Paras cantik bagaikan boneka, rambut yang ditata dengan sangat rapi oleh sang ahli, gaun biru pastel yang membalut tubuhku dengan sangat indah, oke fix aku sudah seperti tuan putri yang turun dari khayangan.
"Hee... Ini aku...?" tanyaku pada diriku sendiri dengan cengiran aneh yang tak lepas dari wajahku.
Mataku masih terpesona pada sesosok wanita cantik yang terpantul dalam cermin ini. Lihatlah betapa indahnya ciptaan tuhan yang terpantul di dalam cermin yang bersih mengkilap ini.
Namun seketika wajahku kembali murung mengingat dua malam yang sudah kulewati beberapa hari ini berjalan dengan sangat amat tidak nyaman.
"Nyo-Nyonya, apa masih ada yang kurang?" tanya salah satu pelayanku bernama Marie yang bertugas mengurusi penampilanku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Seminggu sebelum pesta perayaan ulang tahun Pangeran Detrix Osvald, aku bersama Yura dan beberapa pelayan lainnya pergi menuju ke Kerajaan Osvald dan memesan kamar di salah satu hotel khusus untuk bangsawan yang di undang oleh keluarga kerajaan yang berada di pusat kota Osvald, sedangkan Charles menyusulku setelah ia menyelesaikan pekerjaan yang harus ia kerjakan sehari setelah keberangkatanku.
Menuju ke Kerajaan Osvald, di butuhkan waktu lima hari di perjalanan. Tentu saja, aku yang sampai terlebih dahulu di penginapan.
Dan kalian tahu?
Dua malam ini aku tidur dalam satu kamar bersama Charles!
Karena setiap bangsawan hanya disediakan satu kamar dari setiap perwakilannya, mau tidak mau aku dan Charles terpaksa harus tidur bersama dalam satu kamar, diatas ranjang yang sama.
Dan sialnya lagi, baju tidur Charles memperlihatkan dada bidangnya dan juga otot-otot sixpack miliknya, ditambah lagi tetesan air dari rambut basahnya yang mengalir di tengkuk, dahinya, lehernya, kemudian tulang selangkanya. Bagaimana imanku tidak goyah jika aku tanpa sengaja melihat sesuatu yang menggairahkan seperti itu selama beberapa jam?!
Pada akhirnya, aku tidak bisa tidur dengan tenang.
Aku harus tetap waspada pada Charles dan berbaring di pojokan kasur agar tidak bersentuhan dengannya sambil berdo'a kepada Tuhan agar aku kuat menahan diri dari godaan syaiton yang terkutuk yang berbisik ditelingaku untuk menyentuh tubuh menggoda milik Charles.
Ini pertama kalinya buatku. Rasa canggung, waspada, dan sebagainya merayapi pikiranku.
Belum lagi aroma tubuh Charles semakin menggoyahkan imanku, keinginanku untuk menyentuh dan memeluknya malah menjadi semakin besar.
Hng...
Sudahlah. Aku tidak ingin moodku hari ini hancur hanya karena memikirkan dua malam yang kuhabiskan dengan Charles. Lebih baik aku menikmati kecantikan dari tubuh baruku ini!
Aku menoleh pada para pelayanku untuk menjawab kepanikan mereka dengan wajah yang berseri-seri.
"Tidak! Ini sudah cukup."
Hoho, aku sangat puas dengan hasil menakjubkan dari tangan-tangan berbakat yang sudah bersusah payah meriasku dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Seharian guys. Mereka tidak mengizinkanku untuk melewati ritual kecantikan yang sudah menjadi tradisi bangsawan sebelum menghadiri sebuah pesta formal dikalangan bangsawan.
Lihat saja kulit yang glowing, shining, shimmering, splendid ini. Kurasa jika ada nyamuk ataupun semut yang berani menginjakkan kaki mereka di atas kulit lembutku saat ini, mereka akan tergelincir dengan pose yang indah karena kondisi kulitku saat ini benar-benar sangat mulus dan sangat terawat.
Syukurnya aku masih bisa menikmati sarapan pagiku hari ini, karena mulai dari siang hingga malam nanti aku dilarang untuk memakan makanan berat. Kuharap cacing-cacing di perutku tidak melakukan pemberontakan saat aku menghadiri pestanya nanti.
Ngomong-ngomong soal pesta, bagaimana ya pesta bangsawan itu?
"Nyonya, Duke sudah menunggu anda."
Aku berjalan melintasi koridor hotel bersama dengan Yura dan Marie. Beberapa tamu hotel yang berpapasan denganku tampak terpesona dengan penampilanku. Terlihat jelas dari gerak-gerik mereka. Kebanyakan dari mereka berhenti ditempat dan mematung dengan mata yang bergerak mengikuti diriku yang berjalan melewati mereka. Baik pria maupun wanita, semua mata tertuju padaku.
Saat aku tiba di luar, aku dapat melihat penampakan seorang pria tampan yang rambutnya tersisir kebelakang dengan rapi mengenakan jas berwarna biru yang senada dengan warna gaunku. Ia terlihat sedang termenung hingga Don menyentaknya dari lamunan panjangnya itu.
"Tuan, Nyonya sudah tiba."
Charles tersentak dan matanya melebar saat melihat diriku, namun tak lama kemudian raut wajahnya kembali datar tak berekspresi.
Hm? Apa dia terpesona oleh kecantikanku malam ini?
Aku menaikkan salah satu sudut bibirku sambil melangkah menghampirinya.
"Ayo berangkat."
-_*_-
Selama di kereta, aku dan Charles tidak berbicara satu sama lain. Kami hanya sibuk memandang keluar jendela dengan pemikiran masing-masing. Kereta kami mengantri karena banyaknya para bangsawan yang hadir di pesta ulang tahun Pangeran Detrix Osvald ini.
Setelah lama mengantri, akhirnya tibalah keretaku berhenti di depan pintu Ballroom Osvald.
Charles turun terlebih dahulu dan mengulurkan tangannya padaku. Aku mengulurkan tanganku dan menyentuh tangannya lalu turun dengan perlahan.
Ini merupakan pesta bangsawan pertama yang kuhadiri setelah terdampar di dunia asing. Kuharap aku dapat melewatinya dengan lancar tanpa membuat masalah yang hanya akan membuatku malu dan menyesal dikemudian hari.
Bersama dengan Charles yang mengawalku, aku melangkah memasuki Ballroom Osvald.
"Duke Harvey dan Duchess Harvey memasuki ballroom." Teriak penjaga yang bertugas memeriksa daftar tamu dan mengumumkan para tamu bersamaan dengan pintu besar yang terbuka lebar.
"Woah..."
Hal yang pertama kali kulihat adalah sebuah ruangan yang sangat megah dengan lampu besar yang menghiasi ruangan tersebut. Di dalamnya sudah berdiri banyak orang yang menggunakan gaun dan jas yang terlihat mahal.
Hebat. Ini benar-benar hebat!
Seumur hidup aku hidup sebagai Amelia, aku tidak pernah menghadiri acara formal yang megah seperti ini. Palingan, aku hanya bisa melihatnya melalui film-film yang aku tonton atau membayangkannya dari novel-novel yang aku baca.
Aku berjalan dengan tegap dan elegan. Tubuh yang kurasuki ini bergerak dengan sendirinya tanpa aku harus membuang tenaga dan waktuku untuk mempelajari semua tata krama dari awal lagi. Syukurlah, setidaknya aku tidak melakukan hal norak yang dapat membuat citraku sebagai seorang Duchess jatuh.
Begitulah yang kupikirkan sebelum aku bertemu dengan wanita itu...
"Aku akan menyapa bangsawan lain dulu."
"Tung-"
Charles meninggalkanku sendirian di tengah ballroom.
"Seriously? Haha."
Benar saja, Charles benar-benar pergi meninggalkanku sendirian di sini.
Suami macam apa yang meninggalkan istrinya sendirian di tengah ballroom megah seperti ini?!
Aku mulai menggigiti bibirku lagi.
Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan di pesta besar seperti ini.
"Halo, Nyonya Harvey. Kita bertemu lagi. Bagaimana kabar anda?"
Eh? Siapa?
Aku menoleh ke asal suara tersebut.
"...???"
Wanita cantik bersurai pirang dengan manik biru langitnya sedang tersenyum manis padaku. Jika orang biasa yang melihatnya tanpa pernah merasakan pengalaman di bully, mereka akan percaya bahwa wanita ini adalah jelmaan malaikat. Namun aku tahu, senyuman yang ditujukan padaku itu palsu.
Lalu, kenapa wajahnya terlihat memerah seperti itu?
"Sepertinya, anda terlihat sangat baik-baik saja, ya?" Ucapnya tak lepas dari senyuman yang ia paksakan itu.
Apa ini? Siapa wanita ini? Aku dapat merasakannya saat menatap lurus ke dalam matanya, sepertinya dia menaruh banyak dendam padaku.
Dan lagi, caranya menatapku terlihat sangat angkuh dan tidak sopan. Wanita ini jadi mengingatkanku pada junior** di tempat kerjaku sebelumnya. Melihatnya saja sudah membuatku sangat jengkel.
**Baca kembali di Prolog
Sepertinya dia ingin memancing drama diantara kami.
Sayangnya, aku tidak begitu peduli padanya. Aku tidak kenal wanita ini dan bukanlah urusanku jika Cornelia yang sebelumnya memiliki banyak musuh akibat ulahnya. Aku bukanlah tipe orang yang membuang-buang waktu berurusan dengan drama bodoh semacam ini.
Aku hanya perlu melanjutkan hidupku di tubuh penjahat ini dan meraih mimpiku yang mustahil kuraih itu.
"Pelayan." Panggil wanita itu pada pelayan yang sedang membawakan minuman diatas nampan.
Apa wanita ini berniat untuk mengambil sampanye lagi? Gelas yang kulihat ditangannya juga sudah kosong. Apa dia kuat melawan minuman beralkohol?
Pelayan itu berjalan menuju kami dan menyodorkan nampan yang berisikan gelas-gelas yang dipenuhi dengan sampanye.
Wanita itu meletakkan gelas kosongnya, lalu mengambil dua gelas sampanye dan menyodorkannya salah satunya padaku, "Silahkan, Nyonya."
Aku menatap gelas yang ada di tangannya.
Seumur hidup, aku tidak pernah meminum minuman beralkohol sama sekali. Bahkan sejak aku terdampar di dunia ini, aku meminta para pelayan untuk membawakanku air putih atau jus buah. Tidak terbesit sekalipun dalam hatiku untuk mencoba minuman beralkohol.
"Maaf, aku tidak minum."
Wanita itu memiringkan kepalanya, "Anda tidak minum? Bukankah anda sangat gemar dengan sampanye dan sejenisnya?"
Benarkah?
Aku menunduk dengan sopan dan meminta maaf sekali lagi, "Maaf. Aku sudah berhenti minum."
Wanita itu menunduk dengan sedih, "Sepertinya Nyonya Harvey masih membenciku."
"Tidak. aku-"
Wanita itu segera mengangkat kepalanya dan mendekatiku dengan agresif, "Kalau begitu, temani aku minum, Nyonya!"
Dapat kulihat sinar cerah di wajahnya. Sejujurnya aku ragu untuk mengambil gelas itu, ditambah lagi aku tidak pernah meminum minuman beralkohol di duniaku yang sebelumnya. Apa ini tidak apa-apa?
Saat aku hendak mengambil gelas tersebut dari tangannya, aku dapat melihat wanita itu tersenyum sekilas lalu menumpahkan minuman yang hendak ku ambil ke gaunnya dan menjatuhkan gelasnya dengan sangat cepat.
CRAANG!
"A... Ah!" Serunya dengan terkejut.
Aku mematung. Baru saja, apa yang terjadi?
"H-Hei... Apa kau tidak apa-apa?" Tanyaku dengan khawatir.
"Nyo-Nyonya Harvey... Maafkan aku..."
Wanita yang menyodorkan gelas tadi mulai menangis dengan bahu yang bergetar ketakutan.
Hah?
Kenapa dia...
Aku tak segera membalas permintaan maafnya barusan. Ada yang aneh disini. Mataku terfokus pada gelas yang pecah di lantai, kemudian adegan dimana wanita itu tersenyum sesaat sebelum gelas itu terjatuh dan pecah berputar di dalam otakku.
Aku benar-benar mengingat momen yang terlintas begitu cepat saat ia hendak menyodorkan minuman yang ada di tangannya padaku.
Apa itu tadi? Dia benar-benar tersenyum?
"Odelia!"
Charles berlari menerobos kerumunan dan menghampiri kami. Ia berlari dan menghampiri wanita yang sedang menangis dihadapanku saat ini.
Kemudian, Charles menatap gaun milik wanita itu yang basah karena sampanye dan pecahan gelas yang berserakan di lantai.
Charles segera menoleh padaku dan menatapku dengan raut wajah yang sangat gelap.
"Cornelia! Apa yang baru saja kau lakukan pada Odelia?!"
O...delia?
Hah?!
Aku segera mengangkat kepalaku dan menatap lurus pada wanita bersurai pirang yang sedang menangis disamping suamiku.
Jadi, wanita itu adalah Odelia Petronille?
Wanita itu menangis sambil menunduk, "Maafkan aku Charles. Nyonya Harvey sepertinya sangat tidak menyukaiku. Ini semua salahku karena aku mencoba untuk berteman dengannya..."
Hah?
Apa-apaan?! Aku ingat jelas kalau wanita itu sendiri yang menumpahkan minuman itu ke gaunnya dan menjatuhkan gelasnya saat tanganku hendak meraih gelas tersebut!
"Charles, aku tidak-"
Aku menghentikan kalimatku saat Charles menatapku dengan tatapan penuh kebencian sambil menyembunyikan Odelia yang sedang sibuk menangis palsu di belakang punggungnya.
"Aku tidak ingin mendengar alasan darimu. Pergi dari hadapan Odelia sekarang juga!"
Semua bangsawan yang menghadiri pesta ulang tahun Pangeran Detrix Osvald mulai berbisik satu sama lain dan menatapku dengan tatapan mencemooh setelah Charles membentakku dengan keras barusan.
"..."
Melihat tatapan para bangsawan padaku, membuat ingatan yang sudah ku kubur dengan sangat dalam dan tak ingin ku ingat lagi, kembali berputar di dalam ingatanku.
"Dasar cewek gak tahu diri. Nggak cantik tapi berani-beraninya deketin Kak Roni."
"Kudengar dia jual diri sama om-om."
"Pantes aja dia berani deketin Kak Roni. Pake pelet apasih dia?"
"Aku dengar ada yang lihat dia main ke club pas malam minggu. Emang dasarnya lacur sih. Apalagi Kak Roni cowok, pantes aja Kak Roni kegoda sama dia."
"Lagi butuh duit banget apa ya sampe jual diri? Hahaha."
"Ugh."
Tiba-tiba, aku teringat penindasan yang dilakukan oleh teman sekelasku saat aku duduk di bangku SMA. Mengingat hal yang dengan susah payah kucoba lupakan selama bertahun-tahun, membuat tubuhku mulai bergetar ketakutan. Aku mencoba menatap Charles kembali.
Ah.
Aku dapat melihatnya sekarang.
Sepertinya, Charles benar-benar sangat membenciku.
Entah mengapa, mataku mulai memanas dan tubuhku terasa dingin.
Aku memandang kedua orang itu dengan hambar lalu berbalik meninggalkan mereka tanpa mengucapkan satu patah katapun.
-_*_-
"Cornelia! Apa yang baru saja kau lakukan pada Odelia?!"
Detrix, yang baru saja tiba dan hendak memasuki Ballroom Osvald, tiba-tiba saja menghentikan langkahnya lantaran ia mendengar nama wanita yang pernah menjadi tunangannya disebut di dalam ballroom.
Pengawal yang hendak mengumumkan kehadiran sang pangeran, terpaksa menghentikan tugasnya lantaran pangeran memintanya untuk diam.
Detrix mengamati tiga orang yang menjadi pusat perhatian bangsawan saat ini.
Wanita bersurai pirang yang manis dan cantik, pria bersurai hitam yang ia kenal, dan terakhir wanita bersurai hitam kebiruan yang amat cantik hingga mampu membuat seluruh pria di dunia ini rela bertekuk lutut untuk mendapatkan dirinya jika saja dirinya masih lajang.
"Maafkan aku Charles. Nyonya Harvey sepertinya sangat tidak menyukaiku. Ini semua salahku karena mencoba untuk berteman dengannya." Ucap wanita bersurai pirang yang sangat terkenal dilingkup sosial bangsawan, Odelia Petronille.
Namun, yang menjadi perhatian Detrix bukanlah Odelia, melainkan si pria bersurai hitam yang berdiri disamping wanita lain dan menyembunyikannya di belakang punggungnya, seakan-akan pria itu sedang melindungi wanita pirang itu dari kejahatan istrinya.
Detrix menggertakkan giginya.
'Apa yang sedang dilakukan pria bajingan itu dihadapan istrinya?'
"Aku tidak ingin mendengar alasan darimu. Pergi dari hadapan Odelia sekarang juga!" Bentak pria itu pada istrinya.
Dalam sekejap, aura disekitar Detrix berubah menjadi berat.
"Pa... Pangeran..." Panggil pengawal yang mulai pucat pasi akibat tekanan aura yang berlebihan.
Tap.
"Pangeran," pengawal pribadi Detrix yang bernama Edwin menepuk pundak Detrix, "Tahan emosi anda."
Detrix hanya bisa berdecih sambil mengepalkan tinjunya. Aura kelam yang berat tadi seketika surut dan pengawal yang bertugas mengumumkan kehadiran pangeran segera bernapas dengan lega.
Detrix beralih memandang Cornelia dari jauh. Tubuh ramping milik wanita itu bergetar ketakutan dan wajahnya terlihat pucat, namun wanita itu tidak menunjukkannya sama sekali dan tetap berdiri tegak menatap suaminya yang sedang berpihak pada wanita lain. Tanpa banyak basa-basi, wanita itu segera berjalan pergi meninggalkan Ballroom Osvald.
"Edwin, haruskah aku menyapa para bangsawan sekarang juga?"
"Iya, Pangeran."
Detrix yang tidak tahan melihat pemandangan itu, segera memasuki ballroom tanpa pemberitahuan sebelumnya.
"Minggir."
"Hah? Apa yang baru saja kau kata-"
Bangsawan yang menghalangi jalan Detrix menoleh ke arah Detrix dengan tatapan tidak senang. Saat ia mengetahui siapa pemilik suara itu, ia segera bersujud meminta maaf di bawah kaki Detrix.
"Ma-maafkan saya, Yang Mulia Pangeran!"
Detrix menatapnya dengan sangat dingin.
"Apa kau tuli? Kubilang minggir."
"A-ah...!"
Bangsawan yang bersujud di depan kaki Detrix segera menyingkir dengan terburu-buru.
Para bangsawan yang menyadari kehadiran Detrix dengan aura gelapnya juga ikut membungkuk dan menyingkir memberikan jalan kepada Detrix sambil membungkuk hormat padanya.
Semua bangsawan bertekuk lutut ke arah Detrix, termasuk Charles dan juga Odelia yang baru saja memojokkan Cornelia. Detrix menatap sinis pada kedua orang itu dan berdiri didepan singgasana yang disediakan untuknya.
"Terimakasih kepada para bangsawan yang telah hadir di pesta perayaan ulang tahun ini. Silahkan nikmati jamuan yang telah disediakan malam ini." Sapa Detrix yang tak berniat menyapa dengan panjang lebar.
Setelah mengucapkan pembukaan singkat, Detrix mempersilahkan para tamu yang hadir untuk berdiri. Alunan musik pun kembali mengalir didalam ballroom tersebut.
Belum sempat para tamu yang hadir mengucapkan selamat dan memberi hadiah, Detrix sudah menghilang dari atas singgasana.
"Hah..."
Edwin hanya bisa menghela nafas dan menggantikan kehadiran Detrix untuk sementara disana.