Aku masih samar-samar melihat semua yang ada di dalam mobil justin. Mataku juga masih bisa melihat tubuh Justin dari belakang. Karena sekarang aku sedang berbaring di jok mobil belakang.
Tubuhku masih merasakan sakit karena semalam reaksiku begitu membuat tubuhku lelah. Aku masih bisa mengingat betul kejadian semalam ketika aku terguling-guling di jalanan karena tubuhku merasakan panas akibat seorang pria dan anaknya yang terbakar di dalam mobil. Aku menggulingkan diriku di jalanan yang penuh dengan salju.
Ya Tuhan aku begitu merasa sedih sekali dengan kematian pria dan anak tak berdosa itu. Apa justin tahu kejadian semalam? aku takut sekali. Mungkin Justin akan tahu karena aku melihat seseorang merekamku dengan ponselnya. Tapi aku berharap semoga orang itu tidak menguploadnya di internet.
"Kita sudah sampai, Ern!" seru Justin sambil menengok ke belakang. Lalu ia segera turun dari mobil dan dia membantuku untuk bangun lalu aku berjalan di papah oleh Justin.
"Au!" seruku saat sikuku terasa sakit terkena sentuhan Justin.
"Oh maaf! sakit ya?" kata Justin sambil meringis.
Aku berjalan dengan pelan. Justin membantuku dengan begitu sabar. Aku benar-benar merasa bahagia bisa sedekat ini dengan Justin.
Kini kakiku sudah menginjak di depan pi tu rumah Justin yang besar. Aku bisa melihat bahwa rumah ini adalah rumah yang paling bagus dari rumah yang ku lihat di komplek ini.
Justin memencet bel karena sebelumnya ia berusaha membuka pintu namun ternyata terkunci.
"Lama sekali kakakku membuka pintu," seru Justin dengan kesal.
Beberapa detik setelahnya pintu terbuka seorang wanita dengan rambut di kuncir kuda dengan bulu matanya yang lentik terlihat memandangi Justin dan aku.
"Oh siapa dia Justin?" tanya perempuan itu dengan wajah terlihat jijik melihatku. Aku tahu mungkin karena penampilanku yang berantakan. Bajuku kusam dan rambutku yang berantakan apalagi wajahku yang terlihat pucat.
"Dia temanku," jawab Justin seketika langsung masuk ke dalam rumah sambil memapahku.
Justin membantu aku duduk di kursi dengan pelan. Aku masih bisa merasakan perih di lukaku dan aku cukup merasa lemas saat ini.
"Kau duduk disini sebentar. Aku akan mengambil minum dan makanan untukmu," kata Justin dengan menatap mataku. Ia begitu perduli kepadaku.
Aku hanya bisa mengangguk dengan perintahnya.
"Ariana kau jangan macam-macam dengan dengan temanku ya!" Justin memberi peringatan kepada perempuan itu yang duduk di sofa.
"Ah untuk apa? aku juga tidak perduli. Aku akan ke atas dah!" seru wanita yang bernama Ariana itu. Mungkin dia adalah kakak Justin. Karena menurutku wajahnya terlihat lebih tua dari Justin.
Justin hanya menggeleng ketika melihat Ariana yang bersikap sombong dan pergi begitu saja.
"Dasar kau Ariana!" ucap Justin dengan membuang muka.
Ia lalu segera pergi meninggalkan ruang tamu. Aku bisa melihat dia sudah tidak terlihat.
Kini mataku memandang seluruh ruangan yang ada di ruang tamu. Ruang tamu ini cukup besar. Karena lemari dan sofa yang besar mendominasi ruangan. Lemari kaca dengan sedikit desain berwarna putih. Terlihat betul kalau ruangan ini begitu mewah.
Aku melihat tembok dengan bingkai foto besar. Foto keluarga yang begitu bahagia. Karena wajah mereka terlihat tersenyum semua. Namun aku melihat ibu Justin tanpa senyum. Dia terlihat menonjol dari yang lain. Ya, wajahnya penuh riasan make up dengan warna hitam.
"Apa dia sedang memakai kostum? tapi kenapa hanya Ibu Justin saja yang memakai? sementara yang lain memakai baju gaun yang indah dan Justin dengan ayahnya memakai jas. Hem, foto keluarga yang aneh," ucapku dalam hati.
"Apa kau menungguku terlalu lama?" tanya Justin yang berjalan mendekat kepadaku sambil membawa kotak susu dan sandwich serta buah apel.
"Tidak kau tidak lama kok!" ucapku sambil tersenyum.
"Makanlah!" kata pria berambut gaya undercut itu sambil menunjuk makanan yang ada di meja dengam dagu manisnya.
"kau pasti sangat lapar kan?" tanya Justin membuatku teringat bahwa pagi tadi aku hanya makan makanan yang ada di sampah tepat di samping restoran. Ya, aku baru saja makan makanan sisa restoran.
"Terimakasih Justin!" ucapku sambil tersenyum melihatnya lalu aku segera mengambil sandwich itu dan aku gigit dengan gigitan yang banyak.
Lidah perasaku bisa merasakan roti yang lembut serta sayur dan telor mata sapi. Aku mengunyah dengan lahap. Aku begitu menikmati makananku saat ini.
Justin tertawa melihat tingkahku yang terlihat begitu kelaparan.
"Oh ya! sebentar, aku akan mengambil kotak obat untuk mengobati lukamu," seru Justin dengan sigap ia lalu pergi begitu saja.
Sementara aku tetap mengunyah makanan dan lalu aku meminum susu segar. Ah rasanya begitu nikmat sekali.
Ariana muncul dan melihatku dengan heran. Dia melihat mulutku yang saat ini penuh dengan makanan hingga bibirku monyong.
"Heh makhluk apa kau ini?" kata Ariana dengan jijik lalu membuang muka dan keluar rumah. Aku pikir dia akan berangkat ke kampus.
"Apa Ariana mengatakan sesuatu kepadamu?" tanya Justin yang sudah datang membawa kotak obat. Wajahnya terlihat khawatir saat menanyakan pertanyaan itu kepadaku.
"Eh iya, dia bertanya kalau aku ini makhluk apa," kataku dengan polos.
"Hahaha mungkin dia melihat kau begitu lahap memakan makanan. Dia hanya mengatakan itu saja kan?" tanya Justin penasaran.
"Ya dia hanya mengucapkan itu sambil wajahnya menampakan raut jijik," ucapku sambil meringis menertawai aku sendiri.
"Apa? kurang ajar sekali dia kepadamu," seru Justin dengan keras.
"Ya sudah tidak apa-apa. Untung saja dia hanya berkata seperti itu dan tidak mengajak kau berkelahi," kata Justin dengan khawatir.
"Berkelahi?" tanyaku.
"Ya dia memang sedikit tomboy dan suka berkelahi entahlah sifatnya begitu tempramental," Jelas Justin kepadaku.
"lalu dia tadi pergi kemana?" tanyaku penasaran.
"Dia pergi bekerja," jawab Justin sambil membuka kotak obat.
"Bekerja?" tanyaku yang merasa heran.
"Kau pasti heran kan? kenapa dia bekerja? padahal keluarga kami cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan dia seharusnya kuliah saja," jelas Justin.
"Ya, kenapa dia bekerja?" tanyaku.
"Dia tidak suka kuliah. Terakhir dia hanya sekolah menengah ke atas kelas dua lalu dia bekerja dan hasil uangnya di buat untuk memenuhi kebutuhan hobinya. Ya seperti balapan atau pergi ke club. Ya begitulah," jelas Justin seperti tidak ingin membicarakan Ariana kembali.
"Oh!" aku mengangguk paham.
"Ada lagi yang ingin kau tanyakan?" kata Justin dengan nada seperti seorang pelayan.
Aku tertawa sebentar dan berkata.
"Oh apa dia kakakmu satu-satunya?" tanyaku.
"Ya dia kakakku satu-satunya. Aku menyayangi dia. Ngomong-ngomong aku juga mempunyai adik perempuan. Dia sedang berangkat sekolah dasar," jelas Justin sambil kebingungan memilih obat yang mana.
"Biar aku saja!" seruku seraya mengambil kotak obat dan menaruhnya di kedua pahaku.