Mengingat kembali soal nasib malang mendiang Ruby membuat rasa kantuk dan lelah Zwetta hilang. Berada satu hotel dengan Osbert, sang buruan yang selama ini selalu berhasil melarikan diri membuat Zwetta harus lebih hati-hati dalam menjalankan misinya kali ini.
"Kau tidak boleh gagal kali ini, Zee. Bukan hanya demi mendiang Ruby tapi demi menyelamatkan gadis tidak berdosa lainnya," ucap Zwetta lirih seraya memasukkan salah satu pisau lipat andalannya ke dalam tas perlengkapan yang akan dibawanya besok pagi.
Berhasil memasang alat penyadap pada ponsel Osbert membuat Zwetta mengetahui semua rencana gila lelaki gila uang itu, karenanya Zwetta terlihat lebih siap kali ini. Setelah gagal berkali-kali dalam menangkap Osbert di misi-misi sebelumnya, kali ini Zwetta bersumpah tidak ingin kembali membiarkan lelaki itu bebas. Tidak boleh ada air mata gadis tidak berdosa lagi yang ditumpahkan Osbert.
Meskipun sebenarnya Zwetta tidak mengantuk, namun gadis itu tetap memaksakan diri untuk tetap tidur. Besok pagi dirinya harus dalam kondisi yang sangat fit dan prima untuk menjalankan misi, karenanya Zwetta berusaha untuk membuat tubuhnya beristirahat sejenak. Setelah memasang dua alarm sekaligus, Zwetta mulai memejamkan kedua matanya.
***
Nada dering alarm yang dipasang Zwetta mengalun keras memenuhi kamar VIP di The Ritz-Carlton Hotel de la Paix, Geneva. Meski matahari belum muncul, namun Zwetta bergegas untuk pergi ke kamar mandi tanpa bermalas-malas di ranjang terlebih dahulu seperti gadis lainnya.
Demi menghemat waktu, Zwetta mandi dibawah shower. Dia tidak mau terlena akan kenyamanan bathtub yang sejak tadi memanggil-manggil dirinya, sekali lagi Zwetta berhasil menahan keinginannya untuk bersantai. Setelah merasa cukup segar, Zwetta kemudian keluar dari kamar mandi dan bergegas berpakaian. Setelah memastikan semua peralatan pentingnya tidak ada yang tertinggal, Zwetta kemudian bergegas turun menuju restoran untuk makan pagi.
Bersikap anggun layaknya tamu hotel lainnya, Zwetta duduk di sebuah kursi yang ditempati beberapa anak buah Osbert yang sedang menunggu tuannya. Ketika Zwetta sedang membawa piring yang berisi makanannya menuju mejanya kembali, dari arah lift muncul Osbert.
"Sudah lengkap semuanya?" tanya Osbert cukup keras pada keenam anak buahnya yang sedang menikmati makanannya.
"Sudah Tuan, semuanya siap. Setelah makan kami akan segera berangkat ke bandara," jawab salah seorang pria berkulit hitam dengan tegas.
Osbert tersenyum. "Bagus, setelah Tanzanite kita bergerak aku akan langsung menyusul kalian."
"Siap Tuan, kami mengerti." Keenam anak buah Osbert bicara secara kompak dengan lantang.
Dari tempatnya duduk, Zwetta mencengkram kuat sendok yang ada di tangannya. Osbert benar-benar orang yang tidak punya perasaan sama sekali, tingkat kebencian Zwetta pun meningkat seratus kali lipat. Karena nafsu makannya hilang, Zwetta pun bergegas kembali ke kamarnya. Dia harus tiba di bandara terlebih dahulu ketimbang anak buah Osbert.
Kediaman keluarga Clarke, 4 jam sebelum Suri menghilang.
"Aku tidak jadi berangkat ya, Asher. Perasaanku tidak enak sekali," ucap Suri lirih pada Asher yang baru masuk ke dalam kamar tidurnya.
Asher tersenyum. "Kau tidak pergi sendiri, Suri. Aku juga ikut bersamamu, lagipula kita naik pesawat jet pribadi, Suri. Jadi tak ada hal yang perlu kau khawatirkan
"Tetap saja, Asher. Perasaanku tidak nyaman sekali, aku tidak tahu kenapa."
Dengan penuh kasih Asher membelai rambut panjang Suri. "Itu karena kau masih berat meninggalkan kamar ini, kan?"
Suri mengangkat wajahnya menatap Asher dengan mata berkaca-kaca. "Ini kamar yang sudah aku tempati seumur hidupku, Asher. Aku tidak mungkin meninggalkan kamar ini begitu saja."
"Kau tidak meninggalkan kamar ini untuk selamanya, Suri. Nanti setelah Uncle dan Aunty pulang ke Jenewa kau bisa kembali tinggal disini, kepindahanmu ke Luksemburg adalah untuk kebaikanmu juga, Suri," ujar Asher lembut mencoba untuk menenangkan Suri.
"Demi kebaikanku?"
"Iya," jawab Asher cepat. "Christian tidak mau kalau kau tinggal disini sendiri."
Suri menggeleng cepat. "Aku tidak tinggal sendiri, ada dirimu dan para pelayan serta bodyguard yang menjagaku, Asher!"
"Tapi tidak ada Uncle Jack dan Christian tidak semudah itu mempercayakan keselamatanmu pada orang lain."
"Termasuk padamu?"
Asher mengangguk pelan. "Kemampuanku masih dibawah para bodyguard yang biasa mengawal kita, Suri. Jelas saja Christian tidak akan membiarkan aku menjagamu disini."
Suri mengedip-ngedipkan kedua matanya merespon perkataan Asher, perlahan tatapan penuh kemarahannya menghilang. Nafasnya juga sudah tidak seberat sebelumnya, Suri sudah sedikit tenang setelah mendengar perkataan Asher. Penjelasan Asher yang mudah dimengerti itu berhasil membuat Gina akhirnya mau pindah ke Luksemburg.
"Ya sudah ayo kita makan, biarkan pelayan yang merapikan barang-barangmu,"ucap Asher lembut mengajak Suri turun ke lantai satu.
"Apa menu makan pagi ini?"
"Tentu saja makanan kesukaanmu, Princess," jawab Asher dengan cepat, secepat gerakan tangannya yang langsung terulur ke arah Suri selayaknya seorang pelayan istana.
Suri terkekeh melihat gerakan Asher, namun tak ayal dia pun meraih tangan Asher ketika akan turun dari ranjang. Setelah Suri berhasil berdiri diatas lantai, Asher masih memperlakukan Suri selayaknya putri kerajaan. Keduanya kemudian turun menuju lantai satu meninggalkan kamar yang sangat berantakan tanpa tahu kalau saat-saat ini adalah saat terakhir mereka bisa tertawa bersama.
Bersambung