Chapter 9 - Chapter 9

Detrix menunggu hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter kerajaan kepada Cornelia. Dia tampak cemas dan tidak dapat mengalihkan pandangannya sedetikpun dari wajah Cornelia yang terpejam dengan damai di atas tempat tidur miliknya.

"Bagaimana keadaannya?" Tanya Detrix pada sang dokter.

"Dari cerita yang telah Yang Mulia sampaikan kepada saya dan melihat kondisi Nyonya Harvey saat ini, sepertinya Nyonya Harvey mengalami shock berat akibat trauma hingga ia jatuh pingsan. Apa sebelumnya Nyonya Harvey pernah mengalami kejadian buruk?"

Detrix menggeleng. Setaunya, hidup Cornelia benar-benar sangat damai dan tak ada kekurangan sedikitpun.

Detrix menatap wajah Cornelia yang sedang tertidur dengan tenang dan damai. Detrix berpikir, trauma apa yang bisa membuat Cornelia bisa sampai seperti ini?

Sejak ia bertemu Cornelia sebelas tahun yang lalu, ia tidak pernah melihat Cornelia mengalami kejadian mengerikan yang dapat membuatnya trauma sama sekali. Kedua orang tuanya, Kaisar dan Permaisuri, sangat menyayangi Cornelia hingga Cornelia tumbuh menjadi wanita manja yang semua keinginannya wajib terpenuhi.

"Apa kau sudah memeriksanya dengan benar?" Tanya Detrix sekali lagi.

Dokter itu mengangguk, "Saya sangat yakin, beliau pingsan karena teringat akan traumanya karena tidak ditemukan gejala-gejala tidak sehat dari tubuhnya."

"Periksa sekali lagi." Perintah Detrix tak peduli dengan apa yang dikatakan dokter tersebut.

"Yang Mulia, itu-"

Detrix menatap dokter tersebut sambil memegang gagang pedang yang tersampir di pinggangnya.

"Heuk!"

Dokter tersebut segera memeriksa Cornelia sekali lagi, dua kali, tiga kali, hingga belasan kali karena Detrix terus-terusan menyuruhnya memeriksa dengan benar.

"Periksa sekali lagi." Suruh Detrix tanpa ampun.

"Yang Mulia..." Rengek sang dokter.

"Pangeran, sepertinya dokter itu sudah memeriksa Nyonya Harvey dengan benar." Sela Edwin yang lelah melihat adegan yang sama berulang kali.

Detrix memegang dagunya dan terlihat tengah berpikir. Tak lama kemudian, kalimat yang dinantikan dokter sedari tadi keluar dari mulut Detrix.

"Baiklah kalau begitu, kau sudah boleh pulang."

Dokter tersebut dengan semangat yang membara segera membungkuk hormat pada Detrix setelah ia meletakkan vitamin untuk di konsumsi oleh Cornelia dan pamit.

Edwin yang sedaritadi memerhatikan di belakang Detrix, mulai membuka mulutnya.

"Yang Mulia, apa anda yakin ingin merawat istri orang lain di kamar anda?"

"Kalau aku tidak merawatnya sekarang juga, apa yang akan terjadi padanya nanti? Kau juga sudah lihat bukan bagaimana si Harvey itu memerlakukan istrinya saat berada di pesta tadi? Bagaimana bisa aku menyerahkannya kepada bajingan seperti itu?"

"Hah..."

Edwin menghela nafas sambil mengangkat kedua tangannya, menyerah.

Pria kuat yang menghabisi ribuan musuh di medan perang dan sedang sibuk merencanakan strategi untuk mengambil tahta dengan menghabisi nyawa saudara-saudaranya, tunduk dengan setia di bawah Kekaisaran Crescentia lantaran ia jatuh cinta pada putri kaisar yang saat ini terbaring lemah dihadapannya, Cornelia Harvey.

Sejak pertemuan Detrix dan Cornelia sebelas tahun yang lalu, Detrix sudah menaruh hati pada Cornelia lantaran Cornelia yang dulu mereka kenal merupakan wanita kuat yang menjadi pemimpin dalam permainan jika mereka bertemu dalam jamuan teh yang diadakan oleh permaisuri.

Apalagi, Detrix di anak tirikan oleh ayahnya sendiri lantaran ayahnya jatuh cinta dengan selir kerajaan. Tersiksa sendirian tanpa adanya teman, membuat Cornelia yang hadir mengulurkan tangannya pada Detrix sambil tersenyum cerah terlihat seperti malaikat kecil yang ditakdirkan untuk menyelamatkan Detrix dari kehidupannya yang terasa hampa dan gelap.

Memang, kepribadian Cornelia sedikit kurang ajar karena selalu di manja oleh kedua orang tuanya, tapi Cornelia selalu baik kepada orang-orangnya, bahkan ia dengan senang hati membantu orang-orang yang kesusahan dari balik layar.

Cornelia juga tidak ingin terlihat terlalu mencolok saat ia berbuat baik kepada orang lain. Ia hanya akan menyuruh bawahannya untuk menyalurkan bantuan miliknya pada orang-orang yang membutuhkan tanpa harus menginjakkan kaki dan bertatapan muka langsung dengan orang-orang yang ingin ia tolong.

Dua bulan sekali, Cornelia selalu meminta nanny-nya untuk menemaninya pergi bermain di pusat kota bersama dengan anak-anak jalanan yang ada disana. Tentu saja dia tidak datang dengan wujud aslinya, melainkan ia datang menyamar sebagai bocah laki-laki.

Lalu, bagaimana Detrix dan Edwin bisa tahu tentang semua itu?

Cornelia sendiri yang menceritakan dan memperlihatkannya secara tak langsung pada mereka.

Cornelia dengan bangganya memamerkan kepada Detrix dan Edwin kalau dirinya memiliki banyak teman yang menyenangkan selain mereka berdua. Cornelia juga menceritakan betapa nikmatnya jajanan para rakyat jelata kepada Detrix dan Edwin. Hari-hari dimana Cornelia dengan kepribadian yang uniknya itu berakhir saat dirinya menginjak umur 15 tahun.

Penyebab perubahannya adalah tubuhnya yang mulai menunjukkan tanda-tanda kewanitaan. Seperti dadanya yang mulai tumbuh seperti wanita pada umumnya sehingga ia tidak bisa menyamar sebagai laki-laki lagi.

Kedua, Cornelia sudah tidak bebas untuk berkeliaran sesukanya lagi lantaran dia akan segera debut dilingkup sosial bangsawan.

Ketiga, Cornelia mulai jatuh cinta dengan Charles Harvey hingga ia merombak habis kepribadiannya menjadi sesosok wanita bangsawan yang elegan.

Sebelum Cornelia bertemu dengan Charles Harvey, rumor jahat tentang dirinya jarang sekali muncul. Tidak semua orang bisa bertemu dengan anggota keluarga kekaisaran, sehingga orang-orang hanya bisa membuat rumor palsu dan berspekulasi sesuka hati mereka.

Lalu, rumor-rumor jahat tentangnya mulai banyak bertebaran saat Cornelia memohon kepada kaisar untuk menikah dengan Charles Harvey. Detrix yang merupakan tunangannya saat itu hanya bisa menerima keputusan Cornelia dengan hati yang berat dan mendukung apapun keputusannya.

Namun, ia bersumpah untuk tidak akan tinggal diam jika Charles Harvey menyakiti Cornelia di depan matanya sendiri.

"Charles Harvey... Berani-beraninya pria itu menyakiti Cornelia-ku?"

Malam itu, Detrix bersumpah tidak akan membiarkan masalah ini berlalu begitu saja.

-_*_-

Mendapatkan cinta dan kasih sayang, merupakan salah satu dari banyak hal yang sangat diinginkan oleh manusia. Entah itu cinta dari keluarga, cinta dari lawan jenis, dan sebagainya. Hidup tanpa cinta, rasanya dunia ini terlihat gelap dan terasa hambar.

Aku merenung di sebuah danau di dalam dunia abu-abu ini dengan mata kosong. Tak jauh di sampingku, seorang wanita dengan surai hitam kebiruan sedang menangis sendirian. Aku tahu siapa wanita itu. Wanita itu adalah pemilik asli dari tubuh yang kurasuki saat ini.

Aku hanya diam sedari tadi. Baik wanita itu maupun aku, masing-masing dari kami memiliki masalah yang membuat sesak kepala. Tak perlu diberitahupun, aku tahu ia menangis karena cintanya kepada Charles tak terbalas.

Lalu aku? Aku hanya menerawang jauh dan menikmati kesunyian ini. Masa-masa kelamku saat di SMA terus berputar di dalam benakku. Orang-orang jahat yang hanya memikirkan diri mereka sendiri, yang hanya bisa menertawakan nasib orang lain, yang menghancurkan kehidupan orang lain hanya karena egonya masing-masing, mereka telah merubah duniaku yang sebelumnya penuh warna menjadi hambar.

Mati-matian aku berusaha melupakan kenangan buruk itu. Setiap malam aku hanya bisa terbangun dan menangis lantaran mimpi buruk tentang pembullyan itu sering muncul di dalam mimpiku. Aku meminta kepada kedua orang tuaku untuk pindah sekolah di tempat yang jauh, jauh dari orang-orang jahat itu. Aku mulai mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru, menutup diri dari orang-orang sekitar dan berusaha untuk tidak terlihat mencolok. Aku juga hanya bergaul dengan anak-anak yang tidak terlalu mencolok. Kemudian aku menjauhkan diriku dari orang-orang yang terkenal disekolahan hingga mereka berpikir kalau aku terlalu tertutup dan mereka merasa seperti aku tidak ingin berteman dengan mereka.

Kehidupan baruku di sekolah baru terasa tenang walaupun ada saatnya aku tidak nyaman karena pandangan anak-anak yang terkenal itu padaku. Aku tidak tahu kenapa mereka ingin sekali aku dekat dengan mereka, dan aku pun tidak terlalu peduli dengan mereka.

Alasannya adalah setiap kali aku melihat mereka, aku teringat akan Eliza yang terkenal karena kecantikannya dan mengkhianatiku hanya karena seorang pria.

Walaupun lingkungan di sekolah baru tampak tenang dan baik-baik saja, ada kalanya aku merasa khawatir dan berpikiran negatif, takut kejadian buruk yang menimpaku sebelumnya terulang lagi di sekolah baruku ini.

Waktu pun berlalu hingga akhirnya aku lulus SMA dan masuk ke perguruan tinggi. Bersamaan dengan itu, trauma buruk yang sempat menimpaku itu perlahan memudar dan aku bisa dengan bebas menjalani kehidupanku sebagai mahasiswa. Aku pun sempat jatuh cinta pada seorang pria dan duniaku yang abu-abu ini sempat mendapatkan kembali warnanya, namun tak lama kemudian, warna itu kembali redup dan menghilang lantaran aku mengetahui bahwa teman masa kecilku berpacaran dengan pria yang aku suka.

Aku sempat patah hati, tapi aku tetap menjaga pertemananku dengan teman masa kecilku karena aku tidak ingin pertemanan kami hancur hanya karena seorang pria, seperti yang pernah terjadi saat aku duduk di bangku SMA.

Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi mencoba untuk jatuh cinta. Aku menjalani kehidupan lajangku hingga aku (mungkin) mati tertabrak motor dan terdampar di dunia yang asing ini.

Aku mendongak dan menatap langit kelabu. Walaupun tidak ada warna, dunia monokrom ini terasa lebih nyaman daripada dunia yang ada di luar sana. Disini, tidak ada yang bisa memberikan tatapan menjijikkan itu padaku, akupun tidak perlu melihat tatapan jahat itu.

Walau begitu, bohong jika aku tidak ingin merasakan warna di dalam dunia monokrom ini.

Duniaku yang kelabu ini, kapan akan kembali berwarna?

"Hei, Cornelia," Panggilku pada Cornelia tanpa menoleh padanya, "Kau ingin aku melakukan apa dengan tubuhmu ini?" Tanyaku padanya sambil menatap danau abu-abu yang pekat.

Cornelia menghentikan isak tangisnya dan beralih padaku.

"Cornelia?"

Tak ada jawaban darinya selama beberapa menit hingga kurasakan seseorang memelukku dari belakang. Rambut hitam kebiruannya jatuh ke depan bahuku dan tangannya yang kecil melingkari leherku dengan lembut.

"Amelia tidak perlu melakukan apapun," Balasnya dengan suara yang lembut. "Namun jika boleh, aku ingin meminta padamu untuk bahagia."

"Kau ingin bahagia?"

"Bukan aku, tapi kau, Amelia."

"...aku?"

Bahagia?

Bisakah aku bahagia?

"Kau tidak terikat dengan takdirku. Kau bebas melakukan apapun dengan tubuhku. Aku berikan kau kesempatan untuk bahagia menggunakan tubuhku," Lanjut Cornelia dengan suara yang mengalir lembut. "Kembalilah. Ada orang yang sedang menunggumu."

Tiba-tiba, sebuah pusaran air muncul di atas permukaan danau hingga membuatku tersentak. Segera, aku menoleh ke belakang dan melihat Cornelia tersenyum padaku.

"Hah? Hei, aku masih ingin mengobrol denganmu!"

"Kita akan bertemu lagi nanti."

Seketika, tubuhku didorong oleh Cornelia ke arah danau dan aku pun terjatuh ke dalamnya. Aku tak bisa menggerakkan tubuhku dan mencoba menggapai sesuatu di dalam air.

Setelah itu, aku tidak mengingat apapun lagi.

-_*_-

"Yang Mulia, Duke Harvey ingin bertemu dengan anda." Ucap seorang penjaga yang datang dengan terburu-buru.

"Suruh dia pulang." Balas Detrix acuh tak acuh.

"Tapi Yang Mulia-"

"Selamat malam, Yang Mulia. Saya datang untuk membawa pulang istri saya." Ucap Charles setelah menerobos masuk ke dalam istana Osvald.

"D-Duke?! Anda tidak boleh menerobos masuk seperti itu!" Seru pelayan yang mengejar Charles dari belakang.

Detrix menatap Charles dengan angkuh, "Apakah Duke Harvey tidak tahu sopan santun?"

Charles membungkuk sedikit sambil menaruh tangan kanannya di depan dada, "Maafkan aku karena menerobos masuk ke dalam istana. Tapi tujuanku ke sini murni karena mengkhawatirkan istriku. Kuharap anda mengerti, pangeran."

"Ho? Begitu? Setelah kau membentaknya di pesta ulang tahunku hari ini?"

"Pangeran, bagaimana kau tahu..."

Detrix mengabaikan Charles sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Charles, "Pulanglah. Aku akan merawat Cornelia sampai dia sembuh."

"Tidak, pangeran. Anda tidak perlu repot-repot merawat istri orang lain karena aku sebagai suaminya yang akan merawatnya."

Kedua pria itu saling menatap dengan aura membunuh.

"Edwin, ambilkan pedangku."

Charles pun bersiap menarik pedang yang tersampir di pinggangnya.

"Tidak, pangeran!" Balas Edwin dengan tegas.

Detrix menoleh pada Edwin dan tersenyum padanya, "Apa kau juga ingin mati?"

"Tentu saja tidak, pangeran."

"Yasudah, berikan saja pedangku."

Mau tidak mau, Edwin mengambil pedang milik Detrix yang terletak tak jauh di dekat meja kerjanya. Edwin hanya bisa menahan pusing akibat kelakuan gila yang akan dilakukan Detrix jika sudah menyangkut tentang Cornelia.

"Tunggu, tunggu!" Seru suara cempreng nan lembut dari belakang mereka.

"Cornelia?" Gumam Detrix yang sangat hafal dengan pemilik suara barusan.

Cornelia sudah bangun dari mimpi singkatnya dan segera bangkit dari kasur. Ia menghampiri kedua pria yang hendak bertempur di dalam kamar keluarga kerajaan dan berdiri ditengah-tengah mereka, "Hentikan! Apa kalian berdua sudah gila?"

Cornelia sempat mendengar percakapan dingin di antara dua pria ini sebelumnya. Baru saja dia terbangun akibat tenggelam di dalam danau, tiba-tiba saja dia mendengar suara Detrix dan juga Charles yang sedang berdebat untuk merawat dirinya. Walaupun kepalanya masih sangat pusing, Cornelia memaksakan diri untuk bangun demi mencegah pertumpahan darah di antara dua pria itu.

Detrix melempar pedang yang baru saja dia pegang dan memeluk Cornelia dengan mata yang berbinar, "Cornelia! Syukurlah kau bangun!"

"D-Detrix?!"

"Hei," Seru Charles segera memisahkan Detrix dari Cornelia, "Apa yang baru saja kau lakukan pada istri orang lain?"

Detrix sangat kesal sudah dipisahkan dari Cornelia, ia menatap Charles dengan aura membunuh yang terlalu ketara, "Lalu apa yang kau lakukan dihadapan istrimu saat di pesta tadi, hah?"

"Kau..."

"ARGH HENTIKAN KALIAN BERDUA!" Bentak Cornelia sambil menjambak rambutnya frustasi, ia kemudian menarik lengan Charles dan memeluknya, "Kau menjemputku bukan? Ayo kita pulang."

"Cornelia..." Panggil Detrix dengan lemah karena tidak rela jika Cornelia harus pergi bersama dengan pria brengsek itu.

Cornelia menghela napas pelan, "Yang Mulia, terimakasih sudah membantuku hari ini. Aku akan membalas kebaikanmu dikemudian hari nanti. Maafkan kekasaran sikap suamiku," Ucap Cornelia sambil menekuk setengah lututnya dan mengangkat sedikit gaunnya untuk memberi hormat kepada Detrix. "Kalau begitu, kami pamit undur diri dulu."

Cornelia segera berbalik dan menarik lengan Charles dengan terburu-buru. Ia tidak ingin melihat ada perkelahian diantara Charles dan Detrix. Saat ia sudah keluar dari kamar Detrix, Cornelia menolehkan kepalanya kebelakang dengan kesedihan yang terlihat samar di wajahnya.