lalu, seseorang berjubah hitam yang menutupi kepala, wajah, hingga kakinya segera berdiri tepat di balik Odelia dan membawa Odelia pergi dari hadapan Charles. Charles berusaha mengejar mereka di antara kabut asap yang menyebar di dalam ruangan itu, namun ia malah kehilangan jejak mereka.

"Tck!"

Dengan kesal, Charles menghirup udara malam untuk memadamkan api amarah yang membara di dalam hatinya selama beberapa saat. Setelah itu, ia berjalan kembali ke dalam ballroom dan hendak mencari istrinya untuk di bawa pulang karena moodnya saat ini sedang sangat buruk. Saat ia berjalan kembali ke tengah ballroom, ia melihat orang orang berkerumun di tengah ballroom. Charles menyelinap dan ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Matanya membelalak saat ia melihat istrinya jatuh pingsan di tengah ballroom. Ia segera berlari menghampiri istrinya, namun Detrix dengan cekatan mengangkat tubuh istrinya ala bridal dan membawanya pergi keluar dari ballroom tersebut.

"Cornelia!"