Chapter 6 - Chapter 6

Cornelia semakin menjauh dari pandangan Charles. Charles menatap tangannya yang tadinya mencengkram lengan Cornelia dengan sangat erat sehingga timbul rasa bersalah di dalam hatinya.

Entah apa yang ia rasakan hari ini hingga ia tanpa sadar mencengkram erat lengan lemah milik istrinya itu. Tak lama kemudian, ia menatap pria berkulit cokelat di hadapannya.

Perasaan tidak menyenangkan kembali timbul dalam hati Charles setelah melihat wajah pria tersebut.

"Menjauhlah dari istriku, Reinhardt Ulbrecht."

Reinhardt tersenyum remeh menatap Charles.

"Kalau aku tidak mau?"

Charles memandang Reinhardt dengan sangat dingin.

"Kau tahu sendiri jawabannya."

Charles berbalik dan segera bergegas mengejar Cornelia.

Sedangkan Reinhardt menatap datar punggung Charles yang menjauh. Tak lama kemudian salah satu bawahannya datang menghampirinya dan membungkuk hormat padanya.

"Lart, bukankah Charles membenci Putri Crescentia?"

"Benar Tuan."

"Hm..."

Reinhardt selalu mendengar gosip seputar Duke Harvey yang tidak mencintai istrinya. Ia juga sering mendengar bahwa istrinya, Cornelia Crescentia sangat mencintai Charles Harvey. Namun Charles selalu mengabaikan Cornelia dan tidak pernah mau mencampuri urusan Cornelia.

Tapi hari ini, ia melihat sesuatu yang berbeda dari gosip yang sering ia dengar itu.

Charles marah saat ia melihat Cornelia berbicara berdua dengan pria lain.

Jadi, apa gosip itu bohong?

'Tidak mungkin. Informanku, Lart sudah mencari tahu latar belakang wanita yang kuselamatkan waktu itu dengan detail.'

Sebelumnya, Reinhardt tidak tahu kalau wanita cantik yang ia selamatkan dari para preman itu adalah Cornelia Harvey. Yang ia tahu, Cornelia merupakan seorang putri arogan dan terkenal jahat dan selalu menggunakan cara licik untuk mendapatkan apapun yang ia mau. Bahkan, Cornelia tidak akan sudi menginjakkan kakinya di pusat kota yang penuh dengan rakyat jelata seperti ini.

Saat itu, Reinhardt dan Cornelia belum sempat berkenalan dan memberitahu nama masing-masing.

Karena rasa ketertarikannya pada wanita yang ia selamatkan, Reinhardt meminta Lart untuk mencari tahu informasi tentang wanita itu. Pada saat itulah ia tahu bahwa wanita secantik bidadari itu adalah istri dari Charles Harvey.

Berkat gosip ketidakharmonisan hubungan pasangan Harvey di kalangan masyarakat, Reinhardt akhirnya memilih untuk tidak mengambil langkah mundur. Ia ingin mencoba berkenalan dengan Cornelia dan mengenalnya lebih dekat. Rumor yang ia dengar tentang Cornelia ternyata berbeda dengan apa yang ia lihat, maka dari itu ia ingin memenuhi hasrat ketertarikannya pada Cornelia suatu saat nanti.

Namun siapa sangka, ia bertemu dengan Cornelia lebih cepat dari yang ia rencanakan. Tak lama setelah ia berkenalan dengan Cornelia, Charles muncul mengganggu pertemuan mereka berdua.

Reinhardt hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil mengacak kasar rambutnya.

"Yah, mau bagaimana lagi."

Kemudian, Reinhardt mengangkat sudut bibirnya dan tersenyum miring.

"Kita akan bertemu lagi, peri masa depanku."

Reinhardt berbalik dan menghilang dalam kedipan mata.

-_*_-

Mataku memanas karena menahan isak tangis dari rasa ngilu yang menimpa lengan tanganku.

"Sial, rasanya sakit sekali!"

Charles sialan itu, apa-apaan dia?! Aku belum sempat melakukan apapun saat sampai di kota dan dia tiba-tiba saja muncul seperti setan. Dan lihatlah sekarang, tanganku rasanya ngilu dan tak bisa kugerakkan sama sekali!

Ugh, rasanya aku ingin mencakar wajahnya sekarang juga dan menendangnya keluar dari rumah besar itu, sayangnya rumah itu bukan milikku melainkan milik pria sinting itu.

Aku mengambil jalan pintas untuk pulang ke kediamanku bersama Yura. Jalan pintas ini kutemukan saat aku hendak kembali ke rumah di hari pertamaku keluar secara diam-diam.

Yura bilang, ia pernah mendengar bahwa ada beberapa ksatria yang suka pergi keluar secara diam-diam untuk kabur dari latihan mereka dan menggunakan jalan pintas tersebut. Saat aku mendengarkan cerita Yura dan mencari jalannya, aku menemukan jalan setapak di dalam hutan dan akhirnya aku sampai ke kediaman Harvey lebih cepat daripada menggunakan kereta kuda.

"Nyonya, apa tidak apa-apa kita meninggalkan Duke di pusat kota seperti itu?" Tanya Yura yang terlihat cemas.

Aku berhenti dan berbalik pada Yura.

"Kenapa? Apa kau cemas dia akan menghukummu?"

Yura mengangguk lemah.

"Kalau begitu, kau kembali saja dan pulang bersamanya. Aku bisa pulang sendiri." Ujarku lalu berbalik dan mulai melangkah lagi.

"Ta-tapi Nyonya..."

Aku mengabaikan Yura yang sedang ragu di belakangku. Menunggu Yura untuk mengambil keputusannya saat ini hanya akan membuang-buang waktuku yang berharga.

Nyeri dan ngilu di lengan kananku semakin terasa menyakitkan dan aku sudah tidak tahan untuk menangis. Maaf saja, aku bukan wanita kuat yang bisa menahan rasa sakit yang belum pernah kurasakan sebelumnya, kecuali patah hati akibat doi yang kusukai jadian dengan teman masa kecilku.

Bukannya menghawatirkan keadaanku, Yura hanya memikirkan Duke dan hukuman miliknya. Jujur saja melihat hal itu hanya membuatku semakin jengkel.

Untuk apa menunggunya kalau yang dia pikirkan hanyalah rasa takutnya akan hukuman dari Duke. Padahal, dia punya diriku yang dapat diandalkan untuk bernegosiasi dengan Duke.

Terserah saja! Aku tidak peduli pada manusia yang ada di dunia antah berantah ini. Aku akan menjaga diriku sendiri karena tidak akan ada orang yang benar-benar akan menjagaku dan mengkhawatirkanku, bahkan jika aku harus mati disini.

Tetapi, memikirkan tidak adanya orang yang berpihak padaku dan menghawatirkanku di dunia ini, keinginanku untuk menangis semakin besar dan aku hanya bisa menggigit bibirku agar air mata yang terkumpul di kelopak mataku tidak keluar.

"Uh..."

Sayangnya, air mata yang tadinya sudah kutahan dengan susah payah tidak dapat kubendung lagi. Air mata mengalir keluar dari kelopak mataku dan membasahi pipiku.

Aku menarik napasku dalam-dalam dan memandang langit yang tertutupi oleh pohon-pohon tinggi dan lebat.

Aku ingin pulang.

Pulang ke dunia asalku.

-_*_-

Malam ini, aku menolak untuk makan malam.

Aku mengurung diri dan tidak berniat keluar dari kamarku.

Ayah, Ibu, bagaimana kabar mereka?

Farah, Reza, apa kalian tidak merindukan kakak kalian ini?

Aku rindu kalian. Aku rindu masakan Ibu, canda tawaku bersama Ayah, pertengkaran kecilku dengan adik-adikku, aku merindukan semuanya.

Aku rindu pelukan Ibu disaat aku sedang amat terpuruk. Aku rindu nasihat Ayah disaat aku merasa dunia sangat tidak adil padaku. Aku rindu berbagi makanan bersama dengan adik-adikku.

"Uh... Huu..."

Di kamar luas yang gelap dan dingin ini, aku menangis seorang diri.

Dengan tubuh yang lemah dan gontai, aku berbaring di atas kasur dan memeluk bantalku sambil menangis.

Kenyataan yang selalu kusangkal bahwa aku hidup seorang diri di dunia ini tanpa ada seorang pun yang khawatir padaku akhirnya menamparku dan membuatku tidak bersemangat melakukan apapun.

Bahkan, rasa sakit dilengan kananku pun sudah tidak kupikirkan lagi.

Rumah mewah ini, pelayan yang melayaniku, semuanya hanyalah kebohongan untukku. Lalu, kupikir impianku menjadi wanita kaya raya tanpa harus bekerja keras bagai kuda telah menjadi nyata di dunia ini, tak tahunya semua itu hanyalah fatamorgana. Mereka semua palsu dan hanya boneka milik Charles, pria yang membenci tubuh ini.

Mereka tidak benar-benar berniat melayaniku. Mereka hanya bekerja sesuai dengan perintah dan arahan dari Duke.

Haruskah aku meminta cerai dan merencanakan ulang kehidupan ku di dunia baruku ini?

Aku hanya perlu bekerja keras dan menciptakan sebuah usaha yang dapat memenuhi kebutuhan hidupku. Setelah aku mengumpulkan semuanya, aku akan hidup tenang di sebuah desa yang damai dan tentram sambil menikmati buah dari hasil kerja kerasku.

Tunggu, bukankah aku juga memikirkan hal yang sama di duniaku sebelumnya, dan hasilnya?

Aku terdampar di dunia asing ini.

"Haha..."

Aku tertawa miris dengan nasib ku saat ini.

Argh, kepalaku sakit akibat menangis dan banyak berfikir. Sayangnya, aku tidak ingin berhenti berfikir malam ini karena aku tidak bisa terus-terusan tenggelam didalam fatamorgana di rumah ini.

Hah...

Sepertinya, aku benar-benar harus menunda keinginanku untuk hidup damai tanpa harus memikirkan cara mencari uang yang banyak sekarang. Aku sedang berada di posisi yang tidak tepat untuk melakukan hal itu.

Sebenarnya, aku bisa menciptakan produk-produk dari dunia modern dan menjualnya dengan harga mahal disini. Sayangnya, otakku terlalu bodoh dan aku tidak tahu bahan yang akan digunakan untuk membuat produk modern itu seperti apa, aku juga tidak tahu menahu tentang pengrajin yang berbakat di dunia ini.

"Huft, kenapa hidup ini sulit sekali?"

Tok tok tok

Duh, siapa lagi sih?

"Cornelia, ini aku."

Charles?

Kenapa dia kesini?

Dengan malas aku berjalan menuju pintu dan membukanya.

Pria jangkung dengan surai hitam berdiri tepat di hadapanku. Ia menunduk dan menatapku dengan sinar mata bersalah. Aku mendongak dan menatapnya.

"Ada apa?"

"Ke-kenapa matamu sembab dan merah?!"

Aku menatapnya dengan enggan dan hendak menutup pintu kamarku kembali.

"Kalau tidak ada kepentingan, lebih baik kau kembali ke kamarmu."

"Tunggu!"

Dengan cepat Charles menahan pintu kamarku.

"Bolehkah aku masuk?"

Dengan sangat terpaksa aku mengizinkannya masuk kedalam kamarku. Kuharap dia segera menyelesaikan urusannya denganku dan pergi dari kamar ini.

Jujur saja, berada dalam satu ruangan dengannya hanya membuat moodku semakin memburuk.

"Jadi, ada gerangan apa kau datang ke kamarku malam-malam begini?"

Charles menunduk sambil menyilangkan jari-jarinya.

"Aku ingin minta maaf." Ucapnya dengan suara yang pelan dan rendah.

"Minta maaf karena?"

"Lengan kananmu." Charles mengangkat kepalanya dan menatap lenganku yang dibalut oleh perban, "Aku ingin meminta maaf karena sudah melukai lengan kananmu."

Hah? Seorang Charles meminta maaf?

"Hahaha." Aku tertawa hambar mendengar permintaan maafnya barusan.

Charles mengernyit sembari menatapku, "Kenapa kau tertawa?"

"Hei, aku ingin bertanya padamu."

"Apa?"

Aku menatapnya dengan datar.

"Apa kau meminta maaf padaku karena merasa bersalah atau kau terpaksa melakukannya?"

"Maksudmu?"

"Aku tahu kau sangat membenciku. Tidak mungkin seorang Charles Harvey yang sebelumnya tidak pernah mengunjungi istrinya saat sakit tiba-tiba datang ke kamar istrinya malam-malam dan meminta maaf." Jelasku dengan sarkas.

Charles diam tak membalas sindiranku barusan. Raut wajahnya terlihat semakin suram seperti orang yang merasa sangat bersalah. Tetap saja, hal itu tidak membuatku merasa kasihan padanya dan aku bertanya kembali padanya.

"Jadi, kau datang kemari hanya untuk itu saja?"

Charles mengangguk lemah seperti anak kecil yang menyesal setelah menyakiti seseorang.

Tch.

Jangan pasang raut wajah seperti itu. Aku jadi merasa menjadi orang yang paling jahat disini karena berusaha mengabaikanmu.

"Sudahlah. Aku sudah memaafkanmu," Ucapku sambil berbalik memunggunginya, "Kalau sudah tidak ada yang ingin kau katakan lagi padaku, kau bisa kembali ke kamarmu."

Ruanganku menjadi sangat hening dan tak lama kemudian aku mendengar derap langkah kaki Charles yang berjalan menjauh. Derap langkahnya terhenti tepat di depan pintu dan sebelum Charles membuka pintu tersebut, ia berbalik dan mengucapkan sepatah kata.

"Aku..."

Hm? Apa lagi yang ingin ia katakan?

Aku tidak menoleh padanya saat ia akan mengatakan sesuatu seakan-akan aku terlihat tidak peduli padanya. Yah, walaupun memang benar aku tidak peduli dengan apa yang akan ia katakan padaku malam ini.

Menyadari hal itu, Charles menutup rapat bibirnya dan keluar dari kamarku tanpa melanjutkan perkataannya.

Sebelum pintu kamarku tertutup rapat, dapat kudengar ucapan selamat malam yang belum pernah kudengar dari bibir Charles sebelumnya.

"Selamat malam, Cornelia."

-_*_-

Seminggu kemudian...

Hello gais ketemu lagi bersama Cornelia Harvey dalam kisah rumah tangganya yang semakin kacau dan berantakan.

Sebelumnya, aku sempat bergalau ria merindukan keluarga asliku yang ada di dunia sana dan memikirkan betapa menyedihkannya nasibku yang berada di dunia ini.

Huhu. Menyedihkan sekali diriku ini. Kenapa aku harus terdampar di tubuh wanita jahat dan tinggal bersama pria yang mencintai wanita lain, hiks.

Kali ini aku ingin mengabarkan perkembangan hubunganku dengan Charles pasca kejadian dimana lengan kananku cedera akibat diremuk oleh tangan besar Charles.

Hubunganku dengan Charles semakin memburuk setiap harinya. Perang dingin terjadi di dalam rumah tangga kami. Tak ada satupun dari kami yang ingin bertegur sapa terlebih dahulu. Kami layaknya seperti orang asing yang berada di bawah satu atap yang sama.

Dan asal kalian tahu saja, hal itu tidak membuatku galau sedikitpun.

Hmph! Ya kali seorang Cornelia a.k.a Amelia galau hanya karena seonggok pria seperti Charles, hahaha.

By the way, dua minggu lagi ulang tahun Pangeran Detrix akan dilaksanakan. Aku masih belum memikirkan hadiah apa yang akan kuberikan padanya. Aku tidak tahu rupa dan fisiknya bagaimana, kesukaannya apa, dan sebagainya. Jadi, apa yang harus kuberikan padanya?

Sebelumnya juga aku tidak pernah menghadiri pesta ulang tahun teman pria ku. Lebih tepatnya, aku tidak bisa berteman dekat dengan seorang pria.

Alasannya karena setiap kali aku dekat dengan mereka, mereka selalu menaruh perasaan padaku, padahal aku hanya ingin berteman biasa dengan mereka.

Aku trauma patah hati lagi gaes. Apalagi menurutku wajahku ini standar dan biasa saja, tidak terlalu cantik dan tidak terlalu jelek. Aku takut jika aku jadian dengan salah satu dari mereka, ujungnya mereka akan meninggalkanku.

Dan disaat aku takut akan hal itu, aku akan teringat saat aku menyukai seorang pria ketika aku menduduki bangku kuliah, dimana pria tersebut membuatku jatuh hati padanya dengan memuji bahwa aku cantik dan menarik perhatiannya dan segala macam rayuan buayanya, lalu berakhir jadian dengan teman masa kecilku yang kebetulan satu kampus dan satu jurusan denganku.

Hal itu memberatkanku dan akhirnya aku memilih menjauhkan diri dari mereka. Aku tidak ingin perasaan mereka padaku semakin dalam dan berakhir tersakiti karena aku tidak bisa membalas perasaan mereka.

"Gillian."

"Iya Nyonya?"

"Kalian para pria suka diberikan hadiah seperti apa?"

"Hmm."

Aku menunggu Gillian yang terlihat sedang berpikir dengan serius dengan wajah datarnya.

Ingin sekali aku mengerutkan alis miliknya supaya wajahnya tidak datar-datar amat.

Sementara yang dipikirkan Gillian saat itu adalah...

'Apakah Nyonya ingin memberikan Duke sebuah hadiah sebagai tanda perdamaian?'

'Tapi aku tidak tahu hadiah seperti apa yang cocok untuk diberikan kepada pria terhormat seperti Duke.'

Tiba-tiba, Gillian mendapatkan sebuah ide.

"Bagaimana jika anda mengiriminya sebotol wine dan menebarkan bunga mawar di atas kasur?"

Hmm, begitukah? Wine dan bunga mawar.

Tunggu.

Bunga mawar?

Apa tadi katanya? Menebarkan bunga mawar di atas kasur? Kasurnya si Detrix?!

"Hah?! Omong kosong apa yang baru saja kau ucapkan?!"

Eh gila kau ya Suminem?! Ngapain aku naruh bunga mawar di atas kasur Pangeran Detrix?!

"Jika anda ingin berdamai dengan seorang pria hebat sepertinya, menurutku hadiah perdamaian yang paling sesuai adalah sebotol wine dan juga suasana romantis yang anda berikan padanya di dalam kamar, Nyonya."

"...."

Aku benar-benar tercengang seperti orang bodoh hingga keheningan menghampiri kami berdua selama beberapa saat.

Apa tradisi terpendam keluarga bangsawan di dunia ini adalah melakukan perselingkuhan di dalam rumah tangga mereka?

Kenapa banyak sekali hal tidak masuk akal yang terjadi di dunia mengerikan ini?

"Gillian."

"Iya Nyonya?"

"Haruskah aku masuk ke dalam kamarnya juga?"

Gillian mengangkat sebelah alisnya, keheranan, "Tentu saja, Nyonya."

"Sepertinya kau sudah gila, Gillian."

Tidak, sepertinya seluruh manusia yang ada di dunia ini benar-benar gila.

Aku adalah manusia normal dari dunia normal yang terkadang tidak terlalu normal. Perselingkuhan merupakan hal yang sangat ingin kuhindari walaupun di legalkan di dunia ini. Pantas saja Cornelia dan Charles masih belum bercerai, para netizen atau bangsawan juga tidak menciptakan gosip buruk mengenai perselingkuhan Charles dan Odelia dibelakang Cornelia, orang di legalkan seperti ini.

"Akan kupertimbangkan soal memberikan wine itu, tetapi jika harus bermesraan di dalam kamar, aku menolaknya." Ucapku sambil melangkah keluar dari ruang kerjaku.

Gillian hanya mengedikkan bahunya. Ia tidak terlalu memedulikanku dan kembali berkutat dengan sisa dokumen yang seharusnya ku selesaikan hari ini, namun dikarenakan cedera di lenganku belum pulih seutuhnya, akhirnya aku mengambil cuti dan beristirahat sambil memulihkan lenganku.

"Haha, udah kayak pekerja kantoran aja, segala ambil cuti. Padahal rumah sendiri." Gumamku pelan sembari berjalan di koridor yang luas.

Dan tak terasa, waktu berlalu dengan cepat hingga akhirnya ulang tahun mantan tunanganku telah tiba.