"Dia menginap di rumah ini," kata Justin dengan mata menegaskan kepada Ariana.
"Kenapa dia tinggal disini? Pergi sana! Kau yang menyebabkan pacarku kecelakaan!" kata Ariana dengan mata seakan ingin menerkamku.
"Tidak seperti yang kau kira," kataku dengan cepat kepada Ariana.
"Jelaskan padaku apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Ariana.
Kini Justin mengajak supaya Ariana duduk di sofa.
"Tenangkan dirimu ya!" kata Justin dengan lembut kepada gadis berambut panjang dengan kuncir kuda itu.
Kini Ariana duduk di tengah-tengah. Aku dan Justin berada di sampingnya.
Justin melihat wajah Ariana dengan penuh harapan.
"Kau dengarkan aku baik-baik ya. Jadi dia adalah Ern. Kau sudah tau kan namanya? Oke! Jadi dia itu teman sekolahku. Dia di sekolah sering di perlakukan tidak baik. Maksudku dia sering di bully. Karena Ern mempunyai kekuatan kalau dia bisa merasakan apa yang akan terjadi. Ya. Hal buruk yang akan terjadi dia bisa merasakan. Dia punya firasat yang benar mengenai hal buruk. Semalam dia juga merasakan firasat buruk pada seseorang lalu dia tidak bisa mengontrol firasatnya itu. Ern seakan bisa merasakan apa yang di rasakan oleh orang yang terjadi kecelakaan. Ya. Dia semalam seperti merasa terbakar lalu dia berguling-guling di aspal yang penuh salju dan itu membuat orang-orang memandangnya dengan aneh dan jijik. Dan Saat ini Ern tidak mempunyai siapa-siapa lagi karena nenek satu-satunya keluarga yang ada untuk Ern. Kini meninggal beberapa hari lalu. Dan nenek Ern ternyata mempunyai hutang yang banyak. Karena saat itu uangnya untuk pengobatan Ern waktu masih kecil. Waktu dia belum bisa mengontrol penuh firasatnya. Jadi sekarang Ern hidup sendiri. Dia tidak mempunyai tempat tinggal," jelas Justin membuatku tertunduk. Aku sangat malu pada takdir hidupku sendiri.
"Jadi apa yang ia rasakan sebagai firasat itu selalu benar? Tidak ada yang salah?" tanya Ariana yang mulai dingin emosinya.
Justin melihatku untuk berbicara.
"Ya sejauh ini selama hidupku. Aku selalu mendapatkan firasat buruk dan itu benar terjadi. Sama sekali persis apa yang aku fikirkan," kataku dengan jelas kepada Ariana.
"Apa kau yang ada di vidio ini?" tanya Ariana segera memperlihatkan layar ponselnya.
Terlihat disana vidio menampilkan aku yang sedang berteriak dan berguling-guling di aspal lalu terakhir aku dibawa oleh petugas polisi.
Justin yang kala itu hanya di ceritakan olehku dan kini bisa langsung melihat di dalam vidio. Justin berwajah sedih seketika.
"Ya itu aku," kataku sambil menunduk.
Seketika itu Ariana berdiri lalu menatap aku dengan tajam selanjutnya ia melihat seluruh penampilanku dengan jijik lalu ia segera menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarmya.
Aku dan Justin saling memandang dengan pasrah. Ya aku dan Justin tahu sifat Ariana memang seperti itu.
"Maafkan adikku ya? mungkin dia masih belum mau berteman denganmu," kata Justin dengan wajah tidak enak.
"Iya tidak mengapa. Aku tahu," jawabku.
"Maafkan aku karena aku masih menginap disini. Besok mungkin aku akan cepat mencari pekerjaan," kataku dengan melihat Justin.
Mata pria di depanku ini seolah sayu. Dia sedih, mungkin karena nasibku.
"Kalau begitu bolehkah aku menemanimu mencari pekerjaan?" tanya Justin dengan serius.
"Iya boleh," jawabku dengan tersenyum. Aku senang sekali dia berkata seperti itu. Itu berarti dia begitu perduli denganku. Itu membuat aku ingin melayang saja.
"Bagaimana dengan sekolah? apa orang-orang mencariku? oh bukan! maksudku mereka membicarakanku? atau yang lainnya?" tanyaku dengan ragu. Aku takut dengan jawaban pria berhidung bangir ini.
"Ya tentu saja mereka membicarakanmu. Tapi sudahlah jangan pikirkan apa yang mereka bicarakan tentangmu," kata Justin dengan wajah menampakan kalau dia tidam perduli dengan pembahasanku ini.
"Lalu kau akan terus melanjutkan sekolahmu?" tanya Justin dengan hati-hati kepadaku. Mungkin dia meragukan keadaan aku.
"Iya aku akan tetap sekolah bagaimanapun caranya. Meski aku bahkan belum mendapat pekerjaan untuk membayar uang sekolah. Tapi kau tahu kan? pendidikan itu penting," kataku dengan menatap ke depan. Aku membayangkan menjadi seorang educator.
"Memangnya seberapa penting menurutmu pendidikan itu? jujur saja aku bahkan tidak memperdulikan pelajaran di sekolah," kata Justin dengan wajah kecewa.
"Menurutku pendidikan itu penting. Ya, karena dengan pendidikan kita bisa memberdayakan seseorang agar bisa berpikir mandiri dan bisa mempunyai financial independence," jelasku dengan menatap wajah Justin.
"Wow!" seru pria dengan mata bening itu sambil bibir mengerucut. Wajah Justin begitu menggemaskan.
"Ada apa denganmu? jawabanku salah yah?"
"Tidak, tidak kau benar sekali. Hem! sepertinya aku baru saja menemukan kembali semangatku," kata Justin dengan tersenyum begitu manis dan kedua mata hazel itu berbinar.
Aku tersenyum melihat wajahnya yang begitu tampan.
"Oh ya! dimana ibumu? maaf kalau aku menanyakan ini?" tanyaku dengan berani karena aku ingat foto ibu Justin di ruang tamu. Ibu Justin memakai baju seperti seorang spiritual atau pemanggil setan. entahlah aku tidak tahu lebih tepatnya.
"Ibuku ada di luar kota. Aku tidak tahu untuk apa dia ke sana. katanya dia ingin menemui seorang teman," jawabnya dengan santai.
"Oh," aku hanya menjawab seperti ini saja. Padahal di dalam pikiranku masih banyak pertanyaan tentang ibu Justin. kenapa seolah justin tidak akrab dengan ibunya. aku pikir justin begitu cuek dengan ibunya sampai dia bahkan tidak tahu ibunya pergi ke luar kota untuk keperluan apa. itu aneh sih menurutku.
"Kalau begitu ayo kita makan malam," kata Justin dengan bersemangat. Entahlah wajahnya seperti tidak ingin membahas soal ibunya.
"Kakau ayahmu dimana?" tanya aku karena penasaran.
"Ayahku sedang bekerja di luar kota. ya dia ada proyek bangunan disana," jawab justin dengan santai.
"Oh," seruku.
aku dan Justin segera menuju dapur. dapur ini begitu luas sekali. aku ingin sekali memasak di dapur ini.
"Hem kita makan apa ya? aku malas untuk memasak. apa kita harus memesan pizza?" tanya justin kepadaku.
"Tidak usah, biar aku yang memasak!"
"Memangnya kau ingin memasak apa?" tanya Justin sambil membuka kulkasnya.
Aku pun mendekat kepada Justin. mataku mencari bahan-bahan masak yang ada di kulkas.
"Aku akan memasak spageti," seruku saat menemukan spageti di sebuah lemari dan aku juga menemukan bumbu racikan di kulas.
"Oke baiklah! aku akan menunggumu memasak disini," kata Justin dengan duduk dan menyangga dagunya dengan tangan.
"Oke!" aku segera menyiapkan masakan untuk makan malam hari ini.
suara bel rumah berbunyi. Justin segera berpamitan kepadaku untuk membuka pintu. akupun mengiyakan.
"Siapa yang bertamu di malam hari seperti ini?" tanyaku dengan heran.
aku fokus untuk memasak spagetti.
"Ada dua orang petugas polisi," seru Justin saat muncul di dapur.
"Apa yang polisi katakan?"
"Dia hanya ingin Ariana dan aku ke kantor polisi untuk mengurus kecelakaan itu dan kata polisi itu ada seorang yang mencoba membuat agar mobil ariana berhenti. maksudku seseorang ingin mencelakai Ariana dengan sengaja. polisi sudah mendapatkan camera cctv nya," jelas Justin dengan serius.