"Pikiranku mendapat firasat buruk tentang Ariana," ucapku dengan suara lirih menatap Justin.
Kulihat wajah Justin yang begitu kaget namun dia tetap tenang dan aku terharu saat dia memegang tanganku. Dia meremas lembut jari-jariku.
"Katakan saja! aku percaya padamu, Ern"
"Ariana adikmu akan mengalami kecelakaan di rel kereta api. Mobilnya akan tiba-tiba berhenti tepat di Rel saat kereta api akan melaju," jelasku dengan mata berkaca. Hatiku teriris saat mengatakan itu.
Justin membuang muka ia bingung apa yang harus dilakukan. Lalu dengan mata tajamnya Justin menatapku.
"Oke baiklah! sekarang apa yang harus aku lakukan?" tanya pria dengan bibir tipisnya itu.
"Sebaiknya kau telfon Ariana dan jangan mengendarai mobil menuju jalan rel kereta. Pasti ada jalan lain," ucapku penuh harap. Semoga apa yang aku katakan adalah benar.
Justin mengangguk dengan sigap dia menelepon adiknya.
"Halo Ariana?" seru Justin.
"Ada apa kau meneleponku?" tanya Ariana dengan suara malas.
"Kau ada dimana sekarang?"
"Aku ada di kampus dan sebentar lagi aku akan bekerja. Kenapa Sih?"
"Oke! tunggu aku disana aku akan menemuimu di kampus sekarang juga. Aku berangkat!"
Justin menutup telfonnya. Dia menatapku dengan ragu-ragu.
"Aku ikut!" seruku meyakinkan pria berwajah tegas itu.
"Kau yakin?" tanya Justin mendekat kepadaku. Dia melihat seluruh bagian dari wajahku.
"Aku yakin Justin. Aku hanya lemas sedikit saja," ucapku.
"Baiklah ayo!"
Aku dan Justin kini sudah berada di mobil Justin. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tidak ada cara lain lagi. Karena waktuku hanya sedikit. Hanya tiga puluh menit memastikan agar Ariana baik-baik saja.
"Aku akan menemui Ariana sekarang juga. Kau disini saja ya!" kata Justin setelah lima belas menit sampai di parkiran kampus Ariana.
Aku mengangguk paham.
***
Justin berjalan dengan cepat. Sepatu yang Justin kenakan tidak membuat suara. Ia berjalan begitu tegas.
Matanya mencari sosok Ariana saat ia berjalan di koridor kampus. Selanjutnya ia menelepon Ariana.
"Kau ada dimana sekarang? aku sudah ada di koridor kampus. Cepat kau kesini!" ucap Justin dengan cepat lalu mematikan telfonya.
Beberapa menit Ariana muncul. Wajahnya terlihat heran. Kuncir rambut kudanya benar-benar terlihat tinggi. Ariana berkacak pinggang di depan kakaknya.
"Ada masalah apa sampai kau ke kampusku. Kau membuatku takut sejak kau menelfon aku," kata Ariana dengan khawatir.
"Ariana," Justin memegang lengan Ariana sambil menatap mata adiknya itu.
"Sebaiknya hari ini kau jangan bekerja terlebih dahulu. Temanku Ern mendapat firasat buruk tentangmu," jelas Justin meyakinkan adiknya.
Ariana menampakkan wajah kaget.
"Apa? firasat buruk tentangku? maksudmu temanmu sewaktu di rumah aku lihat tadi? yang berbaju kotor itu kan?"
"Iya kau benar. Jadi dia mempunyai firasat kalau mobilmu akan terhenti tepat di rel kereta saat kereta akan melaju," jelas Justin dengan mengebu-gebu.
Ariana terkaget sekali apa yang kakaknya katakan. Seketika itu Ern muncul diantara mereka berdua. Dia berwajah kelelahan setelah berlari cepat.
"Waktunya sudah tiba Justin! ini pukul dua belas siang. Apa kau baik-baik saja Ariana?" tanya Ern dengan memegang lengan Ariana.
Seketika itu Ariana teringat bahwa mobilnya di pinjam oleh pacarnya.
"Ya Tuhan! jacob! kita harus menuju rel kereta yang kau maksud! jacob mengendarai mobilku!" seru Ariana dengan nada tinggi dan pikiran kacau.
Seketika wajah Justin dan Ern kaget setengah mati. Mereka bertiga pun segera menuju mobil Justin dengan berlari.
Kini Justin siap untuk mengendarai mobil. Ern mengatakan dimana rek kereta itu. Dan Justin dengan fokus mengendarai. Sementara wajah Ariana begitu cemas. Ia terus menggigit kukunya dengan mata berkaca.
Beberapa saat jalanan di depan mobil justin begitu padat. Mobil Justin berhenti karena antrian macet yang begitu membuat mata pusing.
"Ayo kita keluar dan lari. Rel kereta ada di depan sana!" seru Ern dengan menatap wajah Ariana di sampingnya.
"Apa? ya Tuhan! ayo kita keluar!" seru Ariana membuat Justin dan Ern segera keluar mobil.
Mereka bertiga keluar dengan cepat. Lalu berlari. Ern berada paling belakang karena ia sudah lelah.
Ariana begitu ketakutan saat berlari. Ia takut apa yang akan terjadi di depan sana.
Seketika wajah Justin di tutup dengan kedua telapak tangannya saat ia melihat di depan sana mobil milik Ariana hancur lebur. Sementara beberapa orang dan orang-orang medis membantu menggotong jenazah yang sudah tewas.
"Tidak mungkin! ini tidak mungkin!" seru Ariana berteriak. Ia menangis sambil menutup mulutnya. Seakan sekujur tubuhnya di timpa oleh langit. Kakinya benar-benar lemas seketika itu. Ia jatuh di atas aspal dengan terik matahari yang menyengat.
Sang kakak Justin segera menggotong Ariana yang pingsan saat itu juga. Sementara Ern manatap dengan nanar kejadian yang berlangsung di depannya. Ia merasa begitu kalut melihat kengerian di depan sana.
***
"Apa dia sudah sadar?" tanyaku kepada Justin saat dia duduk di sofa tepat di sampingku.
"Dia belum sadar. Dokter sedang menanganinya," jawab Justin dengan lirih. Ia tertunduk lemas dengan keringat di wajahnya. Aku tahu dia pasti sangat syok dengan apa yang hari ini ia alami.
Aku dengan rasa bersalah teramat dalam mencoba menenangkan Justin dengan meraih tangannya lalu meletakkan tangan Justin di telapak tanganku. aku Menggenggam erat tangan Justin dengan lembut.
"Maaf aku untuk hari ini. Kau tahu kan bagaimana kisahku. Aku tidak yakin kalau aku harus berteman denganmu. Aku takut kau akan mengalami hal buruk lagi," ucapku dengan sedih.
"Tidak tidak, kau jangan berkata seperti itu. Ini semua sudah takdir. Ini bukan kau yang mengaturnya. Tapi Tuhan sudah mengaturnya. Kau tidak harus meminta maaf kepadaku. Semua pasti akan baik-baik saja," jelas Justin mata sayu. Kini aku bisa melihat bibir itu tersenyum manis meski terlihat berat. Dia lalu memelukku dengan lembut.
Aku bisa merasakan aroma tubuh Justin yang begitu khas. Aku mencium wangi lavender di kain bajunya. Begitu hangat pelukan ini. Aku berharap pelukan ini akan berlanjut sampai aku akan bersama kembali di surga bersama Justin.
Kini dua orang yang saling menguatkan sedang berpelukan di sebuah kursi rumah sakit.
***
Beberapa hari berlalu kini Ariana sudah pulang ke rumahnya. Setelah di rawat di sebuah rumah sakit. Ariana di gandeng oleh Justin memasuki rumah.
"Ariana?" seruku dengan wajah berusaha tersenyum di depan wajahnya.
"Kenapa kau ada disini Ern? pergi sana!" seru Ariana membuat aku takut.
"Tenanglah! Ariana kau bisa berdamai dengan dia. Dia tidak jahat sama sekali," kata Justin dengan hati-hati.
"Dia yang membuat pacarku Jacob meninggal. Seharusnya aku saja yang meninggal. Aku sangat mencintai Jacob," kata Ariana dengan menunduk sambil menangis sesegukan.