Chapter 5 - Chapter 5

Merah, cantik, dan indah, bunga mawar memang selalu diminati oleh banyak orang, salah satunya adalah bunga mawar yang berwarna merah. Walaupun tangkainya berduri dan bisa menyakiti siapapun yang menyentuh tangkainya, bunga itu tetap digemari oleh banyak orang.

Salah satu contohnya adalah seorang wanita dengan surai pirang yang kini sedang menatap hamparan bunga mawar merah yang menghiasi halaman belakang rumahnya. Ia sangat gemar mengoleksi mawar merah di rumahnya. Bukan hanya di halaman belakang saja, namun di dalam kamarnya pun selalu terpajang beberapa vas bunga yang berisikan mawar merah yang diganti setiap hari.

Dengan lembut wanita itu menyentuh kelopak mawar tersebut menggunakan jemarinya sembari menunggu kabar dari seseorang.

Tak lama kemudian, seorang pria yang ia sudah ia tunggu datang menghampiri wanita tersebut.

"Nona."

"Bagaimana?"

Dengan ragu pria itu membalas pertanyaan tuannya.

"Duke Harvey menolak untuk bertemu dengan anda dikarenakan ada suatu hal yang harus beliau kerjakan."

Jemari lentik milik wanita itu tiba-tiba terhenti dan suasana yang tadinya hangat berubah menjadi sangat dingin. Senyuman hilang dari wajahnya.

Charles Harvey tidak pernah menolak undangan darinya sebelumnya. Bahkan, terkadang Charles mengunjunginya tanpa harus ia undang sekalipun.

Tapi kali ini sudah sebulan lebih berlalu dan Charles sama sekali tidak pernah datang mengunjunginya. Wanita itu selalu menunggu Charles, namun tidak ada kabar dari pria itu.

"Huh? Jadi, rumor itu benar?"

Sampai beberapa hari yang lalu, wanita itu mendengar rumor bahwa hubungan Duke Harvey dan istrinya menjadi sangat dekat dari para bawahannya.

Wanita itu tidak sepenuhnya memercayai rumor tersebut. Ia tahu bahwa Charles sangat membenci istrinya dan tentu saja ia tahu bahwa Charles masih mencintai dirinya. Namun dari situasi yang sedang ia alami sekarang membuatnya menjadi semakin ragu dan akhirnya ia mulai mengambil sebuah tindakan.

Wanita itu berinisiatif untuk mengundang Duke Harvey terlebih dahulu. Namun bukannya mendapatkan jawaban yang ia inginkan, ia malah mendapat jawaban yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya sama sekali.

Charles Harvey menolak undangan darinya.

Wanita itu memetik setangkai bunga mawar dan meremas tangkai tersebut dengan geram hingga berdarah.

"Cornelia Crescentia, sihir apa yang sudah kau gunakan pada priaku?"

"No-Nona Odelia!"

Odelia Petronille menjatuhkan bunga mawar yang sudah hancur dan menatap tangannya yang berdarah dengan tatapan penuh dendam.

"Cornelia, aku tidak akan memaafkanmu."

-_*_-

Semenjak kejadian di hari itu, Charles tidak lagi mengunjungi ruanganku.

Bahkan, ia tidak datang ke ruang makan saat jam makan siang dan makan malam. Dia benar-benar berhenti menggangguku.

Ah~ senangnya.

"Nyonya, kenapa wajah anda terlihat murung akhir-akhir ini?" Tanya Yura padaku.

Aku melirik padanya dengan datar.

"Benarkah?"

Yura mengangguk.

"Biasanya anda selalu mengeluh saat melakukan hal-hal yang anda tidak suka, tetapi sekarang anda terlihat tenang dan melakukan hal-hal yang tidak anda sukai dengan damai. Apa terjadi sesuatu dengan anda, Nyonya?"

Aku menatap kosong pada tumpukan kertas yang ada dihadapanku.

Yura benar, biasanya aku selalu mengeluh saat aku mengerjakan dokumen-dokumen ini, tetapi sekarang tubuhku bekerja dengan sendirinya seperti robot sambil sesekali melirik ke arah pintu dan kursi tamu yang ada di ruanganku.

Apa yang salah denganku? Mengapa tiba-tiba aku seperti ini?

Tok tok tok

Aku dan Yura menoleh ke arah pintu. Yura segera membuka pintu dan seorang pria tua yang ku kenal masuk ke dalam ruanganku.

"Permisi, Nyonya. Saya ingin menyampaikan bahwa Pangeran Detrix Osvald mengundang Duke dan Duchess Harvey untuk menghadiri pesta ulang tahunnya." Ucap Don sembari menyodorkan amplop dengan cap emas.

Aku mengambil amplop itu dari tangannya.

"Kau boleh kembali."

Don membungkuk dan berbalik pergi meninggalkan ruanganku. Yura segera berlari menghampiriku setelah menutup pintu dan ia menjulurkan kepalanya disaat aku membuka amplop tersebut.

"Yura, apa yang kau lakukan?"

Yura tersentak dan menatapku dengan malu-malu.

"Saya penasaran dengan isi surat undangan tersebut, Nyonya."

"Apa yang membuatmu penasaran? Surat undangan ini kan sama saja dengan surat undangan pesta dari bangsawan lainnya." Balasku sembari menaikkan sebelah alisku.

"Ta-tapi Nyonya, saya dengar Pangeran Detrix sangat tampan!"

Ya, aku tahu, pasti pangeran itu tampan. Mana ada pangeran yang tidak good looking. Kalau tidak begitu, apa gunanya jasa pelayan yang sudah bersusah payah merawat kulit tuan yang mereka layani?

"Lalu, apa hubungannya dengan isi dari surat undangan ini?" Tanyaku sambil mengangkat surat yang sudah kukeluarkan dari amplop tersebut.

"Em..."

Yura terlihat ragu-ragu sambil menatapku.

"Saya dengar, sebelum Nyonya menikah dengan Tuan Duke, Nyonya sudah bertunangan dengan Pangeran Detrix dan membatalkannya demi menikahi Duke Harvey. Saya hanya ingin melihat apakah Pangeran Detrix ada menyelipkan sesuatu untuk Nyonya didalam surat itu atau tidak..."

BRAK!

Yura terperanjat setelah aku menggebrak meja secara tiba-tiba. Aku benar-benar terkejut. Cornelia membatalkan pertunangannya dengan seorang Pangeran hanya karena seorang Duke yang tidak mencintainya?!

Wanita ini, apa dia gila?!

"Nyo-Nyonya?!"

"Aku membatalkan pertunanganku dengan seorang Pangeran demi seorang Duke?!" Tanyaku pada Yura sekali lagi.

Yura dengan ragu mengangguk.

"Saya dengar dari gosip yang beredar seperti itu..."

"Haha..."

Aku tertawa hambar karena tidak percaya dengan apa yang sudah kudengar. Apa? Membatalkan pertunangan hanya demi seorang Duke yang tidak mencintai dirinya? Apa kau sudah gila, Cornelia?

Baiklah, kesampingan permasalahan itu. Ada hal lain yang membuatku kesal saat ini. Aku menatap Yura dengan sangat serius.

"Yura, apa menurutmu kau berhak untuk mencari tahu masalah pribadi majikanmu?"

Yura menggeleng.

"Lalu kenapa kau berani sekali mengintip surat yang sedang kubuka hanya karena rasa penasaran bodohmu itu?"

Ya, rasa penasaran bodoh Yura lah yang membuatku kesal. Kalau saja dia hanya sekedar ingin melihat bentuk dan hiasan dari surat undangan ini, aku tidak mempermasalahkannya.

Yura segera bersujud dihadapanku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Maafkan saya, Nyonya. Saya bersalah. Tolong hukum saya."

Aku menatap Yura dengan rasa bersalah. Dia hanya penasaran dan aku yakin dia tidak sengaja melakukan hal itu. Tapi aku juga kesal, aku adalah majikannya dan dia tidak berhak berbuat seperti itu dihadapanku hanya karena rasa penasaran akan sesuatu yang berhubungan dengan rumor tentangku.

Dan yang paling utama, aku masih belum memercayai Yura seutuhnya.

Ya, Yura memang baik dan selalu menuruti perintahku. Namun itu terjadi karena Yura merupakan pelayan pribadiku. Hubungan kami hanya sebatas ikatan kontrak yang tercantum diatas sebuah kertas. Apalagi aku sedang terdampar di dunia yang tidak ku kenal dan tubuh yang kutempati saat ini merupakan tubuh wanita yang dipandang sebagai penjahat oleh orang-orang seperti di novel-novel lainnya.

Aku tidak yakin Yura akan menutup mulutnya jika dia menemukan gosip baru tentangku, lebih tepatnya aku takut jika Yura menyebarkan gosip yang membuat rumah tanggaku yang sudah berantakan ini menjadi semakin berantakan.

Makanya aku menjadi sangat kesal setelah mendengar alasan mengapa ia berani menjulurkan kepalanya seperti itu disaat aku sedang membuka surat undangan ini.

Syukurnya tidak ada kertas lain di dalam amplop ini selain surat undangan untuk menghadiri pesta ulang tahun pangeran.

Aku menghela napas pelan.

"Aku tidak akan menghukummu. Asalkan kau berjanji untuk tidak mengulanginya kembali."

Yura masih menatapku dengan mata berkaca-kaca.

"Ba... Baik Nyonya!"

Setelah menceramahi Yura dan membaca surat undangan tersebut, aku menatap kembali tumpukan kertas yang berisikan dokumen yang harus kuperiksa dan kutandatangani. Dengan malas aku menyenderkan tubuhku pada sandaran kursi dan melempar pena bulu yang kugunakan ke sembarang tempat.

Entah kenapa rasanya energiku terkuras banyak hari ini.

"Nyonya?!"

"Ah, aku lelah. Aku ingin berhenti menjadi istri Duke dan bermain di luar sana tanpa harus memikirkan pekerjaan yang menyebalkan ini. Aku hanya ingin makan, minum, bermain, tidur, dan bernafas!"

"Nyonya, apa kau seorang anak kecil?" Tanyanya sambil menatapku dengan mimik yang terlihat sangat menyebalkan.

Sialan kau Yura. Baru saja kuceramahi dan kuampuni semua dosa-dosamu barusan, sekarang kau malah berani menatapku dengan raut wajah seperti itu?

Hah.

Bodoamatlah. Aku memilih untuk tidak peduli dengan raut wajah miliknya.

"Ya, aku adalah wanita dewasa berjiwa anak kecil."

Aku memejamkan mata dan membiarkan tubuhku rileks di atas kursi yang nyaman ini. Aku baru sadar kalau kursi yang selalu kududuki ini terasa begitu nyaman. Sebelumnya aku tidak tahu karena aku disibukkan oleh tumpukan kertas yang menggunung diatas mejaku dan Gillian tidak akan membiarkanku beristirahat sedikitpun.

Ngomong-ngomong soal Gillian, hari ini dia sedang ada tugas dari Charles yang harus ia selesaikan bersama asisten Charles yang bernama Ronald. Aku tidak tahu urusan apa itu dan aku benar-benar tidak peduli karena aku sudah cukup senang tidak harus melihat wajahnya yang datar untuk hari ini.

"Ah!"

Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di benakku.

"Yura, ayo kita pergi bersenang-senang di kota lagi!"

Yura terlihat keberatan dan terlihat ingin menahanku, namun aku segera bergerak cepat dengan mendorong tubuh Yura untuk mencarikanku pakaian simpel yang nyaman untuk kukenakan dan dalam waktu lima belas menit, aku sudah siap dengan jubah berwarna pastel yang menutupi kepala hingga ujung kakiku.

"Ayo kita berangkat!"

-_*_-

"Duke, Nyonya Cornelia lagi-lagi menyelinap keluar bersama dengan pelayan pribadinya."

Charles meletakkan kertas yang ia pegang dan menatap Don sambil mengerutkan dahinya.

"Keluar?"

"Iya, Tuan."

"Kemana?"

"Sepertinya beliau pergi ke pusat kota Harvey, Tuan."

Charles segera bangkit dari kursinya dan mengambil jubah hitam yang selalu ia gunakan saat melakukan inspeksi lapangan.

"Anda mau kemana, Tuan?"

"Aku ingin menghirup udara segar di luar."

Don yang mengerti maksud sebenarnya dari ucapan Duke barusan hanya bisa tersenyum senang dan mengangguk pelan dengan senang hati. Ia membungkukkan tubuhnya sembari meletakkan tangannya diatas dada.

"Semoga perjalanan anda menyenangkan, Tuan."

Charles segera pergi mengendarai kuda hitam miliknya yang bernama Buckey.

"Apa lagi yang akan wanita itu lakukan sekarang?"

Charles masih mengingat hari dimana ia di datangi oleh cek belanja yang harus ia bayar. Total keseluruhan dari semua cek itu adalah lima puluh keping koin emas. Walaupun ia kaya dan bergelimang harta, ia sangat tidak suka untuk menghamburkan uang hanya untuk membelanjakan hal-hal yang tidak berguna seperti itu.

Dengan cepat ia memacu kuda tersebut dan mengikatnya di salah satu pohon terdekat dengan kota. Setelah itu, ia mulai berjalan ke dalam kota sambil mencari seorang wanita bersurai hitam kebiruan yang merupakan istrinya.

'Kemana dia? Kenapa dia pergi secara diam-diam tanpa memberitahuku atau pelayan di rumah kami?'

Tiba-tiba, matanya menemukan sesosok wanita yang ia cari. Wanita itu sedang tertawa manis bersama seorang pria berkulit cokelat. Tanpa sadar, sesuatu di dalam hati Charles memberontak tidak senang setelah melihat pemandangan tersebut dan segera menghampiri mereka.

"Jadi karena ini kau pergi keluar secara diam-diam?"

Sontak wanita yang ia cari itu berbalik dan matanya menatap Charles dengan terbuka lebar.

-_*_-

"Jadi karena ini kau pergi keluar secara diam-diam?"

Aku menoleh ke belakang dan sungguh sangat terkejut ketika melihat manusia yang tidak ingin kulihat berdiri tepat di belakangku. Bagaimana bisa si Charles ada disini?!

"Nelly, siapa pria itu?" Tanya Rei, seorang pria yang pernah menyelamatkanku dari para preman beberapa pekan yang lalu.

"Nelly?" Tanya Charles sambil menatap Rei dengan aura membunuh.

Aaa!!!

Bagaimana ini?

Aku harus menjawab apa pada pertanyaan Rei dan Charles?

Charles kan tidak suka padaku, kalau aku menjawab Charles adalah suamiku, dia mungkin akan merasa terganggu dan mungkin akan membuatnya semakin sulit untuk mendekati Odelia.

Maksudku, kalau aku memperkenalkannya sebagai suamiku, orang-orang akan berspekulasi yang tidak-tidak saat nanti Charles mojok berduaan dengan Odelia. Aku tidak ingin hal seperti itu terjadi dan aku tidak berniat menghalangi jalan cinta mereka berdua.

Duh pikiranku kenapa jadi semrawutan seperti ini sih hanya gara-gara Charles?!

Lalu, kenapa Charles terlihat begitu marah saat Rei memanggilku dengan nama panggilan yang baru saja kubuat hari ini?!

Aku mendongak menatap kedua pria yang sangat tinggi ini. Rei dan Charles menunggu jawaban dariku. Namun, aku malah kesal karena harus mendongak tinggi-tinggi hanya untuk menatap wajah mereka berdua. Sungguh menyedihkan menjadi manusia pendek.

Aku menatap Rei dan menjawab dengan ragu.

"Em, dia adalah teman-"

Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, sebuah tangan besar menarikku dan merangkul tubuhku dengan erat.

"Aku suaminya."

"Ya, dia adalah suami- HAH?!"

Aku segera menoleh padanya dengan mata terbuka lebar hingga rasanya bola mataku akan keluar dari rongga mataku sambil menganga tak percaya menatap Charles. Aku tak percaya pada pendengaranku barusan.

Tunggu, apa yang baru saja ia katakan?! Apa dia gila?!

"B-bisakah kau ulangi kalimatmu barusan?"

Charles menatapku sambil mengangkat sebelah alisnya.

"Aku suamimu. Kenapa memangnya?"

Haha. Sekarang aku yakin, dia sudah gila. Gila karena sudah menikahi wanita yang tidak ia cintai.

"Nelly, benarkah itu?" Tanya Rei padaku untuk memastikan.

Aku mengangguk dengan pasrah.

"Ya, dia adalah suamiku."

Charles tersenyum penuh kemenangan sedangkan aku memijat pelipisku dengan frustasi.

"T-Tuan?!"

Kami bertiga menoleh ke arah kanan dan melihat Yura menjatuhkan makanan yang sedang ia pegang. Dengan manik yang bergetar ketakutan ia segera bersujud dihadapan Charles dan menangis.

"T-Tuan! Maafkan hamba yang sudah membawa Nyonya Besar keluar tanpa izin! Saya berhak mendapat hukuman mati dari Tuan."

A-apa?! Hukuman mati?! Yura, apa kau ikut menjadi gila hari ini?!

Sebelum Charles membuka mulutnya, aku membuka mulutku terlebih dahulu sehingga ia tidak sempat membalas ucapan Yura.

"Tidak. Yura tidak bersalah. Akulah yang memaksa Yura untuk pergi keluar, kau tidak perlu menghukumnya."

Aku memelototi Charles dengan tatapan mengancam. Awas saja kalau dia berani membunuh Yura tanpa sepengatahuanku, aku tidak akan tinggal diam dan akan langsung menuntutnya. Aku tidak bisa menanggung rasa bersalahku jika Yura harus mati karena hal sepele semacam ini.

Charles menatapku dan Yura secara bergantian lalu ia menghela napasnya dengan kasar.

"Baiklah. Aku tidak akan menghukum bawahanmu. Tapi sebagai gantinya kau harus menemaniku berkeliling kota hari ini."

Dih, ogah banget.

Baru saja aku hendak membuka mulutku untuk menolak, Charles melanjutkan ucapannya lagi.

"Tidak terima penolakan."

Sial. Apa dia tahu aku akan menolaknya?

"Hft."

Sudahlah. Biarkan saja. Untuk hari ini, aku terpaksa untuk mengikuti keinginannya.

"Lalu, bagaimana denganku?" Tanya Rei yang sempat diam setelah mendengar bahwa Charles adalah suamiku.

Oh iya, Rei! Dia bisa ikut bersama kami hingga aku tidak perlu jalan berdua bersama Charles! Berguna juga kehadiranmu saat ini, Rei.

"Ah! Itu-"

"Kau bisa pergi. Mulai dari sini aku yang akan menemaninya." Balas Charles dengan dingin.

Rei segera memasang wajah memelas sambil tersenyum sedih.

"Nelly, bukankah kau sudah berjanji untuk menemaniku berkeliling hari ini?"

"A-apa?! Kapan aku- Ack!"

Lenganku dicekal erat oleh jemari kokoh milik Charles. Rasanya sangat sakit dan aku tidak bisa bergerak dalam cengkramannya sedikitpun.

Charles menunduk menatap kedua mataku dengan aura awan hitam berpetir yang mengelilingi sekitarnya sambil tersenyum mengerikan.

"Apa itu benar, Istriku?"

Aku segera menggeleng dengan cepat.

Tentu saja tidak benar, bodoh!

Aku baru saja berkenalan dengan Rei hari ini dan tidak mungkin aku membuat janji dengannya soal berkeliling kota hari ini!

"Tidak. Kami baru saja bertemu hari i-"

Belum sempat aku menjelaskan, Rei sudah memotong ucapanku terlebih dahulu.

"Nelly, apa kau akan meninggalkanku begitu saja?"

"Hei! Aku belum selesai bicara! Ack!"

Charles semakin mengeratkan cengkramannya pada lenganku yang kurus. Aku dapat merasakan tulangku yang remuk secara perlahan akibat cengkramannya yang mengerikan ini.

"Ch-Charles, bisakah kau lepaskan cengkramanmu pada lenganku?" Tanyaku yang sudah meringis kesakitan.

"Kenapa?"

Hah? Barusan dia bilang apa?

Ke-na-pa???

Baiklah. Ini sudah diambang batasku. Aku sudah tidak bisa menahan kejengkelanku lagi. Bodoamat mau dia Duke kek, mau dia Pangeran kek, intinya aku sudah tidak bisa menjaga etika lemah lembut wanita bangsawan lagi.

"SAKIT, BODOH! APA KAU TAHU KALAU CENGKRAMAN TANGANMU BEGITU MENYAKITKAN, HAH?!"

Charles segera sadar dan melepaskan cengkramannya pada lenganku.

"Ma-maafkan aku." Ucapnya dengan panik.

Sial. Rasanya tangan kananku tidak bisa digerakkan hari ini dan ini semua gara-gara pertengkaran dua pria bodoh di hadapanku saat ini.

"Yura, kita pulang sekarang!"

Sambil memegangi lengan kananku yang kesakitan, aku melangkah pergi meninggalkan dua pria bodoh yang sibuk bertengkar tidak jelas dan mengabaikan panggilan si bodoh Charles.

Yura segera berlari mengikutiku dan memasang wajah cemas. Entah karena ia takut pada Duke sialan itu atau karena ia benar-benar khawatir dengan tanganku.

Intinya, aku tidak peduli. Aku tidak akan meminta maaf setelah membentak Charles dengan keras seperti tadi, bahkan aku tidak akan meminta maaf karena sudah mengatainya 'bodoh' di pusat kota.