Hari ini aku berencana untuk rebahan seharian, namun sialnya aku tidak bisa setelah melihat kertas yang menggunung diatas meja kerjaku dengan wajah bodohku.
"A... Apa-apaan tumpukan kertas ini..."
"Ini merupakan sisa tumpukan tugas Duchess yang sudah menumpuk semenjak anda jatuh sakit, Nyonya."
"A-apa...?!"
Bagaimana bisa aku mengerjakan tumpukan kertas yang menggunung seperti ini?!
"H-hei, aku lupa ingatan, kau tahu?"
Gillian yang merupakan asisten pribadi Cornelia menatapku dengan datar. Kepribadiannya sangat dingin dan jarang menunjukkan ekspresi di wajahnya. Walaupun dingin seperti itu, dia masih terlihat tampan dan memancarkan aura misterius pada sekitarnya.
Saat Cornelia sakit, Gillian lah yang membantu Cornelia untuk menyelesaikan tugas-tugas Duchess yang menggunung ini. Mungkin karena hal itu Gillian menatapku dengan tatapan tidak senang.
"Apa masalahnya dengan lupa ingatan? Saya bisa mengajari anda dari awal."
Tidak! Aku tidak mau lagi bekerja! Aku ingin bersantai dikehidupan baruku ini!
"Gi-Gillian, apa kau yakin ingin mengajariku dari awal? Bukankah itu melelahkan dan menghabiskan banyak waktu?"
"Saya tidak masalah."
Sial, aku tidak bisa kabur dari masalah yang satu ini. Kenapa setelah aku hidup di dunia yang berbeda pun pekerjaan selalu datang menghampiriku? Kenapa aku tidak bisa beristirahat dengan tenang?!
Aku menatap Gillian. Entah kenapa aku merasa Gillian sedang mengeluarkan laser dari matanya dan tidak menerima alasan dari bibirku lagi.
Pada akhirnya, aku menyerah.
Aku mengambil selembar kertas dan membaca isinya.
Jika saja aku tidak mendapatkan beberapa ingatan dan kemampuan alami dari tubuh Cornelia, mungkin Gillian benar-benar harus mengajariku cara membaca dari awal dan tentu saja aku tidak akan betah berada dalam satu ruangan untuk waktu yang lama bersama orang yang ketat seperti Gillian.
Ugh. Baru membaca satu kalimat saja kepalaku rasanya ingin meledak.
Apa ini? Laporan keuangan? Tolong, aku bukan lulusan manajemen keuangan, mana mungkin aku paham soal beginian!
Aku mengambil beberapa kertas lagi dan rata-rata semua isi dari dokumen itu adalah laporan keuangan.
Ok, I'm done.
"Gillian, haruskah aku bercerai dengan Duke?"
Gillian menatap ngeri pada diriku.
"Apa maksud anda?"
Aku mengangkat lembaran kertas tersebut dan memaki Gillian.
"Haruskah aku menyelesaikan semua ini sendirian?!"
"Tentu saja tidak. Saya akan membantu anda untuk menyelesaikannya."
"Tapi aku tidak paham tentang keuangan sama sekali! Apa kau ingin aku menghancurkan Duchy ini dengan kebodohanku?!"
"Saya tidak akan membiarkan itu terjadi. Maka dari itu, mulai hari ini saya akan mengajari anda semuanya dari awal." Ucap Gillian sambil meletakkan beberapa buku tebal diatas mejaku dengan senyuman kematian miliknya.
"TIDAAAAAK!!!"
-_*_-
Satu bulan kemudian...
Pekerjaan seorang Duchess di rumah ini ternyata begitu banyak. Cornelia yang asli pasti sudah terbiasa mengerjakan semua dokumen yang menumpuk ini, namun tidak untukku.
"Gillian sialan! Apa dia sengaja menyiksaku seperti ini?!"
Aku sudah mulai mengerjakan beberapa dokumen yang kupahami dengan susah payah. Gillian tidak memberiku waktu libur sedikitpun sampai aku benar-benar paham dengan materi yang diajarkannya dan materi itu bukan hanya satu, tapi puluhan!
Bukan hanya permasalahan tentang keuangan saja, ia mengajariku beberapa hal lain seperti sejarah, politik, dan sebagainya. Padahal, hal-hal selain keuangan yang dia ajarkan itu tidak ada dalam dokumen yang akan kukerjakan nantinya!
Aku menyesal telah menyandang status Duchess amnesia dalam rumah ini, hiks.
Aku ingin menikmati kemewahan yang kumiliki dengan bersantai ria di atas kasur, tapi kenapa aku malah mengalami hal mengerikan seperti ini?
Memang, menjadi pengangguran banyak uang itu sangatlah mustahil.
Lalu apa gunanya aku membuat kontrak dengan Charles?
Lebih baik aku masuk ke surga daripada harus merasuki tubuh istri bangsawan yang tidak dicintai seperti ini!
Tunggu.
Haruskah aku meminta cerai?
Tidak. Aku tidak bisa sembarangan meminta cerai tanpa alasan yang pasti. Lebih tepatnya, sekarang belum saatnya aku meminta perceraian itu.
Aku belum mengumpulkan uang yang banyak untuk pergi dari rumah ini, walaupun ayahku adalah seorang Kaisar yang mungkin akan membawaku pulang ke istana dengan mudah. Tapi, ada kemungkinan lain kalau aku akan di usir dari istana, karena wanita bangsawan yang bercerai dengan suaminya biasanya selalu di cap buruk dan di asingkan dari keluarganya. Hal ini kupelajari dari Gillian.
Aku juga perlu menunggu hari dimana Charles akan meminang Odelia dan menikah dengannya. Saat itu terjadi, aku bisa meminta cerai terlebih dahulu padanya dan angkat kaki dari rumah ini. Berkat pernikahan Charles dan Odelia juga aku bisa mendapatkan alasan yang pasti untuk bercerai dengan Charles karena hal itu akan mengurangi persentase kemungkinan aku akan di usir saat pulang ke istana.
Memangnya siapa yang sudi tinggal bersama wanita lain di bawah atap yang sama, hah?
Apalagi, aku tidak tahu wanita bernama Odelia itu seperti apa. Aku memiliki firasat bahwa wanita itu bukanlah wanita polos dan baik hati.
Plop!
[Astaghfirullah ukhti tidak boleh su'udzon.] Seru malaikat mini yang muncul dan bertengger di kepala kananku.
Plop!
[Jangan dengarkan dia, Cornelia. Aku pun merasakan firasat bahwa wanita bernama Odelia itu adalah wanita jahat yang sebenarnya.] Seru setan mini di kepala kiriku.
[Hentikan omong kosong itu. Cornelia, dengarkan aku. Jangan menilai buruk seseorang sebelum kau melihat kebenarannya secara langsung. Bisa jadi Odelia adalah wanita yang baik.]
[Hee, benarkah? Bagaimana kalau kita bertaruh?]
[Tidak. Bertaruh itu dosa.]
[Ah, ayolah. Jangan-jangan... Kau takut kalah?]
[Apa kau bilang?!]
[Mengaku sajalah.]
[Kau... Kau!!!]
Plak!
Plop!
Aku menampar kedua pipiku dengan keras. Kalau mau bertengkar, cari tempat lain! Tidak perlu bertengkar diatas kepalaku. Sudah cukup kepalaku dibuat pusing dengan dokumen-dokumen mengerikan ini!
Tok tok tok
"Ini Rina, Nyonya."
"Masuk."
Rina masuk ke dalam ruang kerjaku. Para pelayan yang sudah bertemu denganku di rumah ini mulai terbiasa padaku dan sudah tidak terlihat takut-takutan lagi padaku. Malah, satu persatu dari mereka sekarang mulai memujaku.
Yah, aku tidak peduli sih mau bagaimana pandangan mereka terhadapku, intinya aku hanya ingin rebahan dan menikmati uang dari hasil kontrak yang kulakukan dengan Charles.
Namun, sialnya mimpi itu masih belum terwujud.
"Nyonya, Duke Harvey ingin mengundang anda untuk makan siang bersama." Ucap Rina padaku.
Otomatis aku menghentikan pergerakan tanganku.
Apa lagi ini? Kenapa sejak kami selesai menandatangani kesepakatan bersama, si Charles selalu mengundangku untuk makan siang bersama dengannya? Apa yang salah dengan otaknya?
"Aku menolak."
"Um, beliau juga berkata jika Nyonya menolak undangannya, ia akan datang ke ruang kerja Nyonya dan makan siang bersama disini." Lanjut Rina hingga membuatku menatapnya dengan ngeri.
Tubuhku langsung bergidik.
Seketika aku mengingat saat pertama kali Charles mengajakku untuk makan siang bersama dan aku menolaknya. Tiba-tiba pintu ruang kerjaku terbuka lebar dan seorang pria yang sangat tidak ingin kulihat masuk ke ruang kerjaku sambil membawa beberapa pelayan yang sedang membawakan makanan diatas troli.
"Tck!"
Apa-apaan si Charles itu?! Kenapa dia ngotot sekali ingin makan siang bersama denganku?! Dia kan bisa mengajak kekasihnya si Odelia untuk makan di rumah ini bersamanya secara terang-terangan karena aku tidak akan mengganggu mereka, tapi kenapa dia sangat memaksa ingin makan bersamaku?!
Aku mencengkram erat pena buluku sembari menggigit bibirku hingga berdarah. Kebiasaanku dari dulu adalah aku akan secara tak sengaja menggigit bibirku di saat aku sedang dihadapi oleh situasi sulit dan disaat aku sedang berpikir dengan keras.
Aku menyesalkan otakku yang pas-pasan ini. Apalagi saat memikirkan urusan percintaan dengan seseorang, otakku langsung konslet dan tidak dapat berpikir lebih jauh lagi.
"Nyo-Nyonya! Bibir anda berdarah!" Teriak Rina yang segera berlari menghampiriku.
Aku mengangkat tangan kananku mengisyaratkannya untuk berhenti dan berkata padanya sambil menghela napas.
"Baiklah, aku terima undangan tersebut. Kau boleh pergi."
"Lalu, bagaimana dengan bibir Nyonya?"
Aku mengusap darah yang ada dibibirku.
"Ah ini? Tidak apa-apa. Kau tidak perlu khawatir."
"Tapi Nyonya..."
"Kau bisa pergi, Rina." Ucapku sambil tersenyum datar padanya.
Rina dengan ragu melangkah pergi dari ruangan ini. Setelah aku yakin kalau Rina sudah benar-benar pergi, aku mulai menarik napasku dan...
"CHARLES @#$-#&$@!!!"
Semua kalimat umpatan mengalir dengan merdunya melalui bibirku. Dengan segenap emosi yang ada, aku melantunkan umpatan-umpatan tersebut menjadi sebuah syair yang indah dan mengusik jiwa.
Charles, lihat saja apa yang akan aku lakukan mulai sekarang supaya kau menyesal sudah berani menggangguku!
-_*_-
"Kupikir kau tidak datang, Cornelia." Ucap Charles sambil memasang senyum menawan miliknya padaku.
Aku memutar kedua bola mataku dan duduk diatas kursi yang sudah disiapkan untukku.
"Kenapa kau terus-terusan ingin makan bersamaku? Kenapa tidak kau ajak saja kekasihmu itu makan dirumah ini? Toh aku tidak akan mengganggu kalian lagi." Balasku dengan datar.
Senyum di wajah Charles memudar digantikan dengan tatapan serius.
"Aku tidak punya kekasih. Berhentilah memikirkan hal yang tidak-tidak."
"Ah, aku tidak keberatan jika kau memilikinya."
Charles kembali memasang senyuman di wajahnya dan menatapku dengan senyuman yang dipaksakan itu.
"Hm, kalau aku tidak mau?"
"Berarti kau bodoh." Balasku asal karena sudah malas duluan berdebat dengannya.
Lebih tepatnya aku tidak jago berdebat dengan orang lain, hiks.
"Jadi, menurutmu aku bodoh kalau aku tidak ingin memiliki kekasih lain selain dirimu?"
Aku mengangguk.
"Tepat sekali. Kau bodoh kalau kau tidak ingin wanita yang sangat kau cintai berada disisimu."
"Kalau aku cinta padamu bagaimana?"
Aku menatapnya dengan jijik.
"Hentikan itu dan berhentilah mengajakku berdebat. Aku ingin segera makan dan pergi dari sini."
Charles menggeleng.
"Tidak, kau harus menemaniku sampai aku selesai makan."
APA?!
Aku melotot ke arahnya dan sudah tidak peduli lagi pada etika wanita bangsawan.
"Kenapa aku harus?!" Tanyaku dengan suara yang kutinggikan.
"Karena kau adalah istriku."
"Tidak, aku tidak mau!"
"Apa kau melupakan dua perjanjian terakhir dari kontrak yang sudah kita sepakati?"
Aku terdiam.
Sial, aku lupa.
Charles tersenyum penuh kemenangan setelah melihat reaksi dariku. Mau tidak mau aku harus menurut padanya di saat dia meminta sesuatu dariku.
Selamat tinggal, kehidupan tenangku~
-_*_-
Sudah sebulan lebih sejak perjanjian antara aku dan Charles di tandatangani.
Charles selalu datang menghampiriku hingga aku sudah sangat lelah dengan kehadirannya.
Entah karena ia ingin mengajakku untuk makan bersama, atau ia datang ke ruang kerja dan kamarku hanya untuk menggangguku, semua yang dia lakukan padaku sangat menyebalkan.
"Bisakah kau berhenti menggangguku? Bukankah kau sangat sibuk?" Tanyaku yang sudah lelah dengan kehadirannya.
"Aku tidak mengganggumu. Sudah sewajarnya suami-istri saling berinteraksi, bukan? Lalu, aku sedang senggang hari ini." Balasnya sambil membaca sebuah buku tebal yang ia bawa ke ruang kerjaku.
"Kalau begitu, bantu aku menyelesaikan dokumen-dokumen ini!"
"Oh? Maaf, aku tidak bisa membantumu. Saat ini aku sedang sibuk mempelajari hal baru dari buku ini."
Charles, kau sungguh menyebalkan!
Kenapa dia tiba-tiba sangat rajin menggangguku seperti ini? Bukankah dia sangat anti jika harus bersama denganku? Lalu, ada apa dengan tingkah lakunya ini?!
Aku menoleh pada Gillian dan memohon pertolongan darinya, namun sia-sia saja. Gillian membuang muka dan berpura-pura fokus pada dokumen yang ada dihadapannya.
'Tck! Bodoh sekali aku sudah memohon padanya.'
Aku hanya bisa pasrah. Aku tidak mengerti jalan pikir Charles seperti apa. Padahal, aku hanya ingin menjalani kehidupan kaya yang tenang, damai, dan santai, tapi kenapa rasanya sangat susah sekali untuk meraihnya?
Sudahlah, tidak perlu kuambil pusing. Lebih baik aku segera menyelesaikan dokumen-dokumen ini dan pergi refreshing ke kota bersama Yura, dengan begitu aku bisa terbebas dari Charles sebentar saja.
Tok tok tok
Seorang pria tua yang menjabat sebagai kepala pelayan masuk ke dalam ruangan ini. Ia membungkuk sekilas padaku lalu segera menghampiri Charles yang sedang duduk di kursi tamu.
"Permisi Tuan. Nona Odelia mengundang anda untuk datang pada jamuan minum teh di rumahnya."
Pria tua yang bernama Don itu melirik padaku secara diam-diam. Mungkin dia pikir aku akan mengamuk setelah mendengar undangan barusan, namun aku malah menarik sudut bibirku tinggi-tinggi dengan tenang.
Akhirnya Charles akan bertemu kembali dengan kekasihnya! Aku bisa bebas!
Charles melirik sebentar ke arahku dengan tenang. Aku berusaha menyembunyikan kegembiraanku, namun nampaknya wajah ini sulit diajak kompromi.
"Tolak undangan itu. Katakan padanya kalau aku sedang sibuk dengan pekerjaanku."
Seketika aku dan Don melongo menatapnya. Apa katanya? Dia menolak undangan itu?
Don sudah membuka mulutnya untuk berbicara, namun aku segera berdiri dan memotongnya terlebih dahulu.
"Charles? Kenapa kau menolak undangan itu?"
Charles menoleh padaku.
"Hm? Aku sibuk, jadi aku tidak ada waktu memenuhi undangannya."
Sibuk darimananya Bambang?! Kalau dia sibuk, seharusnya dia tidak ada di ruangan ini!
"Tidak. Kau tadi berkata padaku kalau kau sedang senggang. Jadi kau harus pergi menemui Odelia."
"Mulai saat ini aku sibuk." Balasnya sambil bangkit dari kursi dan berjalan kearahku.
Ia menarik pinggulku dan memeluk pinggulku sambil berbisik di telingaku.
"Aku sibuk menemani istriku yang sedang sibuk bekerja seharian."
A-a-a-a-a-apa?!
Seketika jantungku mulai berdegup kencang. Wajahku memanas dan tengkukku terasa geli seperti tersengat listrik. Ada apa dengan pria ini?! Kenapa tiba-tiba dia menggodaku?!
"H-Hei!"
*kecup*
Oke, kali ini jantungku sudah berdetak tidak karuan.
Charles mengecup pipiku dengan santainya dihadapan Don dan Gillian. Dapat kulihat wajah semringah Don yang memerah, ia tampak sangat senang melihat pemandangan menjijikkan dihadapannya ini. Sedangkan aku yang menjadi korban malah merasa tidak nyaman dengan perlakuan Charles seperti ini.
Sementara itu Gillian menutupi wajahnya dengan tangan kanannya sambil menoleh ke arah lain dengan wajah yang memerah.
"Lepaskan!"
Aku menarik paksa tangan Charles yang melingkari pinggangku dengan erat. Aku ingin segera lepas dari pose mengerikan ini dan menamparnya, tetapi pelukan Charles pada pinggangku malah semakin erat hingga aku dapat mendengar detak jantungnya.
"Mau sampai kapan kalian berada disitu?" Tanya Charles pada Don dan Gillian.
"Ah baiklah Tuan. Saya permisi dulu." Jawab Don yang segera melangkah dengan cepat keluar dari ruang kerjaku.
"Sa-Saya juga permisi dulu, Tuan." Gillian segera berlari keluar dari ruanganku.
Setelah pintu tertutup rapat dan menyisakan diriku bersama Charles, aku segera melepaskan tubuhku dari pelukan Charles dan hendak menampar pipinya, namun tanganku di cegat duluan oleh tangannya yang besar dan kokoh itu.
"Apa kau sudah gila?!"
Bentakku pada Charles sambil menatapnya dengan sangat tajam. Kurasa jika mataku bisa mengeluarkan laser, aku sudah membolongi wajahnya dengan tatapanku ini.
Bukannya membalasku dengan datar dan cuek, Charles malah tersenyum mencemoohku hingga membuat kepalaku semakin panas melihatnya. Sebelum aku sempat membuka mulutku untuk membentaknya, ia mendorongku dengan pelan hingga aku jatuh terduduk diatas kursiku dan ia menghimpit tubuhku dengan tubuhnya sambil memegangi tanganku yang tadinya hendak menamparnya.
Deg... Deg...
Posisi apa ini?
Kenapa tiba-tiba jantungku berdetak tidak karuan seperti ini?
"Apa kau tidak senang?" Tanyanya dengan suara rendah dan lembut.
Matanya menatapku dengan hangat. Tangannya yang kosong menyelipkan untaian rambut yang menutupi wajahku ke belakang telingaku. Kemudian ia mengelus pipiku dengan sangat lembut hingga jemarinya bergerak pelan dari pipi menuju bibirku dan mengelus bibirku dengan lembut.
Seolah tersihir olehnya, aku menatapnya dalam diam dan tidak bisa berkata apa-apa seakan-akan bibirku menolak untuk berbicara. Aku memandangi wajahnya yang berjarak tidak jauh dari wajahku dengan manik yang bergetar. Kurasakan hembusan napasnya yang hangat menyapu wajahku dan wangi tubuhnya semakin kuat menyerang indera penciumanku. Aku terus menatapnya dengan lemah seolah-olah diriku benar-benar tersihir olehnya dan rela memberikan tubuh ini padanya.
Charles semakin mendekatkan wajahnya pada wajahku. Saat bibirnya hendak menyentuh bibirku, aku segera tersadar dan mendorong kasar tubuhnya menggunakan tanganku yang bebas.
Tidak, aku tidak bisa melanjutkan ini. Charles tidak mencintaiku dan aku tidak ingin memberikan ciuman pertamaku pada pria yang tidak mencintaiku. Aku tidak tahu apakah Cornelia yang asli sudah pernah berciuman dengannya atau tidak, tapi sekarang yang memiliki tubuh ini adalah aku, jadi aku berhak memutuskan apa yang ingin kulakukan dengan tubuh ini.
"Cornelia?"
Charles menatapku dengan bingung. Aku melepaskan tanganku yang di genggam olehnya tadi dan berdiri dari kursi.
"Berhentilah menggodaku. Lakukan hal itu dengan wanita yang kau cintai. Jika kau melakukan hal ini karena terpaksa memenuhi kewajibanmu sebagai suamiku, lebih baik kita bercerai saja."
Entah mengapa setelah melontarkan kalimat tersebut padanya, hatiku terasa sakit.
Aku melangkah pergi meninggalkan ruang kerjaku dan Charles yang mematung di tempatnya.