Rashid segera mengambil suriken. Senjata rahasia Naruto yang selalu ia bawa kemana-mana. Ia ambil ancang-ancang dengan gerakan yang tida menimbulkan suara, lalu melesatkannya dengan tiba-tiba membuat pengintai menjerit dan jatuh tersungkur di tanah.
"aaaa, " jeritnya sesaat lalu menutup mulutnya dan mencoba berlari menyelamatkan diri. Terlambat karena Rashid sudah berada di depannya dan Amira di belakangnya.
"Si-siapa kamu?'
Rashid tersenyum licik. Ia sama sekali tidak tahu mengapa laki-laki di hadapannya bertanya siapa dirinya. Ia yakin mata-mata itu mengenalnya. Kalau tidak mengenal, untuk apa dia mengendap-endap hendak mengetahui isi pembicaraannya dengan Amira, tuan putri yang tinggal dengan para pelayan.
"Kamu yang siapa? Mengapa jadi kamu yang bertanya?"
Laki-laki di hadapan Rashid menggeleng. ia masih memegang kaki,yang terluka karena suriken, masih menancap di sana. ia meringis, mencoba mengelabui Rashid, namun Rashid tetap waspada.
"Siapa yang menyuruhmu?"
Rashid mencekal leher pengintai lalu mencoba menguasai dirinya. Laki-laki itu diam. Tubuhnya bergetar hebat saat tangan Rashid menelikung tangannya ke belakang. Ia mencoba melepaskan diri, namun cekalan Rashid yang sangat kuat membuat dirinya gagal.
"Am-pun, Tuan. A-aku hanya disuruh"
"Aku tahu kau hanya disuruh. Sekarang katakan padaku siapa yang menyuruhmu!"
Laki-laki yang berada di dalam kekuasaan Rashid menggeleng. ia mencoba memandang sekeliling, mencari tahu situasi di lingkungan tempat tinggal Amira. Ia mungkin ingin lari atau sedang waspada mencari orang yang menyuruhnya. Amira yang paham dengan situasi, segera meminta Rashid untuk menyelamatkan pengintai dengan bahasa isyaratnya.
Rashid yang memahami perintah segera menarik lengan pengintai dan membawanya masuk ke sebuah pintu dan membawa laki-laki asing itu masuk. Meski dia memberontak tanpa henti, namun Rashid sama sekali tidak peduli. Ia tetap menarik pengintai dan membawanya masuk ke dalam ruangan yang membawanya ke ruang bawah tanah.
Amira masih berada di halaman. Ia melihat sekelebat bayangan yang pergi meninggalkan halaman rumahnya. Ia tersenyum dari balik persembunyiannya. Ia bahagia karena akhirnya ia dalam kondisi aman. Setelah semua normal, ia masuk ke rumah dengan mengendap. ia mneyusul Rashid ke ruang bawah tanah, ruang khusus yang menghubungkan rumah tinggalnya dengan istana. Ia segera masuk dan menutup pintu perlahan.
"semua sudah aman Putri?"
"Sudah, Kakang. Insya Allah."
Rashid tersenyum lalu mengangguk. Ia mengangkat tubuh laki-laki yang sudah ia lemahkan dan membawanya masuk ke dalam kereta putar yang akan mengantarnya kembali ke istana. Amira melakukan hal yang sama. Ia masuk ke dalam kereta dan duduk di sebelah Rashid yang memegang tawanan.
"Siapa dia, Kakang?"
Rashid menggeleng. ia tidak tahu siapa orang yang mengirim pengintai tersebut. Yang ia tahu, banyak sekali pihak yang mencoba untuk menjatuhkan tahta Sultan. Beberapa keluarga yang sejak awal hanya mendukung kedudukan sultan Adyaksa muda, dan beberapa rival kerajaan, menjadi pihak yang paling dicurigai oleh Rashid. Amira mendesah. ia trenyuh dengan situasi dan keadaan keluarganya yang sangat rawan.
"Banyak sekali yang menginginkan posisi Kanjeng Romo, Putri. Mereka mengira menjadi seorang pemimpin itu mudah. Mereka lupa bahwa menjadi pemimpin juga bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan penduduk yang di pimpinnya. Yang mereka tahu, Kanjeng Romo selalu dielu-elukan masyarakat. Kanjeng Romo disambut dimana-mana saat kunjungan dan pelayanan prima lainnya, membuat para perusuh silau dan ingin memiliki posisi yang diduduki Kanjeng Romo."
'itulah mengapa aku sama sekali tidak suka tinggal di istana, Kakang. Selain orang-orangnya tidak tulus, aku yakin keselamatan kita terancam bahkan oleh keluarga kita sendiri. Aku tidak gila harta dan tahta, kakang. Aku tidak mau Kanjeng Romo memaksaku menginap di istana."
Rashid mengangguk. ia paham betul bagaimana karakter adik angkatnya yang selalu tampil apa adanya. Ia menghindari paseban dan jamuan kerajaan demi menyelamatkan dirinya dari incaran musuh.
"Semoga Allah senantiasa melindungimu, Adikku. Kau anak baik yang selalu membela kepentingan orang lain. tidak pernah memikirkan bagaimana kepentinganmu sendiri. Yang kau utamakan adalah bagaimana masyarakat hidup tenteram dan damai."
"Kakang terlalu berlebihan. Aku biasa saja." Amira tersipu mendengar pujian kakak angkatnya. Ia menundukkan wajah menyembunyikan rona merah di pipinya dari saudaranya. Rashid tersenyum lalu mencoba menyentil telinga tawanannya demi mengalihkan perhatiannya pada Amira. Jantungnya sebenarnya berdetak kencang ketika melihat wajah ayu milik adik angkatnya yang memerah.
Sejak awal, dia memang memendam rasa sukanya pada Amira. Ia merasa tidak pantas memiliki cinta untuk anak dari orang yang sudah mengambil dirinya dari derita masa kecilnya di jalan. Ia ingat, Sultan muda memungutnya dari jalanan ketika ia sedang melarikan diri dari kejaran musuh. Saat itu ia baru saja mencuri makanan yang akan ia berikan kepada ibunya yang sedang sakit. naas tidak dapat ditolak. Saat ia beraksi, seorang pengunjung melihat perbuatannya lalu pemilik makanan mengejar dan memburunya dengan menyuruh seluruh preman pasar yang sudah menjadi anak buahnya.
Rashid yang membawa hasil curian segera melemparkan makanannya ke pengunjung yang memberitahu tindakannya. Ia berlari sekencang mungkin, namun kekuatan anak-anak tetaplah terbatas. Para preman berhasil menangkapnya dan mereka ramai-ramai mengeroyoknya.
Rashid tersenyum ketika mengingat bagaimana Sultan muda yang saat itu sedang menyamar menjadi rakyat jelata menolongnya. Sultan muda berdiri dengan gagahnya di antara para preman yang sedang memukulinya setelah Sultan muda bersalto di udara. Sultan muda menjatuhkan semua preman dengan gerakan yang sangat menakjubkan. Sejak saat itu, ia menjadi bagian dari keluarga istana.
Rashid tersenyum sendiri membuat Amira mengerutkan dahinya, mencoba menganalisa apa yang sedang diingat kakak angkatnya.
"Kelihatannya Kakang sedang bahagia"
Rashid yang sedang melamun, tidak mendengar suara Amira masih tetap pada posisi semula. Tersenyum-senyum sesaat lalu terpana menerima cubitan dari adiknya.
"Ada apa, Kakang? Mengapa senyum-senyum sendiri begitu? Kalau ada yang lucu, Amira juga mau mendengarnya. Jangan tertawa sendiri seperti orang gila"
"Kakang sedang mengingat pahlawan yang sudah menyelamatkan Kakang dari preman pasar."
"Kanjeng Romo?"
"Siapa lagi kalau bukan beliau?"
Amira menggaruk kepalanya lalu mengangguk. ia mengakui bahwa kakaknya memang layak mengingat kebaikan Ayahnya. Selama ini Amira tahu dan mengidolakan ayahnya yang selalu bersikap lemah lembut kepada siapapun. Ayahnya akan memberikan pertolongan kepada yang membutuhkan tanpa pamrih.
"Sekarang mengapa kamu yang tersenyum sendiri seperti itu, Putri?"
Amira menggeleng.
"Aku tersenyum untuk menemani Kakakku agar tidak terlihat seperti orang gila. Bukan senyum sendiri"
"Ha ha ha, kau selalu bisa mengelak. Ok. Apapun untuk adikku."
"Kang."
Rashid memandang Amira yang mendekatkan bibirnya ke telinganya, mencoba membisikkan sesuatu. Ia merasa sangat takut karena berpikir bahwa Amira hendak menciumnya, hal itu membuat Rashid terhenyak dan menyadari kesalahpahaman yang sudah ia buat sendiri.
"Kang, tawananmu sudah sadar"
Rashid memandang laki-laki di depannya yang sedang menggeliat, mencoba memandang sekelilingnya dan mengerutkan dahinya. Tubuhnya yang awalnya tenang karena dalam pengaruh kekuatan totok di beberapa titik, kini sudah sadar. Dia bergetar dan mencoba duduk. Rashid segera menotok kembali tubuh laki-laki lemah itu dan membuatnya tidak bisa bergerak sama sekali.
"Sekarang katakan siapa yang menyuruhmu!"
Laki-laki itu menggeleng. ia tidak mau mengatakan siapa yang menyuruh karena ia sudah berjanji untuk tidak membocorkan misi rahasianya pada siapapun. Ia tahu, apabila ia memberitahu Rashid, keluarganya akan terancam dan mereka tidak akan segan untuk membunuh istri dan kedua anaknya.
"Baiklah kalau memang kau sama sekali tidak sayang dengan nyawamu. Aku akan membiarkan keluargamu dibantai oleh orang yang menyuruhmu kalau kau tetap bungkam. Kalau kau mau bicara, aku pastikan semua keluargamu aman.'
Laki-laki itu terpana. Ia mencoba memandang Rashid untuk mencari tahu kebenaran ucapannya. Dalam hati ia mengakui bahwa tidak ada kebohongan yang sedang ditutupi oleh Rashid.
"Benarkah, Tuan? Kau akan membebaskan anak dan istriku dari orang yang menyuruhku?"
"Tentu saja."
"Em, aku-aku takut, Tuan"
"Kau insya Allah aman. Karena aku yakin tidak ada satu orang pun yang tahu dimana kita berada kecuali aku dan Putri Amira."
Laki-laki itu memandang Amira lalu mengangguk. ia masih bungkam. Belum mau mengungkapkan siapa dalang di balik kejahatan yang belum sempat ia lakukan.