Chereads / Forbidden LOVE. / Chapter 3 - Target

Chapter 3 - Target

Bandar Udara Internasional Cointrin Jenewa, 4.00 PM.

Ada perasan aneh dalam diri Zwetta saat menginjakkan kaki di negara yang terkenal akan keindahannya, bukan tanpa sebab Zwetta merasa sedikit gugup saat ini. Menjalankan misi yang tidak mudah membuat Zwetta harus sangat hati-hati dan tidak boleh meninggalkan jejak. Sebagai seorang agen khusus yang sudah menggeluti profesinya sejak berusia lima belas tahun membuat Zwetta sangat diperhitungkan oleh perusahaan tempatnya bekerja.

Zip..zip...

Zwetta menghentikan langkahnya ketika alat komunikasi yang baru dipasang di telinga kirinya berbunyi, menggunakan jari telunjuknya Zwetta menekan sebuah tombol yang berada di alat komunikasinya.

"Yes."

"Kau sudah mendarat Zee?"

"Baru saja, saat ini aku masih berada di dalam bandara mencoba membaca situasi bandara untuk berjaga-jaga."

"Jangan gila, Zee. Bandara adalah fasilitas publik, jika kau berbuat macam-macam maka kau akan..."

"Tenanglah Ruben, aku bukan agen kemarin sore. Aku sudah menggeluti pekerjaanku lima tahun, kau tidak usah khawatir." Zwetta memotong perkataan Ruben sang ceo dari perusahaan tempatnya bekerja sekaligus mentornya yang menyelamatkannya dari perkosaan tiga preman gila yang mengejar-ngejarnya karena menagih hutang mendiang ayahnya yang seorang penjudi di jalanan Manhattan lima tahun yang lalu.

Pria bernama Ruben yang berada di ujung telepon menggeram saat mendengar perkataan Zwetta. "Jangan macam-macam, Zee. Perusahaan kita akan hancur jika kau gagal dalam melaksanakan misi ini." Ruben selalu mengatakan kalimat yang sama untuk menahan Zwetta agar tidak berbuat gegabah.

"Aku tahu Ruben, percayalah padaku. Misi kali ini pasti akan aku selesaikan dengan mudah, kau tidak usah khawatir dan kirimkan doa untukku saja dari kursimu saat ini."

"Fuck, aku sedang serius Zee."

Zwetta terkekeh geli mendengar Ruben marah-marah, lelaki yang berbeda sepuluh tahun darinya itu adalah tipikal orang yang sangat perfeksionis. Karena itu tidak heran jika dia akan menghubungi Zwetta berkali-kali jika Zwetta menjalankan misi, seperti saat ini.

"I know, Ruben. Aku bisa menjaga diriku dengan baik, tidak usah khawatir. Aku akan pastikan si brengsek bernama Osbert itu meregang nyawa setelah ini."

Di Manhattan, Ruben terdiam beberapa saat mendengar perkataan Zwetta, rahangnya mengeras saat Zwetta mengucapkan nama Osbert. Orang yang paling Ruben benci. "Kirimkan kepalanya ke kantorku, Zee. Aku sudah tidak sabar menantikannya."

"Jangan gila, ya sudah aku tutup ya dan jangan menghubungi aku terus kalau kau tidak mau kehilangan agen sehebat diriku."

"Apa maksudmu Zwetta?" hardik Ruben dengan keras secara tiba-tiba.

Zwetta tersenyum kecil. "Tidak ada, ya sudah ya aku tutup. Bye."

Zwetta langsung memutus panggilan Ruben tanpa menunggu jawaban dari Ruben, tidak mau terganggu saat sedang menjalankan tugas, Zwetta mematikan ponselnya. Tidak lama setelah itu dia kemudian melangkahkan kakinya dengan cepat menuju ruang kontrol, ada beberapa hal yang harus Zwetta lakukan.

Berbekal peta bandara yang sudah didapatkannya dari pasar gelap, Zwetta berhasil tiba di ruang kontrol yang mengatur semua cctv di bandara. Berbekal laptop canggih milik Ruben, Zwetta berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya. Membajak cctv bandara Cointrin Jenewa. Salah satu bandara paling sibuk di Eropa. Seperti saat masuk, ketika keluar dari ruangan yang hanya bisa dimasuki pegawai itu Zwetta berjalan dengan sangat tenang, tanpa dosa. Tujuannya saat ini adalah hotel tempat Osbert menginap.

"Sudah saatnya kau menyudahi semua perbuatan kotormu, Osbert," ucap Zwetta dalam hati menatap foto Osbert dan calon korbannya, seorang gadis bermata biru seperti dirinya yang terlihat sangat cantik di foto.

Zwetta berani bertaruh kalau gadis yang sedang diincar mucikari internasional itu pasti jauh lebih cantik dari fotonya. Memikirkan nasib para mantan korban yang berhasil ditolong Zwetta sebelumnya membuat Zwetta bergidik ngeri, dia tidak bisa membayangkan bagaimana nasib gadis yang fotonya tengah dia lihat saat ini. Menggelengkan kepalanya dengan cepat, Zwetta berusaha menghapus pikiran tidak produktif yang baru saja singgah di kepalanya.

"Come on, Zee. Kau pasti bisa menolong gadis ini, semangat."

****

The Ritz-Carlton Hotel de la Paix, Geneva.

"Kau yakin informasinya tidak meleset?" tanya Osbert dengan keras.

"Yakin bos, nama gadis itu muncul di salah satu manifest penerbangan pribadi menuju luksemburg," jawab seorang pria muda di ujung telepon menjawab pertanyaan Osbert.

Osbert tersenyum lebar. "Sepertinya Dewa Matahari sedang baik padaku, cepat katakan padaku siapa nama Tanzanite itu?"

"Suri Mireya, bos."

"Suri...Suri Mireya hmmm nama yang indah dan cantik secantik orangnya. Baiklah kalau begitu kalian bersiap, besok adalah hari besar untuk kita. Dan jangan lupa dengan rencana B yang sudah kita bahas sebelumnya."

"Baik bos, saya mengerti."

Osbert kemudian memutus sambungan teleponnya dan mengalihkan pandangannya pada foto Suri.

"Kalau bukan karena hargamu yang sangat mahal ingin rasanya aku mencicipi tubuhmu Suri," ucap Osbert kurang ajar dengan terus meraba-raba foto cantik Suri yang saat difoto masih berusia delapan belas tahun.

****

"Osbert sialan, dia benar-benar tidak tahu diri." Zwetta melemparkan earpiece yang terpasang di telinganya begitu saja ke ranjang.

Terus menerus mendengar apa yang Osbert bicarakan membuat Zwetta mual, berhasil memasang alat penyadap di ponsel Osbert beberapa hari yang lalu saat Osbert mabuk di Dubai membuat Zwetta dengan mudah mengetahui setiap detail rencana pria berkepala botak itu.

"Demi Ruby, aku harus berhasil kali ini. Si botak tidak tahu diri itu sudah terlalu lama menebar banyak kejahatan," ucap Zwetta dalam hati, menyebut nama Ruby adik satu-satunya Ruben yang menjadi salah satu korban Osbert beberapa tahun yang lalu.

Ruby yang sangat shock karena berada di kamar hotel bersama pria hidung belang yang membelinya dari Obsert memilih mengakhiri hidupnya sendiri dengan menusuk jantungnya sendiri dengan pecahan botol.

Bersambung