Amira sampai di rumahnya dengan selamat dengan pengawalan dari Andi. Ia menghentikan motornya di halaman rumah mewah yang ia huni bersama beberapa pelayan.
"Apakah aku boleh masuk?"
Amira memandang Andi yang masih mempelajari suasana lingkungan tempat tinggal Amira. Rumah mewah berlantai dua yang ditempati Amira nampak sangat lengang meski berada di tengah kota.
"Em, kau hanya boleh mengantarku saja. Kalau mau masuk aku melarang."
"Kenapa?"
Amira menghela nafas dalam. ia memang tidak pernah mengijinkan siapapun masuk ke rumahnya kecuali perempuan. Beberapa temannya bahkan beberapa kali menginap, namun tidak dengan teman laki-laki. Ia memang membatasi pergaulan dengan laki-laki. Ayahnya melarangnya berdua-dua dengan laki-laki. Ia memberitahu Andi tentang penganiayaan Khalid kepadanya karena ia memiliki tujuan tertentu.
"Aku tidak mau orang-orang berpikir kalau aku memanfaatkanmu. Ditambah, aku tidak yakin kalau majikanku mengijinkan aku membawa teman-teman."
"Majikan?'
"Iya.'
"Maksudnya?"
"Kamu pikir aku tinggal di sini di rumahku? Ini rumah majikan ibuku, Andi. Rumah kosong yang kebetulan tidak ada yang menempati karena Sultan tidak mengijinkan siapapun untuk tinggal di sini. Sultan meminta orang tuaku yang menunggunya. Tentu saja aku juga akhirnya ikut mereka ke sini"
Andi memandang Amira lalu mengangguk. ia sama sekali tidak mengira kalau Amira adalah anak abdi keraton yang hanya bertugas untuk menempati rumah. Awalnya dia berpikir bahwa Amira adalah pemilik rumah mewah di depannya.
Andi tersenyum menyembunyikan rasa tidak percayanya pada cerita gadis yang sejak awal membuat bosnya penasaran. Ia juga menjalankan misi, namun ia sama sekali tidak ingin dekat dengan Amira karena perintah Khalid. Andi merasa sangat penasaran pada kehidupan Amira, saudara sepupu Mutia yang sejak awal sudah membuatnya sangat tertarik.
Andi merasa tertarik karena Amira memang beda dengan gadis-gadis yang ia kenal selama ini. ia menginginkannya menjadi kekasihnya namun ia urungkan. Ia tidak ingin menjadi saingan bosnya.
"Aku masih belum percaya kalau kau anak pelayan."
"Kenapa?"
Amira mulai was-was. Ia tidak mau melihat Andi terlalu memaksakan diri untuk mempercayai semua ceritanya, namun ia ingin Andi meninggalkan dirinya di rumah. Ia ingin Andi pergi dan membiarkan dirinya masuk.
"Ya belum percaya saja kalau aku belum melihat dengan mataku sendiri kalau kau adalah pelayan di keraton sultan."
Amira tersenyum. ia memikirkan cara untuk membuat Andi benar-benar percaya semuanya. Ia memandang sekeliling, mencari pelayan dan akan memintanya untuk bersandiwara di depan Andi, namun ia gagal. Tidak ada satu orang pun yang lewat di depannya. Amira frustasi lalu mengusap wajahnya perlahan. Ia pandang Andi yang masih menatapnya.
"Tidak usah berbohong karena aku tahu kau sedang mencari cara untuk membuat aku percaya kalau kau anak pelayan."
Andi tersenyum. ia melangkah menuju gazebo di sudut halaman, mencoba menunggu reaksi Amira atas permintaannya untuk mengijinkan dirinya masuk ke rumah. Amira yang tidak memiliki pilihan lain akhirnya mengikuti Andi ke gazebo.
"Apakah kau akan menunggu orang tuaku pulang dari keraton? Baiklah. Aku akan menemanimu di sini"
Andi menarik nafas dalam. ia duduk di gazebo dan mengambil ponselnya. Ia melihat pesan dari Khalid yang memintanya untuk datang ke markas, namun ia segera mengabaikannya. Setelah melihat Khalid menganiaya Amira, ia tidak lagi memiliki keinginan untuk tetap menjadi asisten pribadi Khalid yang memiliki tugas khusus mengawasi gadis itu.
Amira memandang gerak gerik Andi yang sedang mengetikkan pesan dengan meautkan kedua alisnya. Keringat nampak menghiasi wajahnya. Amira ingin menebak apa yang sebenarnya terjadi pada laki-laki di hadapannya, namun ia segera mengurungkan. Kali ini ia lebih memilih diam dan menunggu Andi selesai dengan urusannya.
Amira akhirnya mengambil ponsel dan melihat kondisi bagian dalam rumah, mencoba mengamati beberapa pelayan yang sedang menyiapkan makan di meja makan lewat kendali CCTV di ponsel. Ia tersenyum sendiri.
"Apa yang membuatmu tersenyum?'
Andi memandang Amira sambil sesekali mencoba mencuri-curi pandang ke layar ponsel Amira. Amira segera memasukkan ponsel ke dalam saku roknya agar Andi tidak melihat apapun yang ia buka.
"Aku tersenyum karena membaca pesan di grup. Teman-teman akan membuat bazar amal. Apakah kau akan ikut? Aku yakin kalau kau ikut semua pasti lancar. Selama ini kan kamu selalu menjadi sumber pembiayaan kan?"
Andi mengangguk. ia tahu Amira hanya ingin mengalihkan pembicaraan agar dirinya tak melanjutkan pertanyaannya.
"kita sudah membahas semuanya tentang bazar dan aku akan mencari donatur. Mengapa kau mengalihkan pertanyaanku dengan membahas bazar?'
"Apa? Kita sudah membahas bazar? Kapan/"
"Bahkan aku yakin kalau kau pura-pura lupa semuanya."
Amira menggeleng. ia memang benar-benar lupa kalau dirinya pernah membahas masalah bazar. Amira menangkupkan kedua tangannya, mencoba meminta maaf atas kekhilafannya.
"Kalau begitu aku minta maaf ya. Aku lupa kalau pernah membahas bazar denganmu."
"It is Ok. Tidak masalah. Aku yakin kamu memang sedang memiliki masalah yang berat sehingga kau melupakan pembicaraan yang baru saja terjadi beberapa jam lalu di kampus."
Amira menunduk. ia menyesali kebodohannya yang telah membangunkan kemarahan Andi.
"Aku pamit masuk dulu ya. Aku akan mengambil minum untukmu."
"Tidak usah. Aku tidak akan minum. Bosku memintaku untuk datang ke markas sekarang. Aku takut kalau terlalu lama dia akan marah dan memecatku."
"Bosmu? Bukankah kamu itu bos ya?"
Andi menatap Amira. Ia selidiki kebenaran ekspresi gadis di hadapannya. Selama ini ia memang tidak pernah menceritakan siapa dirinya pada siapapun termasuk pada Amira, gadis yang selalu diselidikinya dan kini menjadi teman kuliah satu kampus bahkan satu jurusan dan satu kelas. Bedanya Amira kelas reguler dan Andi kelas paralel.
"Aku juga pelayan sepertimu. Aku memiliki bos besar yang arogan.'
"O iya? Jadi kalau begitu kita sama-sama abdi ya?'
"Bedanya aku abdi yang sesungguhnya sedang kamu abdi-abdian."
"Abdi-abdian bagaimana?"
Andi tersenyum mencibir. Ia benar-benar kecewa pada apa yang ia dengar tentang Amira, namun ia sama sekali tidak ingin memberitahu Amira tentang perasaannya.
"Kamu abdi-abdian ya karena kamu bukan abdi sesungguhnya. Kamu terpaksa menjadi abdi karena orang tuamu. Kenyataannya kamu orang bebas kan? Orang yang berperan sebagai manusia merdeka. Itu pun kalau ceritamu benar. Kalau salah, aku tidak tahu siapa kamu"
"Aku juga abdi. Bukan orang merdeka. Kalau ayah dan ibuku menjadi abdi, aku juga abdi, Andi. Jangan berpikir kalau aku ini abdi-abdian karena setelah ayahku pensiun, aku yang akan menggantikan ayah, Bukan?"
"Baiklah. Kita sama-sama abdi. Lalu dimana kesalahan seorang abdi? Jangan minder dengan gelar abdi karena bos kita tidak akan bisa berjalan kalau kita tidak ada. Buktinya ini. bosku memintaku untuk datang dan membahas masalah, coba kalau aku tidak datang. Apakah bosku akan berhasil melakukan rencananya?"
Amira tersenyum. dalam hati ia membenarkan ucapan Andi tentang peran seorang abdi yang sangat penting.
"Kalau begitu, bukan hanya bos saja yang penting ya? Abdi juga penting"
"lho ya iya. Apakah kamu selama ini tidak pernah memikirkan bagaimana pentingnya peran kedua orang tuamu di istana/"
Amira menggeleng. ia tahu selama ini ia memandang pelayannya sebagai orang yang ia dan keluarganya tolong. Ia tidak pernah berpikir kalau majikan juga telah berhutang jasa atas kinerja asisten serta kesetiaan mereka.
"Baiklah kalau begitu. Aku akan segera pergi dari rumahmu, eh maksudku rumah majikanmu sekarang. Aku tidak mau membuat majikanmu tahu kalau kau membawa orang asing ke sini. Aku takut kau dalam masalah"
Amira mengangguk. dalam hati ia tertawa melihat ekspresi Andi yang kecewa padanya. Amira merasa semua aktingnya berhasil. Beberapa saat kemudian Andi mencoba bangkit lalu melangkah menuju mobilnya diikuti Amira di belakangnya.
"Kau tidak ingin minum dulu?'
Andi menggeleng. ia baru akan membuka pintu mobilnya ketika tiba-tiba dari arah jalan raya, masuk sebuah motor ojek online. Andi menunggu pengendara ojek online memarkirkan motornya dan melangkah menghampiri Amira.