Kasan masih belum bisa mengatakan apapun pada Amira. Ia memandang tuan putri dan memintanya untuk duduk di ruang tengah.amira yang sebenarnya sudah sangat lelah segera menuruti perintah abdi dalem keraton yang menyamar juga menjadi orang biasa. mereka berjalan beriringan ke ruang tengah dalam diam.
Di runag tengah, seorang laki-laki muda sedang berdiri menunggu kedatangan Amira dan Kasan. Ia menunduk memberi hormat pada tuan putri. Matanya nampak berbinar bahagia menyaksikan kehadiran wanita yang dihormatinya.
"Kau datang sendiri, Kakang Rashid?"
Rashid yang masih menunduk, akhirnya menengadahkan wajahnya, memandang Amira yang mengajukan pertanyaan ringan padanya. Ia mengangguk, lalu tersenyum dan kembali menunduk
"Benar, Tuan putri"
"Huft, sudah berapa kali kubilang kepadamu agar jangan memanggilku dengan sebutan itu, Kakang. Aku sama sekali tidak suka mendengarnya. Kau dan aku sama. Memiliki kedudukan yang sama di mata Tuhan yang membedakan adalah kadar keimanan kita dan itu yang dinilai oleh Tuhan, Kakang. Jangan terlalu mengagungkan jabatan atau kedudukan orang lain dan memandang yang lein lebih rendah atau lebih tinggi hanya karena harta, tahta dan jabatan seseorang."
"Ta-tapi, Tuan Putri, hamba . . ."
"Sudahlah. Bicara denganmu itu memang susah. Aku tidak akan mendebat lagi. yang perlu kau garisbawahi adalah bahwa aku sama sekali tidak suka dipanggil tuan putri oleh Kakang."
"Baiklah, Tuan Putri. Saya akan mencoba untuk bersikap biasa saja kepada Tuan Putri."
Amira diam. Dalam hati ia tertawa mendengar janji Rashid yang mengatakan akan bersikap biasa kepadanya namun masih memanggi dengan sebutan yang sama. Kasan, Rashid dan Amira masih pada posisi mereka dalam diam diam. Tidak ada satu pun yang mencoba mengawali pembicaraan, membuat Amira mendesah kesal. Ia sebenarnya ingin beristirahat, merebahkan tubuhnya di kasur dan memejamkan mata, mengembara dalam alam mimpi dan menenangkan pikirannya untuk menyiapkan tenaga yang akan ia gunakan esok hari.
"Apakah kedatanganmu ke sini karena perintah Kanjeng Romo, Kakang?'
"Benar, Tuan Putri.'
"Apakah Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu dalam keadaan baik? Aku sudah beberapa hari ini tidak menelpon dan mengirim pesan kepada beliau berdua."
Rashid tersenyum mendengar pengakuan Amira. Hal itu juga yang diucapkan oleh Sultan Adyaksa muda kepadanya. Sultan ingin melihat Amira dan mengajaknya berbincang tentang sayembara yang akan segera digelar, namun Sultan sering mengalami kekecewaan karena putrinya tidak memiliki waktu untuk bicara berdua saja.
"Yang Mulia Sultan dan Yang Mulia ratu semua dalam keadaan sehat, Putri. Beliau berdua mengirim salam untuk Putri Amira, semoga Putri senantiasa dalam lindungan Allah. Yang Mulia juga mengatakan kalau ingin sekali mengadakan sayembara yang akan memilih calon pangeran pendamping Putri Amira dan putri Anjani, anak dari garwa selir. Tapi- . . .'
Rashid menggantungkan kalimatnya dan segera menunduk. ia mencoba untuk menyusun kalimatnya agar dia tidak salah bicara. Salah sedikit saja Amira pasti akan menanyakan sesuatu yang sangat rumit kepadanya padahal dia sendiri belum mempelajari detail pelaksanaan sayembara yang akan dilaksanakan pekan depan.
"Kok pakai tapi? Apakah Kanjeng Romo harus berembug dulu denganku?"
Rashid tersenyum. ia membenarkan kalimat Amira. Memang di awal tugasnya hanya menyampaikan kalau Sultan memintanya menyampaikan berita tentang sayembara, namun karena permintaan Ratu, akhirnya Sultan meminta Rashid untuk menjemput Amira dan Sultan ingin mengatakan sendiri sayembara itu kepada anaknya yang berada di luar istana.
"Kanjeng Sultan ingin menyampaikan sendiri berita ini kepada Putri. Saya diutus datang untuk menjemput"
Amira menggeleng. ia sama sekali tidak mengira kalau dirinya akan dijemput secara paksa oleh Rashid. Anak angkat Sultan yang sudah dianggap sebagai keluarga istana. Amira menunduk, mencoba menganalisa kegiatan apa yang akan dia laksanakan esok. Ia tidak mau kalau ia berangkat kemanapun dari istana karena semua orang akan tahu siapa dirinya.
Amira memandang Rashid dan mencoba meminta keringanan agar ia bisa hadir esok karena ingin menyelesaikan misinya terlebih dulu namun Rashid menggeleng. ia menolak pendapat Amira dan memaksanya untuk meninggalkan rumahnya saat ini.
"Maaf, Putri, saya tetap akan berdiri di sini dan menunggu Putri menyetujui permintaan Kanjeng Sultan. Saya tidak akan pulang sampai Putri menyetujui untuk hadir di istana saat ini."
"Ini yang tidak kusuka darimu, Kakang. Yang selalu kuinginkan dari kehadiranmu adalah bahwa kau akan menghibur dan menemaniku melewati hari tanpa aturan istana tapi ternyata aku harus memendam kecewa karena kau sama sekali tidak mengerti bagaimana cara membahagiakan adikmu ini."
"Ampun Yang Mulia, hamba hanya melaksanakan perintah Kanjeng Sultan. Hamba tidak bisa menjadi sahabat yang akan selalu menyenangkan Tuan Putri karena hamba tahu diri posisi dan kedudukan hamba di istana."
Amira mnegrnyitkan keningnya mendengar perubahan kalimat Rashid. Ia tahu ada yang tidak beres pada Kakak angkatnya. Ia mencoba mewaspadai situasi di sekelilingnya. Tidak ada pergerakan apapun di rumah tinggalnya, namun Amira yang sudah terbiasa mengasah diri dalam membaca situasi segera memasang mode waspada.
Rashid yang melihat perubahan ekspresi Amira segera tersenyum dalam hati. ia tahu, Amira mengerti dengan kode yang dia kirim lewat kalimatnya. Memang nampak tidak ada yang bergerak di ruang tengah, namun di luar rumah, Rashid merasa ada mata-mata yang sedang menguping pembicaraannya. Ia biasanya selalu membisikkan kalimat rahasia di telinga Amira namun saat ini ia tidak melakukannya.
Rashid takut mata-mata yang berada di luar rumah akan mencurigai pergerakannya dan memintanya untuk mengikuti dia ketika ia kembali ke istana.
"Baiklah. Aku akan pulang besok pagi, Kakang. Bukan sekarang. Besok aku ada acara penting di kampus. aku menjadi pembawa acara dalam seminar yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa sehingga malam ini juga aku harus berbenah. Sampaikan pada Kanjeng Romo agar menunda kegiatan sampai dua hari ke depan."
"Tapi Putri, Bagaimana aku menyampaikan semuanya pada Kanjeng Romo? Aku sudah berjanji untuk pulang dengan Putri Amira dalam keadaan selamat. Kalau akhirnya aku gagal membawamu ke istana, kelihatannya aku lebih baik menginap di sini"
Amira menggeleng mendengar kalimat Rashid yang mengatakan ingin menginap di rumahnya. Ia tahu Rashid hanya bercanda saat meminta untuk menginap, namun ia sama sekali tidak ingin bahan canda mereka menarik perhatian mata-mata di luar rumahnya.
Amira penasaran pada mata-mata, namun ia menyesal akan kelalaian yang sudah ia lakukan. Ia lupa tidak membawa ponselnya dan membiarkan musuh bergerak bebas di halaman tanpa pengawasan langsung darinya. Biasanya ia akan menangkap basah musuh, dan membawanya ke dalam markas rahasia yang sudah ia siapkan dan mengeksekusi secara langsung orang yang ingin mencelakainya.
"Putri, hamba sedang dalam mode bahagia sekarang. Makanya hamba meminta Tuan Putri untuk hadir di istana saat ini."
Rashid mengerlingkan sebelah matanya meminta Amira untuk pura-pura menyetujui permintaannya. Amira segera mengangguk dan mengucapkan persetujuannya dengan keras agar orang yang berada di luar mengira dirinya akan ke istana.
"Baiklah Kakang. Aku akan ikut denganmu sekarang. Tunggu aku untuk berbenah. Aku akan menyiapkan semua bahan seminar dulu ya"
"Baik, Yang Mulia. Saya akan menunggu Tuan Putri di sini dengan sabar. Kita akan pulang ke istana bersama-sama."
Amira dan Rashid saling pandang seolah sedang menyusun rencana yang akan mereka lakukan untuk menjebak mata-mata yang mengawasinya sejak tadi di luar. Rashid mendekatkan bibirnya ke telinga Kasan dan memintanya untuk keluar rumah. Kasan mengangguk. Abdi keraton yang setia pada Amira melangkah meninggalkan ruang tengah menuju dapur dan mencoba mengambil bubuk cabe yang selalu ia simpan di sana. ia segera melangkah ke ruang tengah dan keluar melalui pintu samping.
Amira dan Rashid mengikuti langkah Kasan. Mereka mencoba memandang sekeliling, mencari orang yang sejak tadi mengawasi mereka namun hingga beberapa menit mereka keluar, mereka belum menemukan sosok yang dicurigainya.
"Apakah kita akan menyerah begitu saja ketika kita tidak menemukan siapapun di sini, Kakang?"
Rashid menggeleng. Ia segera menggandeng tangan Amira dan membawanya bersembunyi di tanaman perdu yang tumbuh subur di hadapannya. Amira hanya menurut. Ia penasaran dengan mata-mata yang datang hari ini. Saat mereka sedang berjongkok, mereka melihat sosok laki-laki memakai kaos warna hitam sedang mengendap di bawah jendela kamar Amira.